Kamis, 30 September 2010

Hukum Karma

Pagi itu aku bangun kesiangan, ya efek lembur sampai jam 3 pagi. Aku pun terlambat kuliah 20 menit, beruntung dosen yang sedang mengajar baik hati jadi aku pun tetap diperbolehkan masuk, horaaaayyy. .

Ehm, sebenarnya aku akan menulis tentang masalah hukum karma. Ada yang pernah mendengar istilah itu? Yuhu. . .seseorang yang bertindak pasti akan menuai hasil dari apa yang diperbuat itu. Jika ia melakukan hal yang positif maka ia akan mendapat hal yang positif pula, begitu juga sebaliknya, seperti yang tertuang dalam Al-zalzalah ayat 7-8 yaitu :

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.

Mulanya Pak dosen menjelaskan tentang materi yang berhubungan dengan mata kuliah yaitu Evaluasi Pembelajaran, mungkin karena waktu yang sudah selesai, pak dosen sedikit memberikan petuah kepada kami.
Kuliah : “qwkhbiwj fnkdsk joklsjold;jlsanmck,.xnjksl ihwjish anmcl;xzmcmjxklsna cknjlaskd p;asjdolas” ----> berhubung aku lupa jadi tak tulis pake bahasa Yunani.

Kalo gak salah intinya itu membahas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang salah satu faktor penentunya harus disesuaikan dengan kemampuan siswa dan guru, contohnya begini:

Dosen : Saudara (sambil menunjuk seorang mahasiswi) lebih memilih diselingkuhin atau dimadu?
Spontan aku jawab, “Lebih baik selingkuh juga pak, jadi impas…”

Gerrr…….. sebagian teman2 pun tertawa (cuma sebagian lo)

Dosen : jadi kita harus mengukur diri, apakah kita siap menerima segala resiko dari yang kita perbuat. Kalo saya bisa sih, saya maunya punya istri lagi.

Huuuuu huuuuu. . . spontan mahasiswa pada rebut (termasuk aku yang duduk paling depan --- > singgasana mahasiswa telat)

Dosen : Sabar, sabar, maksudnya gini, saya tidak bisa karena saya tidak mampu. Saya tidak mampu berbuat adil, saya tidak mampu menafkahi dan yang paling penting SAYA TIDAK MAMPU MELUKAI HATI ISTRI SAYA.

*Aaaarghhhhhh so sweet pak 

Hal yang paling saya tidak suka yaitu menyakiti hati orang lain, apa lagi hati orang yang saya sayangi. Saya tak kuasa untuk mendua, karena saya tak punya kekuatan untuk menyakiti. Bersyukurlah kamu yang disakiti, karena kamu akan mendapat obat yang jauh lebih baik asal kamu ikhlas dan celakalah dia yang telah menyakiti karena pasti akan mendapat balasan yang jauh lebih kejam, walaupun balasannya bukan dari kamu. Berdoalah, agar dia yang menyakitimu mendapat pengganti yang lebih baik, niscaya kamu yang akan mendapat yang jauh lebih baik. 
 Percayalah karena itu kuasa Tuhan.


Aku pun speechless,
Selamat datang di universitas kehidupan.

Semarang, 30 September 2010
2.16 PM

Sabtu, 25 September 2010

Hakikat Pemenang

Seringkali kita menganggap masalah adalah suatu beban hidup.
Seringkali kita meninggalkan dan tidak menyelesaikan masalah yang sesungguhnya sudah melanda kita.

Tindakan dari orang yang meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya adalah tindakan pecundang.
Dia tidak berani menatap dunia, dia lebih suka hidup yang “aman-aman“ saja padahal kehidupan yang dia kira aman adalah neraka dikemudian hari.

Jangan takut untuk menghadapi masalah karena kehidupan tidak akan pernah lepas dari masalah. Ibarat film kalau sang tokoh selalu hidup ayem, tenang dan tidak ada masalah atau konflik saya yakin film nya tidak akan laku, hehehe.

Jadilah pribadi yang berani.
Berani menganggung resiko dari apa yang telah kamu perbuat.
Karena keberanian adalah sebagian dari iman.
Menjadi orang yang berani berarti berani berbuat dan berani bertanggung jawab.
Berani berarti percaya pada kemampuan diri sendiri.
Percaya pada kemampuan diri sendiri berarti beriman pada kekuasaan Alloh.
Berani adalah yakin bahwa Alloh selalu ada di sisi kita dan akan membantu kita jika kita melakukan hal yang baik.

Jadi semakin runyam masalah yang kamu punya dan semakin baik kamu menyelesaikan masalah itu maka kamu adalah pemenang sejati.
Jangan selalu berpikir bahwa pemenang sejati adalah dia yang punya segudang prestasi dan tidak pernah terjatuh.
Bagiku pemenang itu adalah pribadi yang bisa bangkit dari keterpurukannya dan berhasil menggunakan masa lalunya sebagai tolok ukur untuk mencapai keberhasilan dimasa yang akan datang.
Prestasi akan timbul karena ketersediaan waktu yang kita miliki tidak cukup untuk mengakhiri aktivitas kita tapi kita bisa melaluinya.
Jangan takut untuk menyelesaikan masalah.


So..siap tidak siap, hadapilah tembokmu!!

Sabtu, 11 September 2010

Saat Nikmat Menghilang, Laa Tahzan !

Rasa sedih itu wajar dialami oleh setiap manusia, apalagi ketika kita mengalami kegagalan, kehilangan, atau bahkan merasa sendiri di dunia. Kadang kita merasa bahwa hidup ini tidak adil, apa yang telah kita perbuat ternyata hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Padahal kita sudah berusaha keras dan sebagainya.
Hasilnya???
Manusia merasa putus asa dan meninggalkan segala ikhtiar mereka.
Kita sering sekali tidak menyadari bahwa setiap makhluk pasti pernah merasakan masa paling sulit dalam hidupnya.

Jadi teringat isi kajian siang hari itu, yakni tentang kisah Elang. Seekor burung Elang yang sangat gagah ternyata rata-rata mampu bertahan hidup selama 60 tahun, ketika mereka menginjak usia 30 tahun burung Elang harus rela kehilangan fungsi paruhnya selama 4 bulan. Paruhnya yang melengkung kedalam dapat melukai lehernya. Alhasil si burung Elang harus menahan sakit dan mematahkan paruhnya agar lehernya tidak terluka dan menunggu paruhnya tumbuh kembali selama 4 bulan. Selain itu dalam waktu 4 bulan tersebut, burung Elang juga harus mencabut kuku dan bulunya (alasannya kenapa aku lupa, hehe kayaknya sih buat regenerasi gitu) jadi intinya selama 4 bulan itu si Elang harus menahan lapar dan dahaga (ternyata burung bisa puasa juga ya, hihi). Dan semua itu ternyata dapat dilalui oleh si Elang. Artinya perjuangan tersebut merupakan fase untuk menyongsong masa 30 tahun mendatang yang lebih baik. Subhanallah.

Begitu juga dengan manusia.

Seperti yang dialami oleh Urwah bin Zubeir, ketika beliau harus kehilangan satu kakinya yang diamputasi juga seorang puteranya yang tewas ditendang seekor kuda, beliau tetap tegar. Bahkan ketika beliau pulang, kerabatnya menyambut Urwah dengan raut kesedihan, beliau berkata, “Janganlah kalian risaukan apa yang kalian lihat. Allah telah memberiku empat orang anak dan Dia berkehendak mengambil satu, maka masih tersisa tiga, puji syukur bagi-Nya. Aku dikaruniai empat kekuatan (dua kaki dan dua tangan), lalu hanya diambil satu, maka masih tersisa tiga. Puji syukur bagi-Nya.”

Jika kita jujur sebenarnya nikmat yang tersisa jauh lebih banyak daripada nikmat yang hilang. Tapi ketika fokus kita tertuju pada nikmat yang hilang, maka nikmat lain yang lebih banyak akan terasa lenyap tak tersisa. Dari sisi ini maka orang yang berputus asa karena musibah yang menerpa, bahkan seringkali manusia tak habis-habisnya menyalahkan takdir. Itu artinya dia telah kufur atas segala nikmat Allah, akibatnya hatinya akan merasa kecewa dan tersiksa.

“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir.” (Yusuf : 87)

Untuk meraih kesuksesan dan tujuan hidup kita, seseorang pastilah pernah mengalami fase yang penuh dengan hambatan, tapi jangan pernah menganggap hambatan itu sebagai penghalang, anggap saja bahwa semua itu hanyalah “tantangan” sebuah teka-teki yang mengasyikan untuk dicari solusi pemecahannya.

Jadi jika kamu sekarang merasa di bawah, ingat cuy kalau hidup itu bagai roda, kadang di atas kadang di bawah. Yang penting ketika kita di atas jangan lupain ya sama yang di bawah. Soalnya “Ketika kamu menyombongkan diri, maka kehancuran sudah didekatmu.” (percaya deh, hihi)

So always be low profile and never give up.

Ingat hidup itu sangat indah dan kesedihan hanya untuk mereka yang tidak bersyukur.
Maka alangkah indahnya bila buah kehilangan adalah bersimpuhnya kita dihadapan Allah dan semangat untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik.

Laa Tahzan,
Jangan bersedih.

~_^ v

Shafira, 17 Mei ’10. 8.45 PM.

Sudah siapkah aku mendapat suami yang sholeh?

Sudah siapkah aku mendapat suami yang sholeh?

Terinspirasi dari salah satu artikel online yang membuka mata hatiku.
Selama ini memang aku selalu berdo’a kepada Allah agar Dia memberikan jodoh yang sholeh untukku dan bisa menuntunku ke jannah.
Tapi jika itu sudah terkabul apakah aku siap menerima segala konsekuensi, sedangkan selama ini aku masih begini, jauh sekali dari sempurna bahkan jauh dari kata muslimah yang baik.
Ketika suamiku menyuruhku agar sholat tepat waktu, apakah aku akan menjalankannya?
Ketika suamiku membangunkanku disepertiga malam, apakah aku akan bergegas?
Ketika suamiku mengajakku untuk shaum di hari senin dan kamis, apakah aku akan melaksanakannya
Ketika suamiku memintaku memakai gamis panjang, apakah aku bersedia.

Dan setan pun masih bersarang di tubuhku
Dan bisikan-bisikan kemalasan pun terus saja terngiang-ngiang di telingaku.
Bahkan meb=nggerutu masih menjadi hobiku.
Siap kah aku menjadi yang halal bagi yang sholeh???
Hm…
Itulah jawaban mengapa “perempuan baik akan mendapat laki-laki yang baik.”
Karena mereka sepaham.
Sungguh membutuhkan tekad yang kuat untuk menapaki shiratal mustaqim.
^^sedang berusaha menjadi yang baik agar mendapatkan yang baik pula, biar kesepian ini menjalar tapi ku(pastikan) akan indah pada masanya, jika kita terus bersabar.^^

Tersenyum Bahagia di Jalan Allah

Tersenyum Bahagia di Jalan Allah


Ya Allah aku merasa sangat bahagia. Sungguh tak ada satu pun alasan yang dapat membuat kita bersedih. Aku sungguh bersyukur atas segala nikmat yang telah Kau berikan ya Rabb. Memang aku sering sekali mengeluh bahkan merasa hidup ini tak adil. Ternyata aku salah, akulah yang tidak adil dalam menilai hidup ini.

Sudah 3 hari lututku terasa sangat nyeri, apa lagi ketika harus duduk di antara dua sujud, rasanya aku ingin menangis, dan dalam kepasrahan itulah aku sadar bahwa Allah telah menganugerahiku sepasang kaki yang kuat untuk beraktivitas, berjalan bahkan berlari. Aku yang hanya merasa sedikit nyeri di lutut (mungkin karena kurang olah raga) saja sudah merasa sangat tersiksa apalagi mereka yang dilahirkan tanpa kaki. Astaghfirullah…

Pun sama halnya ketika kurasa senyumku telah beku, sepertinya aku enggan tersenyum untuk hal-hal yang menurutku tak penting apa lagi kepada sesuatu yang sebenarnya mengecewakan. Tapi Allah memberiku petunjuk untuk membaca sebuah kisah.

Di sana diceritakan tentang seorang gadis yang terkena penyakit saraf. Setengah saraf wajahnya tidak berfungsi. Alhasil otot-otot pada wajahnya hanya berfungsi separuh. Hal tersebut membuatnya tidak bisa tersenyum. Apabila ia tersenyum maka hanya separuh bibirnya saja yang bergerak. Bukankah itu seperti senyum sinis? Pernah ketika pelajaran olahraga ia tersenyum pada gurunya, tapi gurunya malah memarahi gadis itu, beliau merasa disepelekan dengan senyum sinis sang gadis. Setelah ditanyai oleh gurunya, sambil berlinang air mata sang gadis menjawab bahwa separuh saraf wajahnya mati dan ia tak bisa tersenyum. Namun bukannya memberikan motivasi, sang guru malah berkata, “kira-kira bisa sembuh nggak tuh?” sungguh hancur perasaan si gadis. Ia sangat merindukan senyum di wajahnya. Karena senyum itu indah, senyum itu cantik bahkan senyum adalah ibadah.

Berbahagialah saudaraku yang bisa berjalan
Maka berjalanlah di jalan yang diridhlai Allah.
Hingga kau bisa bermanfaat bagi orang lain.
Berbahagialah saudaraku yang masih bisa tersenyum.
Maka tersenyumlah dan buat orang disekitarmu bahagia karena senyum bahagiamu.

Berjalanlah dengan tersenyum, sinkronkan kaki dengan senyuman, berjalan di jalan Allah dengan senyuman untuk mengajak saudaramu mengikuti jalan-Mu. Buat saudaramu merasa kau bahagia di jalan-Nya hingga ia mengikutimu.

Berbahagia dengan senyuman di jalan Allah.
(filosofi hubungan kaki dan bibir, hehehehe)

Semarang, 29 Juni 2010 @11.44 PM

Tentang Kekurangan dan Kelebihan

Tentang Kekurangan dan Kelebihan
Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak ada satu pun manusia yang dilahirkan sempurna di dunia ini. Tuhan menciptakan manusia untuk saling melengkapi.
Kadang kita merasa orang lain lebih beruntung, dia bisa jauh lebih kaya, lebih tampan, dan populer hingga akhirnya kita menyebut diri kita sebagai “korban kehidupan”. Jadi teringat perkataan seseorang, “Jangan pernah menyebut diri kita sebagai korban kehidupan tapi katakanlah bahwa kita adalah pejuang kehidupan maka kita akan merasa kuat.”
Kesulitan memang selalu menghampiri kita, tapi kita tak boleh menyerah karena keadaan, semangat juang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan dalam hidup ini karena itulah kunci untuk menghadapi segala kesulitan. Hal yang harus kita ingat adalah jangan pernah merasa minder dan merasa bahwa orang lain PASTI lebih baik daripada kita. Ehm… sebenarnya setiap orang itu punya kelebihan dan kekurangan. Kekuranganmu adalah kelebihan bagi orang lain begitu juga sebaliknya.
Percayalah bahwa Tuhan itu adil. Adil bukan berarti sama rata, adil itu sesuai dengan porsinya. Jangan menganggap kekurangan pada diri kita sebagai hal yang akan meruntuhkan semuanya, anggaplah kekurangan sebagai bahan evaluasi untuk menjadi insan yang lebih baik. Bolehlah rendah hati tapi jangan sampai rendah diri.
Manusia dengan segala yang ada dalam dirinya adalah berkah, oleh karena itu kita harus selalu bersyukur, bahkan ketika kita mengalami kegagalan. Thomas Alva Edison dan Einstein merupakan ilmuwan-ilmuwan yang berhasil, mereka memperoleh keberhasilan tidak semudah membalikan telapak tangan, berbagai macam kegagalan pernah mereka alami. Hal serupa dialami oleh seorang dokter bernama Alvina, semenjak kecil dia divonis terkena kanker getah bening, dia juga pernah mengalami kebutaan diusia dini dan mengalami masa suram semenjak anak-anak, tapi berkat tekadnya yang kuat akhirnya ia berhasil menjadi seorang dokter.
Sesuatu terlihat berharga ketika kita merasa kehilangan, kita merasa kehilangan karena pernah merasa memiliki. Seharusnya itulah yang menjadi panutan, aku adalah aku, aku adalah diriku seutuhnya dan aku tak mau kehilangan diriku, segala kelebihan dan kekurangan yang akan aku ubah menjadi kelebihanku. Hidup akan terasa lebih bermakna ketika kita gagal karena hal itu bisa membuat kita terus bertekad dan melakukan introspeksi diri.
“Kita harus menyadari bahwa kita memiliki kekurangan, oleh karena itu kita akan mencari kelebihan dalam diri kita atau mengubah kekurangan itu menjadi kelebihan bagi kita.”
Semarang, 19 Agustus 2010
2.57 PM

Adakah Keadilan di Bumi Ini?

Curahan hati dari seorang yang merasa bahwa tak ada lagi goresan tinta keadilan di atas kertas ketulusan di bumi nusantara (yang katanya gemah ripah loh jinawi).

“Aku adalah seorang Bapak, dulu ketika tahun 1993 anakku meninggal dunia. Matinya tidak wajar. Dia tertabrak mobil. Waktu itu umurnya baru tiga belas. Ia sedang berjalan di trotoar, tiba-tiba sebuah mobil mewah menabraknya dan anakku mati seketika. Sang empunya mobil tak menggubris apa yang terjadi, beruntung ada saksi mata yang mencatat plat mobil “sang pembunuh” itu. Setelah diusut betapa terkejutnya aku karena dia adalah salah satu personel aparat negara. Anehnya ketika aku mengusut kasus ini semua serba dipersulit. Hingga akhirnya kasus anakku ini sampai di meja hijau dan aku kalah dalam persidangan itu. Hatiku belum puas, pada tahun 2004 aku kembali mengangkat kasus anakku, tapi kecewa kembali menghinggapi hati ini, ya mayat-mayat hidup di pengadilan itu menilai bahwa kasus anakku “sudah kadaluarsa”. Hmmm… apakah nyawa anakku tak ada artinya? Hey, anakku bukan binatang yang bisa disembelih kapan saja, bangkainya bisa dibuang seenaknya dan nyawanya dianggap tidak berharga. Apakah perlu aku berjalan kaki dari Malang menuju istana negara hanya demi menemui sang penguasa? Aku hanya ingin mengadukan nasibku, nasib orang kecil yang tak punya daya apa-apa. Dan itulah yang telah kulakukan, lebih dari 20 hari aku terus berjalan dan menapakan kakiku menuju sebuah bangunan yang mereka bilang sebagai “istana”, padahal bagiku istana itu berisi raja, ratu atau bidadari yang berhati malaikat. Tapi apa dikata peluh di keningku, lecet di kakiku dan kulitku yang sudah seperti arang karena tersengat matahari, rupanya tak membuat mereka iba. Mereka bilang bahwa “sang raja” sedang sibuk, sedang akan istirahat dan tidak bisa diganggu. Aku hanya bisa diam, aku mengerti bahwa mereka orang besar, mereka sibuk mengurus negara, tapi apakah aku bukan bagian dari negara itu? Aku tak bisa marah, aku pun hanya bisa menangis. Aku berlari dan terus berlari hingga aku bertemu sebuah patung, patung seekor gorila yang menggendong anaknya. Dia terus terdiam dan aku bisa berteriak sesuka hatiku. Aku bisa menumpahkan segala rasa ini. Aku merasa bahwa patung itu jauh lebih baik daripada zombi yang duduk di atas sana yang tak mau mendengar isak orang kecil, bahkan menutup mata ketika aku menangis, menutup telinga ketika kumengadu. Aku memang buta, buta bahwa mereka sudah mati, aku memang tuli yang tak bisa mendengar bahwa mereka adalah mayat, aku pun tak bisa mencium bau busuk mereka dan aku tahu bahwa anakku masih hidup. Hidup di bumi keadilan, kehidupan yang menjunjung tinggi keadilan, sedangkan mereka sudah mati.”

Banyak orang yang mengeluh bahwa hidup ini tidak adil, orang-orang di sekitar dianggap tak mau tahu dan tak tahu malu. Tapi ada satu hal yang terlupakan bahwa ada hakim yang paling baik di antara semua hakim dan paling adil dibanding semua keadilan. Walaupun tidak mendapat keadilan di dunia, tak mendapat rasa puas karena kebenaran yang semakin renta digerogoti kerakusan, anggap saja sebagai cobaan dalam hidup dan harus selalu kita ingat bahwa hidup ini tak untuk sementara. Bersihkan hati, kuatkan diri, tekadkan niat dengan pondasi iman, karena iman adalah obat hati paling mujarab. Tetap perjuangkan keadilan di dunia ini, yakin bahwa keadilan masih “hidup” walau keadilan itu akan terwujud di dunia yang berbeda.

“Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu, karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.”

Ajibarang, 7 september 2010
12.27 PM

Oh Tidak, Aku Bukan Orang Tua yang Baik

Catatan ini tidak ditulis oleh seorang yang sudah berumah tangga dan mempunyai banyak anak, catatan ini hanya sekadar goresan pena seorang anak bahasa dan sastra yang mencoba meraba dunia psikologi tanpa dasar apapun dan hanya bermodalkan pengamatan dari lingkungan sekitar. Dewasa ini yang kurasa banyak sekali orang tua yang mengajari sesuatu yang sesat pada anaknya. Apa maksudnya sesat? Ehm…sesat maksudnya orang tua seringkali tidak memikirkan dampak yang akan terjadi dari apa yang dilakukannya terhadap anaknya itu. Berikut ini ada beberapa contoh analisisku dan hasil diskusi dengan teman mengenai beberapa hal yang kerap dilakukan orang tua terhadap anaknya :
1. Mengajari anaknya berbohong
Kasus : Ketika orang tua menyuapi anaknya, mereka kerap melakukan kebohongan agar anaknya mau makan. Misalnya dengan membohongi bahwa di pojok sana ada cicak, atau di depan ada kereta dengan bertujuan agar perhatian si anak terabaikan dan mereka mau makan. Memang hal ini bertujuan baik tapi apa dampaknya???
Hal tersebut sama saja dengan membohongi anak, memang hal kecil tapi ketika anak-anak masih dalam golden age (usia keemasan 3-5 tahun), anak mengalami perkembangan yang sangat pesat, apa yang terjadi bila anak dibiasakan dengan kondisi kebohongan, dia akan mencari “cicak” dan “kereta” yang dikatakan ‘ada’ oleh orang tuanya padahal kenyataannya tidak ada. Hal tersebut dapat membentuk mindset terhadap si anak bahwa “tidak semua hal yang dikatakan itu harus BENAR.”

2. Belajar menyalahkan orang lain
Kasus : Anak kadang rewel dan bertindak seenaknya sehingga ia terjatuh dan terluka. Orang tua kerap menyalahkan benda yang ada di sekitar si anak sebagai objek yang pantas disalahkan. Contoh : si anak jatuh karena menabrak kursi dan orang tua menyalahkan kursi dan mengatakan bahwa si kursi nakal lalu orang tua memukul kursi itudengan tujuan agar si anak tidak menangis.
Dampaknya, ketika anak sudah dewasa dan melakukan kesalahan atau tertimpa sesuatu yang buruk maka ia akan terbiasa menyalahkan orang lain dan merasa lega atau puas jika orang lain yang dipersalahkan.

3. Membuat anak menjadi penakut
Kasus : Anak terlihat tidak lumrah dan tidak mau menurut, contoh :
- Si anak tidak boleh makan jajanan, lalu orang tua mengatakan bahwa jajanan adalah obat yang rasanya pahit, atau cabai yang rasanya pedas, alhasil anak akan trauma apabila mendengar kata obat atau cabai.
- Si anak tidak boleh menuju luar rumah karena banyak kendaraan, tapi orang tua mengatakan bahwa di luar ada Pak XY yang terkenal galak, hasilnya anak akan menjadi penakut untuk menghadapi orang asing.
- Anak melakukan keslahan, orang tua mengatakan bahwa jika si anak berbuat demikian maka ia akan dimarahi Pak XY, dampaknya anak akan takut untuk berbuat.
Alangkah baiknya jika orang tua tidak mengatakan hal yang negatif dan menggantinya dengan hal yang positif. Contoh : anak bermain petasan, orang tua hendaknya tidak berkata, “Awas loh main petasan nanti dimarahin Pak XY.” Mungkin hal itu membuat takut anak, lebih baik orang tua mengatakan, “Dek, kalo gak main petasan dan kalo adek nurut nanti disayang Mama loh.” Jika anak terbiasa mendengar hal positif maka ia akan bertindak yang positif pula.


Hal-hal yang saya tulis ini hanya ide gila atau gagasan yang muncul begitu saja ketika memperhatikan orang tua yang sedang mendidik anaknya dan saya tidak tahu apakah sudah ada penelitian yang membahas tentang hal ini atau belum, yang jelas bagiku banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Kepribadian, kecerdasan dan tingkah laku anak tentu saja tidak lepas dari perang orang tua. Ternyata untuk menjadi orang tua membutuhkan persiapan yang sangat matang. Hikmah yang dapat diambil “BUAT ANAK JANGAN COBA-COBA.”
Ajibarang, 10 September 2010, 9.12 PM