Senin, 28 Oktober 2013

Jejak



“Meina Febriani”, itulah nama saya. Nama yang cukup aneh sebab ada dua nama bulan di sana, Mei dan Februari. Saya dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1990, di Ajibarang, Kabupaten Banyumas, sebuah desa kecil di daerah selatan Jawa Tengah. Lahir dan tinggal sampai usia 18 di Banyumas membuat saya tertarik memelajari budaya Banyumas. Banyak orang yang menganggap saya etnosentris dan terlalu membanggakan Banyumas. Sebenarnya pendapat itu cukup berdasar sebab sebagian besar karya ilmiah saya bertema Banyumas, bahkan skripsi saya. Tidak hanya itu, saya pun berencana untuk menulis tesis saya yang kembali mengusung muatan budaya, mungkin kali ini lebih luas karena yang akan saya teliti adalah muatan budaya Jawa.
Saya yang juga mengidap ailurophobia ini, sesungguhnya tidak terlalu berterima bila disebut sebagai etnosentris. Saya menganggap bahwa, “Bila bukan kita yang melestarikan kearifan lokal, lalu siapa lagi?” Banyak sekali identitas kultural Banyumasan yang saya kagumi dan memengaruhi kepribadian saya, seperti sikap cablaka, blakasutha, egaliter, blak-blakan, dan nilai-nilai luhur Banyumasan yang lain. Pandangan sempit mengenai etnosentris mungkin terlontar sebab hanya melihat kasus dari faktor makro. Menurut saya, mencintai sesuatu yang besar, bisa dimulai dengan memerhatikan hal yang dianggap sepele.
Saya lahir di tengah keluarga yang tidak terlalu demokratis dan sedikit saklek terutama dalam memilih cita-cita. Oleh karena kedua orang tua saya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka hampir selalu mengultuskan PNS adalah pekerjaan yang paling mapan. 

Selasa, 22 Oktober 2013

Benarkah Saya Alay?



Apakah benar kata Raditya Dika bahwa ada fase harus dilalui oleh manusia menjelang dewasa? Setelah melalui fase anak-anak yang penuh keceriaan, lalu ABG atau remaja yang  identik dengan “alay”. Sebelum ia menjadi dewasa, masa-masa ABG itulah yang biasanya dipenuhi dengan ke-alay-an. Alay disebut-sebut sebagai akronim  “anak layangan”, orang yang dianggap norak dan ndeso. Biasanya ke-alay-an remaja ditandai dengan kegandrungan pada boyband, lalu menulis dengan huruf kapital secara berantakan, menggunakan bahasa yang dirasa “aneh”, tapi tentu saja keren menurut mereka. Terus terang saya juga bingung untuk mendefinisikannya.
J.W.M. Bakker Sj dalam bukunya yang berjudul Filsafat Kebudayaan menjelaskan bahwa ada hal-hal yang dinamakan dengan faktor kebudayaan. Faktor-faktor itulah yang dapat membentuk suatu kebudayaan, diantaranya ada yang disebut sebagai teori evolusi dan degenerasi.
Evolusi merupakan perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan menjadi lebih baik atau lebih kompleks. Evolusi diajukan sebagai faktor kebudayaan pada pertengahan abad XIX, pandangan itu diambil alih dari ilmu biologi, orang yang sangat populer menggencarkan teori itu adalah Ch. Darwin dengan publikasi yang menggemparkan The Origin of Species by Means of Natural Selection or The Preservation of Favoured Races in the  Struggle of Life. Tidak hanya ilmu biologi, evolusionisme juga berkembang dalam perkembangan kebudayaan manusia. Contoh evolusi yang dilalui manusia adalah masa-masa berburu dan meramu, lalu menggunakan otot, gigi, berkembang menjadai masa-masa penuh peralatan , menanam , beternak, membangun kota, dan berpolitik. 

Senin, 21 Oktober 2013

Sebuah Jawaban


Sebuah tulisan yang mungkin bisa disebut lanjutan dari cerita rekan saya Gita Wiryawan : Menjelma Sisifus.

Sebuah jawaban untuk pengejaran cinta selama empat tahun. Ini benar-benar sebuah pengejaran. Yang Bukit tahu mengejar cinta seperti menggenggam pasir, bukan seperti sedang bermain petak umpet. Kenyataannya Bukit harus bersembunyi dari Sisifus, melakukan repetisi penolakan.
Ia tidak sepenuhnya seperti Sisifus. Hanya saja ada bagian dalam hidupnya yang menyerupai hukuman Sisifus, repetisi. Sebuah kegagalan yang ia ulang, mungkinkah sebab kepuasan atau obsesi? Inilah kisah antara Sisifus dan sebuah Bukit. Bukan hukuman abadi, tapi sebuah usaha untuk meletakkan batu di atas Bukit. Batu inilah yang katanya simbol ketulusan cintanya melalui repetisi dan usaha nyata.
Dalam mitologi Yunani, Sisifus  mendapat hukuman untuk mengangkat batu besar ke atas Bukit. Setelah sampai, batu besar itu menggelinding dan ia harus kembali mengangkatnya ke Bukit, begitu seterusnya. Sisifus inilah, simbol  repetisi kegagalan, melakukan sesuatu yang ia tahu bahwa sebenarnya gagal tapi tetap melakukannya. Kali ini ia benar-benar menyerah. Simbol Sisifus sudah usai baginya.
Sisifus tak lagi mengangkat batu ke atas Bukit. Sisifus dengan bijak mengakhiri hukumannya, ia membiarkan batu itu di Lembah, setelah ia sadar bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diafirmasi Bukit. Batu yang ia bawa benar-benar tak bisa diterima oleh Bukit, membuatnya terus menggelindingkan batu itu ke Lembah.
“Aku tak merasakan bahwa batu itu sebuah simbol ketulusan, yang aku rasa batu itu menjadi simbol  obsesi yang ia lakukan secara terus-menerus,”  ucap Bukit pada Sisifus. “Pengejaran bukanlah sesuatu hal yang buruk, tetapi ada hal yang tidak bisa diafirmasi dari segala repetisimu,” lanjutnya.