Jumat, 10 Januari 2014

Cinta Itu Bagai Mencari Fosil Dinosaurus


Sumber

“Mei, mengajak perempuan makan di warteg tidak akan bikin dia jatuh cinta. Kamu tahu, cinta itu hanya ada di negeri dongeng, di dunia nyata yang ada hanya ongkos! Bangun Mei…..” kata seorang kawan pada saya. “Cinta tidak bakal bisa buat bayar cicilan rumah,” lanjutnya.
“Sekejam itukah dunia? Apakah benar saya makhluk negeri dongeng yang tersesat di dunia nyata?”
“Meina, tidak usah lagi kamu terheran-heran mendengar cerita teman-temanmu yang baru saja membeli tas seharga dua juta dan mereka bahagia.”
“Tapi tas saya seharga enampuluh ribu, saya juga bahagia.”
Murah sekali kamu Meina. Yakin kamu akan tenggelam dalam kebodohan ini di saat teman-temanmu mulai realistis?”
“Saya bodoh dan tidak realistis? Saya bahagia ketika diajak makan oleh orang yang saya cintai, meskipun itu di tempat yang sangat sederhana dengan lauk yang sederhana. Saya sangat menikmatinya.”
“Mungkin saja. Tapi itu sekarang kan? Tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu sudah tahu, seberapa mahalnya biaya masuk sekolah anakmu kelak.”
“Oh ya? Beasiswa masih banyak.”
“Hahaha, dasar alien.”
“Alien?”
“Emmm bisa jadi kamu itu semacam alien, dan kita adalah manusia. Mendambakan cinta dan kehidupan yang tulus, adalah omong kosong. Bisa jadi cinta semacam Dinosaurus. Konon, dahulu negeri ini adalah negeri dongeng yang dihuni alien macam kamu, dengan cinta sebagai hal yang paling mulia. Setelah datang manusia, mereka menjajah negeri dongeng dan cinta pun punah seperti Dinosaurus. Negeri dongeng sudah hilang, dan sekarang dunia berubah jadi dunia nyata yang dihuni manusia. Memang saya tidak yakin masih ada cinta yang baik di dunia ini, tapi saya percaya bahwa masih banyak laki-laki dan perempuan yang baik di sini, tenang saja Mei, kamu nggak sepenuhnya salah, hahaha,” sambungnya.

Kamis, 02 Januari 2014

Berserah

Ketika aku gantungkan puncak harapanku pada-Nya, aku tambatkan cinta pada-Nya, bahkan semua urusanku pada-Nya. Bukan, bukan sebab aku egois tak mau menanggung urusanku sendiri tapi aku yakin itulah bukti cintaku pada-Nya. Ada hal yang tidak bisa kita selesaikan dengan menguras pikiran kita, menggerakan tangan kita, mengayunkan kaki kita, dan memeras keringat kita. Hal yang tak bisa disentuh oleh manusia, hal yang sangat mendalam dan hakiki : cinta. Ya, itulah anugerah terindah dari-Nya. Tak bisa direkayasa, apalagi dipaksa.
Entah kenapa hari itu terasa sangat indah. Langit pagi itu tetap sama, berwarna biru, bukan merah muda laksana orang jatuh cinta. Jalanan di Jakarta kala itu tetap sama, seperti yang biasa aku lihat di televisi, tidak tergelar karpet merah. Gedung-gedung pencakar langit pun tak ada yang beda, masih terlihat jemawa dan kapitalis. Perspektif dan subjektivitaskulah yang membuatnya sangat indah. Pagi itulah yang membuatku belajar tentang makna “berserah”, bukan “menyerah”.
Lelaki yang datang dengan rambut tak bersisir dan rela menuntun sepeda motorku saat ban motorku bocorlah yang sebenarnya kucari, bukan lelaki maha sempurna. Lelaki yang mengirimiku surat via pos ketika aku berulangtahunlah yang kutunggu, bukan lelaki yang memberiku barang-barang mahal tapi tak bermakna. Sebab, setiap keputusan harus beralasan, dan alasan tentu punya dasar; pertimbangan; sudut pandang. Dan, sayangnya kadang hal itu berlaku secara subjektif dan asumtif.