Senin, 23 Desember 2013

Bahagia dalam Ketidakpastian


“Bahagia, sedih, keberterimaan, bahkan penolakan adalah ritme kehidupan yang biasa dialami oleh setiap manusia,” ucap kawanku waktu itu. Sebuah warung kopi adalah saksi, mungkin terlalu dini untuk membicarakan tentang perpisahan.
Kawan saya mungkin terlalu legawa dengan urusan perpisahan. “Cinta adalah anugerah dari Tuhan, itu yang membuat saya merelakan istri saya dengan lelaki itu.”
Hal ini membuat saya cukup speechless. Namun, inilah yang mengingatkan saya pada perkataan Umar  Kayam di “Sri Sumarah dan Bawuk” (1975), tentang sikap “nrimo” nya wong Jowo. Sumarah atau pasrah, nrimo ing pandum. Sebuah keputusan untuk menjalani kehidupan sesuai seirama dengan alunan Tuhan. Kayam memang sengaja menjelmakan Sri Sumarah sebagai simbol wong Jowo yang penuh dengan kepasrahan dan keberterimaan.
Berbicara tentang keberterimaan, Herman Hesse pernah mengungkapnya dalam “Siddharta”. Perjalanan adalah hakikat kehidupan yang sebenarnya. Pencarian jati diri menemukan kedamaian spiritual adalah puncak kebahagiaan sejati. Hingga tibalah pada sebuah titik bahwa keberterimaan menjadi kulminasi kebahagiaan dan kedamaian hati. Menerima apa yang dianugerahkan Tuhan, dengan apa pun wujud anugerah itu, yang bahkan bisa dilihat orang lain sebagai bencana.
Prinsip keberterimaan itulah yang saat ini sedang saya renungi sungguh-sungguh dalam segala ketidakpastian hidup ini. Bisa jadi, ini hanya sebuah pemikiran perempuan usia 23 yang masih labil saja. Ada beberapa hal yang tidak usah kita pikirkan dengan begitu serius, seperti : masa depan. Sebab tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kecuali Tuhan, bukankah begitu? Seperti halnya kita memikirkan, “Apakah esok hari saya masih bernapas?” pertanyaan seperti itu tak pantas kita pikirkan dengan sungguh-sungguh pada hari ini, sebab itu sudah menjadi urusan Tuhan. Sumarah? Ya. Ikhtiar dan doa lah yang bisa kita lakukan. “Mengapa aku harus berdoa? Mungkinkah sebab pikiran dan hatiku tak cukup untuk menampung kehidupan?”

Senin, 11 November 2013

Pembicaraan dengan Kekasih Masa Lalu


Sore itu kujumpai telepon genggamku terdapat panggilan tak terjawab, “Oh dari dia, ada apa ya,” batinku. Setengah jam kemudian telepon genggamku pun kembali berdering.
“Halo Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, suaramu masih sama seperti yang dulu,” suara seorang laki-laki dari speaker telepon genggamku.
“Iya, tapi bukan berarti aku masih sama seperti yang dulu.”
“Maksudnya?”
“Filosofinya, hari ini harus lebih baik dari kemarin,” jawabku.
“Setidaknya suara itu yang dulu selalu menemaniku.”

Kami selalu mengawali pembicaraan dengan perdebatan. Ya, dia dulu pernah menjadi kekasihku ketika remaja, boleh dibilang cinta pertamaku. Bahkan, jauh sebelum kami dekat, kami selalu berselisih pendapat ketika rapat organisasi. Entahlah, waktu itu ada sesuatu yang membuatku luluh dan berkata, “iya”.

Jumat, 08 November 2013

Cinta Sederhana



Suatu sore di kantor. Saat itu gerimis masih cukup istimewa. Sepuluh menit pertama kala gerimis asik mencumbu basah tanah yang semakin mongering, justru adalah hal yang puitis. Sebab, ada harum tanah yang bisa kau nikmati.

“Sedang apa Dik?” tanya beliau.
“Sedang iseng saja Pak, ini nyicil tesis, sudah ada tagihan rupanya,” jawab saya sembari tersenyum.
“Dik, kau tak iri melihat teman-teman kau menikah?” sambungnya.
“Ya sampai saat ini biasa saja sih Pak, saya malah ikut seneng, mungkin belum waktunya saja buat saya Pak.”
“Saya senang melihat orang yang punya semangat tinggi seperti kau. Ya, semangat untuk membuat hidup jadi lebih baik dan terus membaik. Namun, ada baiknya kau juga tak lupakan untuk membangun kehidupan yang baru, sebab itu juga upaya untuk membuat hidupmu jadi lebih baik.”

…suasana pun hening.

Senin, 28 Oktober 2013

Jejak



“Meina Febriani”, itulah nama saya. Nama yang cukup aneh sebab ada dua nama bulan di sana, Mei dan Februari. Saya dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1990, di Ajibarang, Kabupaten Banyumas, sebuah desa kecil di daerah selatan Jawa Tengah. Lahir dan tinggal sampai usia 18 di Banyumas membuat saya tertarik memelajari budaya Banyumas. Banyak orang yang menganggap saya etnosentris dan terlalu membanggakan Banyumas. Sebenarnya pendapat itu cukup berdasar sebab sebagian besar karya ilmiah saya bertema Banyumas, bahkan skripsi saya. Tidak hanya itu, saya pun berencana untuk menulis tesis saya yang kembali mengusung muatan budaya, mungkin kali ini lebih luas karena yang akan saya teliti adalah muatan budaya Jawa.
Saya yang juga mengidap ailurophobia ini, sesungguhnya tidak terlalu berterima bila disebut sebagai etnosentris. Saya menganggap bahwa, “Bila bukan kita yang melestarikan kearifan lokal, lalu siapa lagi?” Banyak sekali identitas kultural Banyumasan yang saya kagumi dan memengaruhi kepribadian saya, seperti sikap cablaka, blakasutha, egaliter, blak-blakan, dan nilai-nilai luhur Banyumasan yang lain. Pandangan sempit mengenai etnosentris mungkin terlontar sebab hanya melihat kasus dari faktor makro. Menurut saya, mencintai sesuatu yang besar, bisa dimulai dengan memerhatikan hal yang dianggap sepele.
Saya lahir di tengah keluarga yang tidak terlalu demokratis dan sedikit saklek terutama dalam memilih cita-cita. Oleh karena kedua orang tua saya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka hampir selalu mengultuskan PNS adalah pekerjaan yang paling mapan. 

Selasa, 22 Oktober 2013

Benarkah Saya Alay?



Apakah benar kata Raditya Dika bahwa ada fase harus dilalui oleh manusia menjelang dewasa? Setelah melalui fase anak-anak yang penuh keceriaan, lalu ABG atau remaja yang  identik dengan “alay”. Sebelum ia menjadi dewasa, masa-masa ABG itulah yang biasanya dipenuhi dengan ke-alay-an. Alay disebut-sebut sebagai akronim  “anak layangan”, orang yang dianggap norak dan ndeso. Biasanya ke-alay-an remaja ditandai dengan kegandrungan pada boyband, lalu menulis dengan huruf kapital secara berantakan, menggunakan bahasa yang dirasa “aneh”, tapi tentu saja keren menurut mereka. Terus terang saya juga bingung untuk mendefinisikannya.
J.W.M. Bakker Sj dalam bukunya yang berjudul Filsafat Kebudayaan menjelaskan bahwa ada hal-hal yang dinamakan dengan faktor kebudayaan. Faktor-faktor itulah yang dapat membentuk suatu kebudayaan, diantaranya ada yang disebut sebagai teori evolusi dan degenerasi.
Evolusi merupakan perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan menjadi lebih baik atau lebih kompleks. Evolusi diajukan sebagai faktor kebudayaan pada pertengahan abad XIX, pandangan itu diambil alih dari ilmu biologi, orang yang sangat populer menggencarkan teori itu adalah Ch. Darwin dengan publikasi yang menggemparkan The Origin of Species by Means of Natural Selection or The Preservation of Favoured Races in the  Struggle of Life. Tidak hanya ilmu biologi, evolusionisme juga berkembang dalam perkembangan kebudayaan manusia. Contoh evolusi yang dilalui manusia adalah masa-masa berburu dan meramu, lalu menggunakan otot, gigi, berkembang menjadai masa-masa penuh peralatan , menanam , beternak, membangun kota, dan berpolitik. 

Senin, 21 Oktober 2013

Sebuah Jawaban


Sebuah tulisan yang mungkin bisa disebut lanjutan dari cerita rekan saya Gita Wiryawan : Menjelma Sisifus.

Sebuah jawaban untuk pengejaran cinta selama empat tahun. Ini benar-benar sebuah pengejaran. Yang Bukit tahu mengejar cinta seperti menggenggam pasir, bukan seperti sedang bermain petak umpet. Kenyataannya Bukit harus bersembunyi dari Sisifus, melakukan repetisi penolakan.
Ia tidak sepenuhnya seperti Sisifus. Hanya saja ada bagian dalam hidupnya yang menyerupai hukuman Sisifus, repetisi. Sebuah kegagalan yang ia ulang, mungkinkah sebab kepuasan atau obsesi? Inilah kisah antara Sisifus dan sebuah Bukit. Bukan hukuman abadi, tapi sebuah usaha untuk meletakkan batu di atas Bukit. Batu inilah yang katanya simbol ketulusan cintanya melalui repetisi dan usaha nyata.
Dalam mitologi Yunani, Sisifus  mendapat hukuman untuk mengangkat batu besar ke atas Bukit. Setelah sampai, batu besar itu menggelinding dan ia harus kembali mengangkatnya ke Bukit, begitu seterusnya. Sisifus inilah, simbol  repetisi kegagalan, melakukan sesuatu yang ia tahu bahwa sebenarnya gagal tapi tetap melakukannya. Kali ini ia benar-benar menyerah. Simbol Sisifus sudah usai baginya.
Sisifus tak lagi mengangkat batu ke atas Bukit. Sisifus dengan bijak mengakhiri hukumannya, ia membiarkan batu itu di Lembah, setelah ia sadar bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diafirmasi Bukit. Batu yang ia bawa benar-benar tak bisa diterima oleh Bukit, membuatnya terus menggelindingkan batu itu ke Lembah.
“Aku tak merasakan bahwa batu itu sebuah simbol ketulusan, yang aku rasa batu itu menjadi simbol  obsesi yang ia lakukan secara terus-menerus,”  ucap Bukit pada Sisifus. “Pengejaran bukanlah sesuatu hal yang buruk, tetapi ada hal yang tidak bisa diafirmasi dari segala repetisimu,” lanjutnya.

Jumat, 20 September 2013

Dear Tuhan



 Dear Tuhan.

Izinkan aku belajar pada-Mu. Kau yang Maha Memberi Teladan.

Ini masih pukul 20 tapi badanku sepertinya sudah remuk redam. Han, sudah satu pekan ini aku lembur di kantor, pulang kerja tengah malam dan pukul 7 pagi aku sudah kembali bekerja. “Perjuangan adalah satu  pelaksanaan cita dan rasa, perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan”, begitu kata Rendra dalam “Sajak Peperangan Abimanyu”.

Han, tahukah Kau bahwa aku merindukan-Mu?

Saat aku berlari melunasi kata-kata akankah Kau mengejar dan memelukku? Semakin aku jauh melangkah dan berlari mengejar mimpi, semakin erat dan mesrakah aku dalam peluk-Mu?

Sebuah ucapan penuh hikmah “Ridha nas ghayatun la tudrak”, keridaan seluruh umat adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Begitu jugakah yang Kau rasakan Han? Kenapa tak semua orang merasa bahagia? Juga rida pada satu tujuan? Padahal yang aku tahu, bahagia itu relatif. Setiap orang memiliki konsep kebahagiaan dan itulah hak prerogatif sebagai seorang manusia.

Aku tak lagi peduli pada hal itu, sebab tak mungkin aku menjadi nahkoda pada setiap kereta hati manusia. Aku hanyalah pemasung rambu-rambu yang terpampang di jalanan itu. Entah kemana ia pecutkan kuda itu, tak lagi bisa aku memaksanya lewat jalan mana.

Minggu, 01 September 2013

Bila Aku Terlahir Kembali




Bila Tuhan memberikanku kesempatan untuk terlahir kembali, atau mengulang lagi hidupku, mau jadi apakah aku?

Aku masih akan memilih jalan hidupku yang seperti ini. Jika aku meminta kepada Tuhan untuk menggariskan jalan B karena aku tahu bahwa jalan A yang kulalui sekarang adalah jalan yang salah, bisa jadi Meina yang terlahir kembali nantinya benar-benar tak tahu dengan jalan B nya. Dia hanyalah Meina yang mengikuti takdir hidupnya untuk menjalani B. Meski aku tahu jalan yang aku tempuh ini terkadang berliku dan terjal, bahkan seringkali sedikit melenceng dan tersesat, tapi dari jalan inilah aku dapat menentukan pilihan hidupku. Aku jadi tahu mana yang benar dan mana yang salah hingga aku bisa tahu alasan dalam setiap pilihan hidupku.

Ya Tuhan, aku begitu bersyukur dalam keadaanku sekarang, keluarga yang aku sayangi dan teman-teman yang sangat baik kepadaku. Semoga Engkau membalas setiap helai kebaikan mereka dengan berlipat-lipat kali lebih banyak. Aamiin.

Kamis, 22 Agustus 2013

Nguri-uri Budaya Melalui Museum Desa


Kesenian Kentongan

Pada hari Minggu, 4 Agustus 2013, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas. Dermaji merupakan sebuah desa yang terletak di Kabupaten Banyumas bagian barat. Saya mendapatkan informasi tentang desa tersebut dari internet dan komunitas Blogger Banyumas. Saya merasa sangat senang, sebab jarang sekali ada pemerintah desa atau warga yang berinisiatif untuk mengabadikan dan menuliskan tradisi yang masih dijalaninya dalam bentuk website desa yakni http://dermaji.desa.id.
Mulanya, saya yang notabene masih berstatus menjadi mahasiswa mendapat tugas dari dosen saya untuk mencari informasi tentang tradisi lisan yang masih berkembang di Kabupaten Banyumas. Banyumas merupakan salah satu daerah yang sangat kaya akan budaya. Warga Banyumas memiliki keunikan identitas kultural berupa cablaka dan blakasuta yang berarti tindakan yang tanpa ditutup-tutupi. Identitas kultural itu tercermin dalam berbagai tradisi yang berkembang di Banyumas. Menurut saya, akan sangat sia-sia jika Banyumas yang sangat “kaya” itu kemudian kehilangan identitasnya karena tak ada upaya untuk melestarikannya. 

Senin, 19 Agustus 2013

Semester Ini


Konsep Cinta (?)


Akhir-akhir ini entah kenapa saya merasa tak punya semangat dan motivasi untuk hidup. Ya, bukan lagi pernyataan yang lajak, tapi saya benar-benar hampir kehilangan identitas saya. Bukan main-main, saya bahkan sampai meragukan apa yang telah saya yakini sepenuhnya, tentang berbagai keyakinan yang saya anut sebelumnya. Mungkin benar, terlalu banyak yang dipikirkan membuat kita tidak fokus terhadap tujuan hidup ini. Hal yang saya tangkap dalam buku Quantum Ikhlas, ada beberapa hal yang sebaiknya tidak usah kita pikirkan, tentu saja jika hal itu malah menambah beban pikiranmu, yang jika kau pikirkan pun tak bakal menjadi sebuah solusi. Oleh sebab itu, bersikap tak acuh terhadap beberapa hal boleh jadi menjadi kunci agar kita bisa ikhlas.
Beberapa sebab yang membuat saya galau akhir-akhir ini adalah sesuatu yang memang layak dipikirkan oleh perempuan seusia saya, 23,5 tahun. Usia yang tak lagi dibilang remaja. Saya mempertanyakan tentang konsep cinta, tentang masalah di keluarga saya, tentang pekerjaan, masa depan saya, dan tentu tentang kelanjutan studi saya yang hampir memasuki tingkat akhir.
Entahlah, diusia saya ini, saya masih sangat alay dan terkesan labil apalagi di media sosial (saya sangat mengakui itu), tapi itulah media saya berekspresi. Beberapa waktu ini saya memang lebih sering berdiam diri di kamar, bukan untuk mengeja kitab suci, tapi malah cenderung melakukan hal-hal yang tak penting, lebih tepatnya bermalas-malasan. Saya kehilangan banyak kesempatan berinteraksi dengan orang, apalagi saya baru saja terjebak dalam zona nyaman pascalibur lebaran. Baru saya sadari sepenuhnya bahwa saya murni makhluk sosial yang tak bisa kehilangan interaksi dengan orang-orang dengan waktu yang agak lama. Setelah saya sedikit memaksa diri untuk sekadar berkunjung ke kamar teman, atau hang out dengan adik-adik tingkat, rupanya itu cukup efektif untuk menghilangkan rasa kesendirian saya yang bisa membuahkan kegalauan, apalagi galau tentang cinta.

Selasa, 16 Juli 2013

Nikmatnya Mencari Ilmu




Saya ingin menjadi orang yang berilmu, entah berprofesi sebagai apa nantinya tapi yang jelas niat untuk bersekolah semestinya bukan untuk mendapat pekerjaan, tapi murni untuk mencari ilmu agar bisa bermanfaat bagi umat. Lalu mau makan apa kalo bersekolah tidak untuk mencari kerja? Eiits, apa pun pekerjaanmu insyaallah itulah berkah dari ilmu yang kau miliki.
Berkah? Apa itu berkah? Saya juga tidak bisa mengartikannya. Namun saya yakin segala yang ada dalam hidup ini belum tentu bisa dihitung dengan ilmu matematika manusia. Saya giat bekerja lalu saya akan kaya raya? Saya rajin belajar lalu saya bisa peringkat pertama? Belum tentu juga, yang saya rasa ada faktor x, faktor yang tak terlihat, faktor yang mungkin itulah yang dimaksud berkah? Bagaimana berkah bisa diraih? Tentu Tuhan yang menentukan, dengan ridanya, impossible is nothing.
Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya bekerja untuk mencari uang bukan mencari rida Allah. Saya takut terlalu banyak mengejar urusan dunia, hingga Allah memberikan urusan dunia yang tak ada habis-habisnya sampai saya lelah mengejar dunia. Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya bekerja dengan penuh pamrih dan itu pasti sangat melelahkan. Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya hanya mendapat ilmu dunia, yang membuat saya terus mengejar urusan dunia. Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya akan menghalalkan berbagai cara untuk jadi nomor satu.

Senin, 15 Juli 2013

Dia yang Datang Paling Awal dan Pulang Paling Akhir

Sumber


“Kita belum sampai bertaruh nyawa demi melantunkan ayat suci. Belum sampai berjalan puluhan kilometer tanpa alas kaki demi menimba ilmu di sekolah berdebu. Kita belum sampai dilempari batu untuk sekadar salat berjamaah di surau yang hampir roboh, fabiayyi ala i rabbikuma tukadziban?

Cerita ini tentang seorang nenek tua yang usianya aku taksir delapan puluh tahun, perawakannya mulai kurus, keriput pun sudah membalut semua kulitnya, bahkan tubuhnya yang membungkuk hampir membentuk sudut 90 derajat membuatnya sulit untuk melangkah. Pernah suatu ketika tatkala iqamah sudah berkumandang, jamaah berduyun-duyun menapaki pelataran masjid. Sebuah fenomena yang jarang aku jumpai, terjadi antrean yang sangat panjang untuk menuju lantai dua. Barisan jamaah akhwat memang dilokasikan di sana, berbeda dengan ikhwan yang berada di lantai satu. Hampir semua jamaah mengeluh karena waktu salat yang sudah dimulai, bahkan imam pun sudah hampir habis membaca surat Al-Fatihah.

Sudah dua Ramadan aku melewati tarawih di sebuah masjid samping kosku. Baru kali ini aku tahu, ada pemandangan yang aku abaikan. Sependar cahaya batin yang tertutup dan baru terkuak. Antrean itu karena nenek yang terlambat berangkat salat. Untuk menuju lantai dua, tentu harus dengan perjuangan dan waktu yang ekstra. Semenjak itulah, dia selalu datang paling awal dan pulang paling akhir di antara para jamaah.

Rabu, 10 Juli 2013

Sepotong Rindu

Sumber


……
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
……

(Sepotong Senja untuk Pacarku, Seno Gumira Ajidarma)

Senin, 10 Juni 2013

Terlalu Lelah



Ketika aku punya seseorang yang aku kagumi dan menganggap ia baik lalu aku jadikan ia teladan serta kugantungkan harapan padanya. Serupa mawar yang indah, ia tetaplah berduri, serupa manusia biasa ia juga punya cela. Tatkala panas setahun hilang diguyur hujan sehari. Persis seperti susu sebelanga ternoda setitik nila. Hanya kecewa yang aku dapat.
Pemikiran itu berganti pada anggapan tak mau lagi bergantung pada orang lain, mungkin hanya diri sendiri yang pantas diandalkan. Bukan merasa damai, justru hati ingin mengalahkan diri sendiri. Jiwa persaingan memuncak rasanya ingin jadi nomor satu. Padahal tak perlu selalu jadi nomor satu untuk bahagia. Rupanya Aristoteles benar, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Lagi-lagi pemikiran ini tak begitu selaras.
 Gontai sudah langkah hati, tak adakah yang bisa aku andalkan, bahkan alam semesta? Pagi itu Semarang diguyur hujan lebat, padahal sudah bulan Juni, seharusnya sudah masuk kemarau. Hati mengaduh tak karuan, apalagi tak bisa berangkat kerja karena hujan yang mengguyur atau cucian yang tak kering, bahkan cuaca yang tiba-tiba berganti panas membara. Lagi-lagi aku salahkan alam, salahkan langit, salahkan siapa saja yang mencipratiku genangan air ketika sedang berjalan kaki. Menyalahkan apa pun yang aku kira membuatku merasa selalu benar. Rupanya sungguh sangat melelahkan. Menganggap yang lain selalu salah, dan diri sendiri yang jelas benar.

Kamis, 30 Mei 2013

How to be An Inspiring Teacher?


Ibarat seorang petani yang menyebarkan benih, kelak benih itu akan menjadi pohon, lalu pohon itu juga menghasilkan benih, lalu benih itu tumbuh lagi menjadi pohon yang juga menghasilkan benih. Begitu pula halnya dengan menyebarkan ilmu.
Alhamdulillahirabbil’alamin Ya Rabb yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk mewujudkan cita-citaku menjadi seorang guru. Terima kasih tak terhingga untuk gurunda yang telah memberikan inspirasi luar biasa, gurunda yang pernah mengajariku dari aku duduk di bangku kanak-kanak hingga berada di bangku kuliah pascasarjana. Sesungguhnya suara kalian yang telah membisik lembut di telingaku, keihklasan kalian yang telah membuatku semakin mantap melangkahkan kaki dan mengabdi di dunia pendidikan.
Semenjak aku duduk di bangku taman kanak-kanak, aku sering diajak ibuku ke sekolah. Ya, ibuku adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP. Semenjak 1981 beliau mengajar sampai saat ini, beliau  tak pernah membawa kendaraan ke sekolah. Ibu selalu berjalan kaki ke sekolah karena jarak sekolah dan rumah memang cukup dekat.  Memang dekat, tapi apakah ibu tak punya keinginan untuk mengendarai mobil atau sekadar sepeda motor matic ketika berangkat ke sekolah? Apakah ibu tak iri dengan para pengendara? Atau tak bosan berjalan kaki? Apakah ibu tak punya keinginan untuk sesekali mencicipi kendaraan pribadi ketika berangkat bekerja? Ah sudahlah, 32 tahun yang lamanya sama dengan kekuasaan Presiden Soeharto itu mungkin perjalanan yang tak cukup panjang untuk menikmati dinamika menjadi seorang guru. Bahwa soal tunggangan atau sekadar gengsi bukanlah menjadi hal yang didewakan ibu. Yang aku tahu, ibu hanya punya sebuah tas yang sering beliau bawa kemana-mana, ya untuk mengajar atau untuk kegiatan apa saja. “Ibu, sudah seharusnya Ibu menikmati hari tua dan bersenang-senanglah untuk dirimu.”
Sungguh tak ada gambaran lain selain menjadi guru, apalagi semenjak kecil aku sangat akrab dengan lingkungan sekolah tempat ibuku mengajar. Apakah ibu menyadari bahwa engkaulah inspirasi terhebat bagiku untuk menjadi seorang guru, inspirasi bagiku untuk mendalami bahasa dan sastra Indonesia. Sampai kapan pun, engkaulah guru terbaik bagiku.  
Ibu, aku ingin bercerita bahwa aku sangat menikmati hari-hariku menjadi seorang guru. Katamu, jadilah guru yang tidak hanya mengajar tapi juga mendidik. Oleh karena itu, kau bilang bahwa guru adalah pendidik. Pendidikan adalah sebuah pembiasaan, perubahan perilaku yang tadinya buruk menjadi baik, perubahan dari yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Dari situlah aku menyadari bahwa menjadi guru bukanlah tugas yang ringan. Aku malu Bu, malu bila “sok-sokan” mengajari yang baik padahal dirinya belum menjadi orang yang baik. aku malu Bu, kalau “sok-sokan” mengajar tapi ternyata yang diajarkan adalah hal yang salah.
Entahlah, tapi aku sangat yakin bahwa menjadi guru adalah sebuah pekerjaan yang memberikan aset dunia dan akhirat. Aku pernah membaca sebuah artikel bahwa ketika kita hanya mengejar urusan duniawi maka kita akan selalu disibukkan oleh urusan duniawi yang tiada habisnya, hanya lelah yang didapat. Aku juga pernah membaca hadits yang kurang lebih berisi; kalau kita ingin mendapatkan dunia pelajari ilmunya, kalau kita ingin mendapatkan akhirat pelajari ilmunya, kalau ingin mendapatkan keduanya pelajari pula ilmunya. Alangkah indah bila benih ilmu yang kita tanam bisa menjadi bekal bagi diri dan juga orang lain, subhanallah.
Pernah juga kudengar bisik mereka tentang guru, mereka bilang, “Mau-maunya jadi guru, gajinya kan sedikit.” Bagaimana Bu? tapi paradigmaku saat ini “yang penting berkecukupan”, pekerjaan dan tugas yang begitu banyak dan penghasilan yang lebih sedikit dari timbangan beban kerja, mungkin bisa saja disebut sebagai “kerja berkah”, wallahua’lam. Nyatanya ibu bertahan menjadi guru selama 32 tahun, dan kita tak mati kelaparan.

Jumat, 24 Mei 2013

Untuk Greta



Untuk Greta, sahabatku.

Entah mengapa aku ingin menulis catatan ini untukmu, untuk kau yang selalu di dekatku, sangat dekat. Kau pernah bilang bahwa kau akan selalu ada untukku ketika ada cahaya. “Mina, pergilah mendekat cahaya maka aku ada untukmu,” katamu sambil tersenyum. Greta, teruslah tersenyum untukku walau dalam keadaan paling menyakitkan sekalipun.
Pernah suatu ketika kau datang padaku dengan muka yang sangat berseri dan senyum yang mengembang. Kau bilang bahwa kau sedang merasa bahagia sekali. Ya, perasaan yang tak kau rasakan sejak tahun 2009 silam saat kau memutuskan untuk tidak lagi mencintai seorang “lelaki beruntung”, wajah yang menghiasi hari-hari pada masa remajamu. Namun setelah itu, aku baru melihat matamu begitu berbinar dan pipimu begitu merona.
Katamu waktu itu, “Mina, baru kali ini aku bertemu dengan sebuah cermin, seseorang yang di matanya aku bisa melihat diriku sendiri.”
Aku tersenyum dan sangat bahagia mendengar cerita-ceritamu waktu itu, aku berharap kisah itu tak kembali kandas karena aku tahu, hatimu begitu rapuh Greta. “Hanya dengannya, moment memilih sabun colek pun jadi moment yang sangat menyenangkan. Aku bisa melihat Tuhan di matanya, dia platonik, lelaki yang aku cari!”
Sesaat setelah kau datang kau menunjukkan sebuah buku padaku, buku gambar yang tidak kau gunakan untuk menggambar. “Aku membelinya di toko alat tulis, sengaja memang, aku ingin mengabadikan segala sesuatu di sini, mulai dari karcis parkir, karcis bioskop, bahkan plastik pembungkus botol mineral ketika kali pertama kita bertemu. Kau tahu Mina, ternyata kami memiliki buku gambar yang sama, hanya saja buku gambar yang ia punya sangat kecil.”
“Lantas kau bilang kalau kalian berjodoh hanya karena memiliki banyak hal yang sama?”
Kau hanya meringis. “Bukankah ini amazing?”

Kamis, 16 Mei 2013

Izinkan Aku Reguk Cinta-Mu




Sumber
“Akan sangat menyedihkan dan menyakitkan, 
merindukan seseorang yang belum halal bagi kita.” (Nana Riskhi)

Bukan apa yang kau terima dari cintamu, tapi apa yang telah kau lakukan untuk cintamu. Karena siapa? makhluk? tentu saja bukan. Lakukan semuanya lillahita’ala maka hidupmu damai selalu.
Menemukan konsep jatuh cinta, hal yang benar-benar sedang Greta renungkan dalam tiga bulan belakangan ini. Bahwa memang sangat melelahkan dan menyiksa perasaan, mengharap sesuatu selain kepada Tuhan. Manusiawi, jika kita “mengharap” tapi harapan hanya akan mendatangkan kecewa jika tak bermuara kepada-Nya. Berharap dengan makhluk hanya akan menyiksa batin karena manusia memiliki kuasa untuk menyalahkan dia sebagai sesama makhluk. Beda halnya ketika segala puncak pengharapan hanya ditujukan pada zat yang kekal, tak akan ada rasa su’udzon.
Mungkin benar kata Sudjiwo Tedjo, bahwa “Jatuh cinta itu takdir dan menikah itu nasib.” Perasaan cinta pada seseorang tumbuh dengan alamiah dan naluriah, mana bisa manusia menghindarinya?
“Hanya dengan tidak jatuh cinta pada masanya yang bisa menjaga hati kita tetap suci dan damai,” batin Greta. Benarkah begitu? “Sepertinya akan sangat menyakitkan bagi seorang suami bila mengetahui bahwa istrinya ternyata dulu sangat mencintai pria lain,” sambungnya. Ya, jatuh cinta dan setia pada pasangan yang akan mengantarkan kita surga nanti, bahkan jauh sebelum dipertemukan secara nyata, akan menjadi hal yang sangat indah. 

Senin, 06 Mei 2013

. . .


Nyatanya, hujan pun tak merintik pada kemarau. 
Andai kau tahu, sisa pasir di sepatumu masih aku simpan,
sebab tak ada yang bisa kau tinggalkan.
. . .
Nyatanya sangat menyakitkan dan melelahkan,
merindukan hujan pada kemarau.
Tuhan, kulukis bait rindu di langit.
Apalah arti jarak, bila kita masih bisa melihat purnama yang sama.

Sabtu, 20 April 2013

Sosok Istimewa (3)


Lanjutan dari : Sosok Istimewa dan Sosok Istimewa (2)
 
Sore itu, aku dikejutkan dengan sebuah paket berwarna cokelat. Paket yang sebenarnya aku tahu bahwa itu dikirimkan oleh teman sekamarku ketika kuliah S-1, Nita. Semenjak tahun 2008 kami memang punya ritual untuk memberikan kado ketika berulang tahun. Ulang tahunku sudah lewat cukup lama, Nita sudah berulang kali menanyakan, “Kamu mau kado apa?” Namun, tak jarang aku melewatkan SMS-nya, entahlah. “Nita, cuek itu bukan berarti tak peduli, aku hanya tidak ingin merepotkanmu,” batinku.

Bukan Nita namanya kalau tak protes denganku, luluh juga hatiku. “Iya Nit, aku pengin rok, tapi yang panjang, rok pemberianmu tahun lalu terlalu cungklang untukku,” begitu kira-kira balasan SMS-ku. Nita pun semakin rajin mengirimiku SMS untuk menanyakan model rok apa yang aku kehendaki, tapi dasar Mina, lagi-lagi aku jarang membalas SMS-nya. “Ngapain juga tanya-tanya, aku bukan orang yang ribet dalam memilih barang belanjaan,” kataku dalam hati.

Kami memang berbeda, apa lagi kalau sedang berbelanja. Aku suka belanja tapi bukan tipe orang yang ribet. Berbeda dengan Nita, ia harus berkeliling dari Toko A sampai Z baru menentukan pilihan, tak jarang pilihannya jatuh ke Toko A, alhasil kita harus putar balik. Dengan keadaan yang seperti itu, biasanya aku melancarkan aksi cemberut, tapi hilang sudah rasa jengkel kalau sudah disumpal traktiran oleh Nita, apalagi segelas teh susu Tong Tji. Nikmat sekali.

Aku masih saja berlaku cuek. Dia sudah sangat paham tabiatku, kalau cuek berarti Mina sedang terlalu banyak pekerjaan. Lama sudah dia tak SMS, hingga datanglah paket itu, aku membukanya dengan sangat hati-hati.

Senin, 01 April 2013

Renungan Indah



Renungan Indah
WS. Rendra
(Puisi terakhir Rendra yang dituliskan di atas ranjang)


aku berkata,
Ketika semua orang memujiku

Bahwa semua itu hanyalah titipan.
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku ?

Mengapa hatiku justru terasa berat,
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah.
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka.
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja,
untuk melukiskan kalau itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku.

Minggu, 24 Maret 2013

Cinta Satu Arah



Inilah alasan saya, benar-benar meyakini bahwa cinta sejati itu hanya satu arah, tidak lebih.

Cinta satu arah bukanlah cintaku padamu. Yang aku yakini cinta itu suci dan tak mungkin tumbuh dengan serta merta dalam hati. Bisa saja Tuhan yang menanamnya. Jika Dia adalah sang penanam, balaslah cintanya bukan karena niat untuk manusia melainkan pada-Nya.
Ketika seseorang benar-benar yakin bahwa ia telah jatuh cinta, seharusnya ia tak pernah peduli dengan apa yang telah ia korbankan. Sejatinya pengorbanan itu bukan dilakukan untuk manusia, melainkan karena-Nya. Persoalan manusia itu membalas atau tidak, bukanlah kapastitas kita. Itu urusan Tuhan.
Yang aku tahu, ketika cinta terbalas oleh manusia, sejatinya yang membalas adalah Tuhan, Dia hanya menggunakan manusia sebagai perantara. Jadi, tak usah kau risaukan pada sebuah balasan. Yakinlah janji Tuhan selalu benar.