Jumat, 21 Agustus 2015

Suprapti: Antara Seorang Ibu dan Guru

 “Bu Prapti”, begitulah saya menyapa Dra. Suprapti, M.Pd., sosok yang saya kenal sejak tujuh tahun silam tepatnya tahun 2008. “Galak dan disiplin”, itulah kesan (waktu itu) dalam benak saya ketika kali pertama menjadi mahasiswa beliau. Masih begitu saya ingat, ‘Meina Mahasiswa Baru’ duduk di kursi paling belakang karena takut “ditunjuk” menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada mata kuliah Linguistik Umum. Ketakutan dan isu kakak kelas tentang betapa susahnya mata kuliah linguistiklah yang menjadi salah satu penyebab saya “merinding” ketika diajar beliau.
Ketika saya memasuki semester enam, Bu Prapti kembali mengajar saya pada mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa.
“Hai kamu yang duduk di belakang sendiri,” kata beliau sambil menunjuk saya.
“Iya Bu,” jawab saya.
“Nah itu contohnya, ‘duduk di belakang sendiri’ merupakan ungkapan yang terinferensi oleh bahasa daerah yaitu bahasa Jawa, ‘lungguh mburi dhewe’ maksudnya duduk paling belakang, begitu kan Mbak?”
“Padahal saya tidak duduk sendirian ya Bu,” celetuk saya.
“Beda lagi kalau saya katakan, ‘Mahasiswa dilarang berbicara sendiri ketika perkuliahan’ itu pasti ada mitra tuturnya, kalau berbicara sendiri malah bahaya,” canda beliau.
Segmen perkuliahan itu yang mengubah pandangan saya tentang Bu Prapti, tak ada lagi kesan “galak” dalam benak saya, hingga akhirnya saya tahu bahwa beliau merupakan sosok yang disiplin dan disegani. Memasuki semester tujuh, saya kembali ‘ngangsu kawruh’ pada beliau sebagai mahasiswa PPL. Itu adalah kesempatan besar bagi saya untuk banyak-banyak bertanya pada beliau tentang bahasa, pendidikan, dan pendidikan bahasa dalam ranah paradigma, konsep, maupun praktik. Sebagai dosen senior, jawaban Bu Prapti sangatlah cerdas dan taktis. Bahkan beliau tidak segan memberikan tips dan trik menjadi seorang guru yang baik dan berkualitas secara akademik, paedagogik, psikologis, serta sosial.

Menikah

Berawal pada 17 Agustus 2014. Sebuah perkenalan yang dilakukan setelah melaksanakan upacara kemerdekaan rupanya berujung pada janji suci.

Alhamdulillah setelah melewati proses empat bulan setelah khitbah akhirnya kami pun menikah. Bahagia sekali karena Insya Allah akan mendapat kebahagiaan dunia-akhirat dengan orang yang saya cintai.

1. Seserahan/Malam Midodareni




2. Ijab









3. Resepsi






Terima kasih kepada:
Orang tuaku dan keluargaku, bapak-ibu mertua serta keluarga Kudus, para sahabat, dan suamiku.