Senin, 23 Desember 2013

Bahagia dalam Ketidakpastian


“Bahagia, sedih, keberterimaan, bahkan penolakan adalah ritme kehidupan yang biasa dialami oleh setiap manusia,” ucap kawanku waktu itu. Sebuah warung kopi adalah saksi, mungkin terlalu dini untuk membicarakan tentang perpisahan.
Kawan saya mungkin terlalu legawa dengan urusan perpisahan. “Cinta adalah anugerah dari Tuhan, itu yang membuat saya merelakan istri saya dengan lelaki itu.”
Hal ini membuat saya cukup speechless. Namun, inilah yang mengingatkan saya pada perkataan Umar  Kayam di “Sri Sumarah dan Bawuk” (1975), tentang sikap “nrimo” nya wong Jowo. Sumarah atau pasrah, nrimo ing pandum. Sebuah keputusan untuk menjalani kehidupan sesuai seirama dengan alunan Tuhan. Kayam memang sengaja menjelmakan Sri Sumarah sebagai simbol wong Jowo yang penuh dengan kepasrahan dan keberterimaan.
Berbicara tentang keberterimaan, Herman Hesse pernah mengungkapnya dalam “Siddharta”. Perjalanan adalah hakikat kehidupan yang sebenarnya. Pencarian jati diri menemukan kedamaian spiritual adalah puncak kebahagiaan sejati. Hingga tibalah pada sebuah titik bahwa keberterimaan menjadi kulminasi kebahagiaan dan kedamaian hati. Menerima apa yang dianugerahkan Tuhan, dengan apa pun wujud anugerah itu, yang bahkan bisa dilihat orang lain sebagai bencana.
Prinsip keberterimaan itulah yang saat ini sedang saya renungi sungguh-sungguh dalam segala ketidakpastian hidup ini. Bisa jadi, ini hanya sebuah pemikiran perempuan usia 23 yang masih labil saja. Ada beberapa hal yang tidak usah kita pikirkan dengan begitu serius, seperti : masa depan. Sebab tak ada yang tahu apa yang akan terjadi kecuali Tuhan, bukankah begitu? Seperti halnya kita memikirkan, “Apakah esok hari saya masih bernapas?” pertanyaan seperti itu tak pantas kita pikirkan dengan sungguh-sungguh pada hari ini, sebab itu sudah menjadi urusan Tuhan. Sumarah? Ya. Ikhtiar dan doa lah yang bisa kita lakukan. “Mengapa aku harus berdoa? Mungkinkah sebab pikiran dan hatiku tak cukup untuk menampung kehidupan?”