Minggu, 24 Maret 2013

Cinta Satu Arah



Inilah alasan saya, benar-benar meyakini bahwa cinta sejati itu hanya satu arah, tidak lebih.

Cinta satu arah bukanlah cintaku padamu. Yang aku yakini cinta itu suci dan tak mungkin tumbuh dengan serta merta dalam hati. Bisa saja Tuhan yang menanamnya. Jika Dia adalah sang penanam, balaslah cintanya bukan karena niat untuk manusia melainkan pada-Nya.
Ketika seseorang benar-benar yakin bahwa ia telah jatuh cinta, seharusnya ia tak pernah peduli dengan apa yang telah ia korbankan. Sejatinya pengorbanan itu bukan dilakukan untuk manusia, melainkan karena-Nya. Persoalan manusia itu membalas atau tidak, bukanlah kapastitas kita. Itu urusan Tuhan.
Yang aku tahu, ketika cinta terbalas oleh manusia, sejatinya yang membalas adalah Tuhan, Dia hanya menggunakan manusia sebagai perantara. Jadi, tak usah kau risaukan pada sebuah balasan. Yakinlah janji Tuhan selalu benar.

Filosofi Kentut



Mungkin memang sedikit aneh, jika orang lain tutup hidung ketika dia kentut, tapi aku tidak. Bagiku menghirup kentut sendiri adalah sebuah kenikmatan. Logikanya sederhana, perut sudah kerja keras menghasilkan gas, sayang sekali jika tak ada yang mau menghirupnya padahal kentut adalah bagian dari tubuhmu sendiri. Sayangnya aku tak suka menghirup kentut orang lain, alasannya simpel, itu bukan hasil karyaku.
Aku memang sangat awam soal biologi, bahkan nilai Ujian Nasionalku waktu SMA hanya 5,75, nyaris tidak lulus karena batas kelulusan waktu itu 5,25. Aku pun tak tahu bagaimana prosesnya hingga terbentuklah si kentut. Namun, aku punya pandangan lain yang aku temukan ketika tadi pagi kucium aroma kentutku di toilet. Nikmat sekali rasanya.
Kentutmu adalah tanggung jawabmu. Ya, ketika tubuhmu menghasilkan sesuatu, itulah bagian dari hidupmu. Hampir sama dengan kehidupan. Apa pun yang kamu lakukan, dan apa pun hasilnya, itulah konsekuensi yang kamu terima dan harus kamu pertanggungjawabkan. Entah hasilnya baik atau buruk, entah kentutmu sewangi mawar atau sebau tahi kerbau. Namun, itulah bagian darimu. Oleh karena itu, aku suka bau kentutku.

Senin, 18 Maret 2013

Dari Radio


Cerita Pertama
Seorang lelaki yang diam-diam pergi ke dokter THT, dia mencurigai bahwa istrinya memiliki gangguan pendengaran. Takut membuat istrinya tersingggung, ia mencoba berkonsultasi dengan sang dokter. “Coba kau panggil istrimu dengan suara yang sedang-sedang saja dalam jarak 10 meter, lalu semakin mendekatlah ketika ia tidak mendengar, setelah itu kau bisa kembali lagi ke sini,” ucap dokter. “Baik Dok.”
Lelaki itu benar-benar menuruti saran dokter. Ia coba memanggil istrinya dari jarak 10 meter tatkala sang istri sedang berada di dapur dan menyiapkan sarapan pagi. Lelaki itu bertanya, “Masak apa Sayang?” tak ada jawaban.
Dia mencoba berjalan 2 meter mendekat, kali ini posisinya berjarak 8 meter dengan sang istri. “Masak apa Sayang?” masih tak ada jawaban, sang istri pun belum juga menolehkan wajahnya. Lelaki itu masih bersabar, ia maju lagi 3 meter, posisinya jadi 5 meter di belakang istrinya. “Masak apa Sayang?” kembali ia mengulang pertanyaannya. Nihil, istrinya masih asik memasak.
Tak putus asa, ia kembali mendekat 2 meter, posisinya kini jadi 3 meter di balik sang istri. Ia kembali mengulang pertanyaannya dengan volume yang sama dengan kali pertama ia coba memanggil sang istri. “Masak apa Sayang?” tak juga ada jawaban.

Senin, 11 Maret 2013

Bukan Melepasmu


Untuk : Lelaki Platonik

Tak ada yang salah pada bulan Maret, saat langit merintikkan hujannya dan membasahiku. Tak ada yang perlu dirisaukan dari kristal yang mengembun di kelopak mata. Bukanlah sebuah kekeliruan bila pada hari ini, saat aku mulai merasa kehilangan sesuatu yang (aku rasa) sempat aku miliki. Bukan seperti kisah Azab dan Sengsara tatkala Aminuddin yang merelakan Mariamin karena dikawin paksa, atau kisah serupa pada kesusastraan 1920-an. Kerelaan yang disebab oleh keadaan dan pemaksaan atau ada pihak ketiga yang membuat cinta tak lagi bersatu. Bukan, kerelaanku sungguh bukan karena sebab-sebab yang bisa aku deskripsikan secara gamblang dan buat semua orang mengerti. Mungkin cenderung metafisik.
Selepas senja ini, aku berjanji akan selalu menyelipkan sebuah angan dalam setiap doaku. Tuhan memang tak pernah melarang hamba-Nya untuk jatuh cinta, bahkan cinta begitu dimuliakan. Oleh sebab itu, sebagai seorang hamba-Nya, sungguh aku ingin pula dimuliakan dengan selalu menyebutmu dalam setiap kepingan mimpiku, bahwa “Aku ingin cinta yang halal…”

Minggu, 03 Maret 2013

Dijodohkan Tuhan


Ada yang beda pada malam itu. Hujan dan mantel yang tak mampu menghalau basahnya tubuh ini. Dua manusia yang tak pernah berikrar untuk saling mencintai. Entahlah aku pun tak tahu apakah kedua hati itu telah bertaut. Sungguh bukan gulita biasa, apalagi malam tanpa makna. Mungkin bagi yang lain tak ada beda, tapi sungguh bagi dua manusia itu, malam yang membuat mereka bersama akan menjadi memori tak terhapuskan.
Tak ada bintang, apalagi pancaran bulan. Tapi malam itu sangat indah, malam yang mereka habiskan berdua. Sebuah keindahan yang mereka ciptakan sendiri.
Karena cinta?
Mungkinkah cinta sebenarnya adalah sejenis adsorben dari segala zat yang dianggap wajar dan biasa, bahkan bisa menyerap racun di segala suasana?
Beri aku jawaban, meskipun aku tahu kau juga tak bisa jelaskan.
Entahlah.
Kita minta jawaban pada Tuhan saja.

Dear Platonik,
“Mencintaimu dalam diam”, bisa jadi menjadi sesuatu hal yang sangat klise. Bahkan bisa dibilang norak. “Mengapa jika kau mencintai, kau harus menyembunyikan perasaanmu?”
Platonikku, pada hari itu saat kutahu kau masih setia berdiri di sampingku adalah sesuatu hal yang sangat istimewa untukku. Saat kau mampu menahan segala egomu, amarahmu, bahkan kau masih saja tersenyum padaku ketika aku melakukan segala hal bodoh.