Kamis, 22 Agustus 2013

Nguri-uri Budaya Melalui Museum Desa


Kesenian Kentongan

Pada hari Minggu, 4 Agustus 2013, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas. Dermaji merupakan sebuah desa yang terletak di Kabupaten Banyumas bagian barat. Saya mendapatkan informasi tentang desa tersebut dari internet dan komunitas Blogger Banyumas. Saya merasa sangat senang, sebab jarang sekali ada pemerintah desa atau warga yang berinisiatif untuk mengabadikan dan menuliskan tradisi yang masih dijalaninya dalam bentuk website desa yakni http://dermaji.desa.id.
Mulanya, saya yang notabene masih berstatus menjadi mahasiswa mendapat tugas dari dosen saya untuk mencari informasi tentang tradisi lisan yang masih berkembang di Kabupaten Banyumas. Banyumas merupakan salah satu daerah yang sangat kaya akan budaya. Warga Banyumas memiliki keunikan identitas kultural berupa cablaka dan blakasuta yang berarti tindakan yang tanpa ditutup-tutupi. Identitas kultural itu tercermin dalam berbagai tradisi yang berkembang di Banyumas. Menurut saya, akan sangat sia-sia jika Banyumas yang sangat “kaya” itu kemudian kehilangan identitasnya karena tak ada upaya untuk melestarikannya. 

Senin, 19 Agustus 2013

Semester Ini


Konsep Cinta (?)


Akhir-akhir ini entah kenapa saya merasa tak punya semangat dan motivasi untuk hidup. Ya, bukan lagi pernyataan yang lajak, tapi saya benar-benar hampir kehilangan identitas saya. Bukan main-main, saya bahkan sampai meragukan apa yang telah saya yakini sepenuhnya, tentang berbagai keyakinan yang saya anut sebelumnya. Mungkin benar, terlalu banyak yang dipikirkan membuat kita tidak fokus terhadap tujuan hidup ini. Hal yang saya tangkap dalam buku Quantum Ikhlas, ada beberapa hal yang sebaiknya tidak usah kita pikirkan, tentu saja jika hal itu malah menambah beban pikiranmu, yang jika kau pikirkan pun tak bakal menjadi sebuah solusi. Oleh sebab itu, bersikap tak acuh terhadap beberapa hal boleh jadi menjadi kunci agar kita bisa ikhlas.
Beberapa sebab yang membuat saya galau akhir-akhir ini adalah sesuatu yang memang layak dipikirkan oleh perempuan seusia saya, 23,5 tahun. Usia yang tak lagi dibilang remaja. Saya mempertanyakan tentang konsep cinta, tentang masalah di keluarga saya, tentang pekerjaan, masa depan saya, dan tentu tentang kelanjutan studi saya yang hampir memasuki tingkat akhir.
Entahlah, diusia saya ini, saya masih sangat alay dan terkesan labil apalagi di media sosial (saya sangat mengakui itu), tapi itulah media saya berekspresi. Beberapa waktu ini saya memang lebih sering berdiam diri di kamar, bukan untuk mengeja kitab suci, tapi malah cenderung melakukan hal-hal yang tak penting, lebih tepatnya bermalas-malasan. Saya kehilangan banyak kesempatan berinteraksi dengan orang, apalagi saya baru saja terjebak dalam zona nyaman pascalibur lebaran. Baru saya sadari sepenuhnya bahwa saya murni makhluk sosial yang tak bisa kehilangan interaksi dengan orang-orang dengan waktu yang agak lama. Setelah saya sedikit memaksa diri untuk sekadar berkunjung ke kamar teman, atau hang out dengan adik-adik tingkat, rupanya itu cukup efektif untuk menghilangkan rasa kesendirian saya yang bisa membuahkan kegalauan, apalagi galau tentang cinta.