Jumat, 30 November 2012

Sebuah Refleksi dari: Menimang Bahasa Membangun Bangsa

*Sebuah refleksi studium generale dengan Prof. Mahsun, M.S Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nasional.

Sumber

“Kadang kita tak bisa menjelaskan diri sendiri. Namun, berkat orang lainlah kita bisa terjelaskan. Kita bisa menamai jari tengah kita dengan sebutan si tengah karena ada masing-masing dua jari di sebelah kanan dan kirinya.” (Prof. Mahsun, M.S.)

Belajar bahasa adalah belajar budaya. Bagaimana tidak? Sebuah etnis bisa dikenali lantaran bahasanya. Dalam perjalanan sebuah bangsa, bahasa adalah hal penting yang harus mendapat perhatian. Tatkala Israel sudah memiliki wilayah, mereka menggali dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani dari naskah-naskah kuno dan menggunakannya sebagai bahasa mereka. Artinya, kedudukan bahasa sangat penting untuk menunjukkan identitas.
Indonesia yang terdiri atas berbagai kebudayaan memang membutuhkan sebuah unsur  pengikat kebangsaan.  Bahasa merupakan salah satu unsur pengikat kebangsaan selain agama dan ras. Pilihan Indonesia untuk menggunakan bahasa sebagai pengikat merupakan pilihan yang sangat strategis. Ras dapat teridentifikasi karena bahasa, suku Jawa menamai dirinya Jawa karena ia memiliki bahasa Jawa. Namun, Indonesia tak menggunakan agama sebagai unsur pengikat.  Ingatlah pada kegagalan piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa “….yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, …” dianggap merupakan hal yang sensitif karena menyebut urusan agama. Padahal pada kenyataannya di Indonesia agama tidak hanya Islam.

Hati Ini Milik Siapa?

Sumber


Bukan, bukan sedang merasa sendu. Tapi kadang manusia memang takut kehilangan. Apalagi orang yang dia cinta. Sepantasnya tidak begitu. Oleh karena kita milik Tuhan maka segala sesuatu yang kita miliki juga milik-Nya. Hanya titipan.

Memenuhi isi hati dengan keyakinan bahwa yang kita pegang, puja, peluk bukanlah milik kita bukanlah perkara yang mudah.  Pantaskah merasa takut kehilangan? Yah, lagi-lagi aku berpikir tentang hati. Tuhanlah pemilik hati ini. Dia mampu membolak-balikkannya dengan sangat mudah.

Minggu, 25 November 2012

Masa-masa Kejayaan si Alay

Ya ampun shock sekali melihat album foto saya ketika zaman SMA. Gaya fotonya selalu diambil dari pojok atas dan tidak tahu kenapa (sepertinya zaman dulu memang sedang musim, jangan lupa sambil memanyunkan bibir). Tapi sepertinya sayang sekali jika tidak diabadikan. Mungkin itulah yang dinamakan gaya alay. Ya sudahlah, kata Raditya Dika dalam siklus hidup seseorang ada masa-masa alay, sebelum akhirnya ia menjadi dewasa tapi sayang sekali si friendster sudah lenyap dari peradaban (eh tapi katanya berubah jadi game online ya? padahal dia menyimpan semua bukti autentik). Selamat ya mungkin suatu saat anakku nanti akan menertawakan gaya berfoto emaknya :(

Rabu, 21 November 2012

Pos

Aku tahu harusnya pagi ini aku tak semalas ini, tapi pesona pulau kapuk rupanya telah berhasil membuaiku. Semestinya pagi ini aku bangun cukup gasik untuk menyelesaikan koreksian ujian tengah semester yang tak kujamah selama dua pekan. Letupan kata “antimalas” seolah-olah menjadi gol bunuh diri bagiku. Seperti saat ini, harusnya aku sedang mengejar-ngejar narasumber untuk aku wawancarai tapi yang terjadi aku malah asyik bermain-main dengan imajinasiku.
Sesuatu yang kita rasakan belum pula dirasakan sama oleh orang lain. Dari dulu aku menganggap bahwa mengirim sesuatu lewat pos adalah hal yang unik, bahkan lebih dari itu, aku berani bilang bahwa itu adalah hal yang romantis. Ketika kakakku berulang tahun aku pernah mengirimkan kado untuknya lewat pos walaupun kami tinggal dalam satu rumah. Kenapa aku memilih pos? entahlah yang jelas menanti sesuatu adalah hal yang asyik dan memiliki sensasi tersendiri.
Dahulu ketika teknologi tak semaju sekarang, apa yang dilakukan oleh sepasang kekasih yang terpisahkan oleh jarak? Tatkala belum ada handphone¸social media, dan surat elektronik. Bisa jadi hati mereka selalu berdesir ketika mendengar deru sepeda motor atau sepeda onthel berwarna oranye khas milik tukang pos. Saat hidup tak semudah saat ini, saat akses tak sepraktis zaman sekarang, komitmen seseorang untuk menjalin hubungan mungkin benar-benar teruji. 

Rabu, 14 November 2012

Nukilan


Oleh-oleh dari Indonesia Leadership Camp UI (9-12 November 2012)

Kamu boleh berteriak-teriak dan berpanas ria, yang katamu sedang memperjuangkan  nasib kaum duafa. Namun ironisnya di toilet umum itu kamu tak pernah bersihkan sisa kotoranmu, bukankah itu sama saja dengan menyakiti mereka?
(Introspeksi diri, mulai dari hal kecil, tahu betul alasan dari perbuatanmu)

Bukankah bangsa Indonesia adalah bangsa yang cerdas? Bahkan pada tahun 1928 pemuda-pemuda itu berkumpul dan bersumpah. Mereka menjual “murah” bahasa daerahnya demi menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
(pemuda, agen perubahan, bahasa Indonesia)

Soekarno rela keluar-masuk penjara demi bangsa, beliau bahkan lebih memilih “menderita” daripada menjadi abdi Belanda sebab pahlawan adalah orang yang mampu melampaui dirinya dan bersedia menderita demi orang lain.
(pengabdian, perjuangan, pengorbanan, pahlawan)

Jumat, 02 November 2012

”Hidup untuk Bekerja” atau “Bekerja untuk Hidup”?

Source

Selamat datang di kehidupan yang sebenarnya. Selamat datang pada fase baru dalam hidupmu. Saat teman-temanmu satu per satu menghilang, saat mereka mulai mencari pekerjaan dan mencoba untuk berdikari. Saat diriku hampir terjebak pada rutinitas yang memuakkan. Saat pembicaraan di telepon tidak lagi membahas soal si anu yang punya gebetan si itu, tapi sudah pada tataran, “Ayo temenin aku ke job fair”. Saat kita mulai membutuhkan orang yang membuat kita berdiri tegap seperti pohon kurma yang berada di gurun, pohon yang selalu memberikan buah yang manis walau dilempari batu.
Akhir-akhir ini hal yang sedikit “aneh” seringkali terlintas di pikiranku. Sebenarnya untuk apa aku bekerja? Untuk apa aku belajar? Untuk apa aku mencari bekal hidup? Untuk apa seorang ayah rela membanting tulang dan bercucuran keringat demi menghidupi keluarganya? Apakah ia benar-benar bekerja demi bertahan hidup? Lalu apa bedanya dengan seorang businessman yang super sibuk untuk bekerja siang dan malam? Apakah ia hidup hanya untuk bekerja?