Jumat, 21 November 2014

Cinta Orang Dewasa


Jatuh cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Bagi anak SMP, cinta adalah pura-pura izin ke kamar kecil waktu pelajaran, padahal cuma ingin lewat di depan kelasnya. Bagi anak SMA, cinta mungkin sekadar antar-jemput kosan dan sekolah. Bagi anak kuliahan cinta mungkin sekadar menonton bioskop bersama. Atau, kata novel remaja, cinta adalah perasaan yang bisa membuat kamu deg-degan waktu melihatnya. Cinta orang dewasa adalah bagaimana cara menyatukan dua keluarga. Itulah bagian dari tujuan menikah.

Pendekatan psikologis dibutuhkan untuk mempelajari karakter dan kepribadian si calon. Sedangkan, pendekatan sosio-kultural yang seharusnya digunakan untuk mempelajari kebiasaan keluarga dan lingkungan sekitar si calon. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan metode yang benar. Jangan sampai kita menggeneralisasikan secara sepihak karakter sebuah keluarga berdasarkan konklusi yang prematur. Di situlah kita harus melakukan persuasif yang benar. Tentu usaha itu harus disesuaikan dengan keadaan sosio-kultural sang objek.

Idealisme yang dulu ingin mendapatkan pasangan yang sempurna entah mengapa begitu bergeser. Mungkin ini sebuah penyadaran diri bahwa: kadang kita merasa bahwa diri ini adalah sosok yang sempurna. Pergeseran itu mengarah pada tindakan untuk menemukan orang yang mampu menerima ketidaksempurnaan kita. Saya mungkin tidak pernah terlalu bersusah-susah mencari pekerjaan, juga tak perlu bersusah-susah mencari uang, tak perlu juga bersusah-susah untuk bertahan hidup. Namun, kenyamanan itulah yang yang tidak boleh membuat kita silau pada diri kita sendiri. 

Senin, 17 November 2014

What Should We Do?

Berdiskusi dengan pacar memang hal yang menarik. Apalagi pacar yang memiliki daya intelektual tinggi. Satu-satunya laki-laki yang berani membanting buku di depan saya dan mengatakan, “Saya capek berdiskusi dengan orang yang tidak intelek.” Lalu, saya hanya cengar-cengir, garuk-garuk kepala, merasa bodoh, lantas kembali cuek dan lanjut bermain facebook sambil ngakak-ngakak sendiri. Maap ye...

Dia mengambil studi seni, sedangkan saya bahasa dan sastra. Dua disiplin ilmu yang kata orang, “Belajar seni dan sastra, mau jadi apa?” 

Baiklah, jangan anggap ini adalah tulisan berbobot dan solutif. Tulisan-tulisan di blog saya memang propokatif dan menipu (katanya). Pacar saya saja heran. Saya menjelma laksana perempuan idaman di blog ini. Padahal di rumah, saya duduk nyingkrang, berbicara ketika mulut penuh makanan, dan sangat cuek. Saya pernah beberapa kali mendapat SMS dan surel dari pengikut blog saya atau orang yang tersesat membaca blog saya dari google, mereka menyatakan persetujuan atau kekaguman kepada saya. Preeet! Kata pacar saya itu pembohongan publik besar-besaran. Bahkan, kata  si pacar tulisan saya ini dinilai tidak intelektual, sangat populer, dan tidak ada bobot keilmuannya, hahahha... yawis karepmulah.

Rabu, 05 November 2014

Kesederhanaan


Yang istimewa pada pembukaan seminar internasional kali ini, bukan gedung auditorium yang mewah, bukan pidato dari para pejabat, bukan perkenalan para pembicara dari berbagai negara, bahkan bukan pula pidato dari "keynote speaker". Seorang kakek berkemeja putih yang duduk di sebelah saya-lah yang membuat malam ini begitu berkesan. Awalnya saya minta izin untuk duduk di kursi sebelah beliau yang kosong, beliau tersenyum dan mengizinkan saya. Pembicaraan pun mengalir, beiau terlihat sangat bersahaja. Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa mahasiswa yang berulang kali membujuk beliau untuk duduk di kursi VIP, berulang kali pula beliau menolaknya.

Ketika pulang, saya kira beliau mengendarai mobil atau dijemput anak/cucunya. Saya berdiri di depan gedung auditorium dengan beliau, di luar hujan masih sangat deras. Beberapa mahasiswa membujuk beliau. "Saya mohon izin Bapak, apakah Bapak berkenan saya antar?" Beliau tersenyum dan kekeuh menunggu hujan reda. "Apakah Bapak masih akan menunggu angkot?"

---

Beliau adalah Bapak Djoko Kentjono, seorang pensiunan dosen linguistik di UI. Beliau pernah kuliah di Texas, satu angkatan dengan Prof Retmono (pernah menjadi Rektor Unnes), juga mengenal Prof Eko Wardono (guru besar linguistik di Unnes). Beberapa guru besar linguistik, seperti Harimurti Kridalaksana ternyata pernah dibimbing oleh beliau.

Berkat kesederhanaan beliau, kehujanan bersama mamang ojek pun jadi terasa begitu romantis.

Terima kasih Pak Djoko, saya masih ingat berulang kali Bapak mengatakan, "Semoga besok kita bertemu lagi."

Tangerang Selatan, 5 November 2014