Selasa, 16 Juli 2013

Nikmatnya Mencari Ilmu




Saya ingin menjadi orang yang berilmu, entah berprofesi sebagai apa nantinya tapi yang jelas niat untuk bersekolah semestinya bukan untuk mendapat pekerjaan, tapi murni untuk mencari ilmu agar bisa bermanfaat bagi umat. Lalu mau makan apa kalo bersekolah tidak untuk mencari kerja? Eiits, apa pun pekerjaanmu insyaallah itulah berkah dari ilmu yang kau miliki.
Berkah? Apa itu berkah? Saya juga tidak bisa mengartikannya. Namun saya yakin segala yang ada dalam hidup ini belum tentu bisa dihitung dengan ilmu matematika manusia. Saya giat bekerja lalu saya akan kaya raya? Saya rajin belajar lalu saya bisa peringkat pertama? Belum tentu juga, yang saya rasa ada faktor x, faktor yang tak terlihat, faktor yang mungkin itulah yang dimaksud berkah? Bagaimana berkah bisa diraih? Tentu Tuhan yang menentukan, dengan ridanya, impossible is nothing.
Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya bekerja untuk mencari uang bukan mencari rida Allah. Saya takut terlalu banyak mengejar urusan dunia, hingga Allah memberikan urusan dunia yang tak ada habis-habisnya sampai saya lelah mengejar dunia. Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya bekerja dengan penuh pamrih dan itu pasti sangat melelahkan. Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya hanya mendapat ilmu dunia, yang membuat saya terus mengejar urusan dunia. Saya takut kalau niat saya bersekolah untuk mencari kerja, saya akan menghalalkan berbagai cara untuk jadi nomor satu.

Senin, 15 Juli 2013

Dia yang Datang Paling Awal dan Pulang Paling Akhir

Sumber


“Kita belum sampai bertaruh nyawa demi melantunkan ayat suci. Belum sampai berjalan puluhan kilometer tanpa alas kaki demi menimba ilmu di sekolah berdebu. Kita belum sampai dilempari batu untuk sekadar salat berjamaah di surau yang hampir roboh, fabiayyi ala i rabbikuma tukadziban?

Cerita ini tentang seorang nenek tua yang usianya aku taksir delapan puluh tahun, perawakannya mulai kurus, keriput pun sudah membalut semua kulitnya, bahkan tubuhnya yang membungkuk hampir membentuk sudut 90 derajat membuatnya sulit untuk melangkah. Pernah suatu ketika tatkala iqamah sudah berkumandang, jamaah berduyun-duyun menapaki pelataran masjid. Sebuah fenomena yang jarang aku jumpai, terjadi antrean yang sangat panjang untuk menuju lantai dua. Barisan jamaah akhwat memang dilokasikan di sana, berbeda dengan ikhwan yang berada di lantai satu. Hampir semua jamaah mengeluh karena waktu salat yang sudah dimulai, bahkan imam pun sudah hampir habis membaca surat Al-Fatihah.

Sudah dua Ramadan aku melewati tarawih di sebuah masjid samping kosku. Baru kali ini aku tahu, ada pemandangan yang aku abaikan. Sependar cahaya batin yang tertutup dan baru terkuak. Antrean itu karena nenek yang terlambat berangkat salat. Untuk menuju lantai dua, tentu harus dengan perjuangan dan waktu yang ekstra. Semenjak itulah, dia selalu datang paling awal dan pulang paling akhir di antara para jamaah.

Rabu, 10 Juli 2013

Sepotong Rindu

Sumber


……
Kukirimkan sepotong senja ini untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia Alina.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita Alina.
……

(Sepotong Senja untuk Pacarku, Seno Gumira Ajidarma)