Kamis, 07 Januari 2016

Cerita Sore

Beberapa hari yang lalu, saya pergi ke sebuah desa. Di sana saya “iseng” mendatangi sebuah rumah bidan desa dengan maksud periksa kandungan dan berkonsultasi. Warga desa tersebut mayoritas berprofesi sebagai buruh pabrik. Saya datang pukul 15.30, tigapuluh menit sebelum bidan praktik bersama suami saya dengan mengendarai sepeda motor tahun 1997. Saya disambut oleh seorang karyawan dan langsung ditembak dengan pertanyaan, “Bu, mau periksa pakai asuransi pabrik?” Saya yang masih agak bingung spontan menggelengkan kepala. Beberapa saat kemudian, asisten bidan pun datang.

“Bu, biasa periksa di mana?”
“Semarang Bu.”
“Di dokter atau bidan?”
“Dokter Bu.”
“Punya buku merah jambu?”
“Wah tidak diberi oleh dokter saya Bu, gimana?”
“Saya sarankan, besok Ibu periksa di bidan saja ya Bu.”
“Loh, kenapa Bu?”
“Agar dapat buku merah jambu Bu.”
Saya hanya tersenyum dan mengangguk.
“Di Semarang kerja di pabrik mana Bu?”
“Wah saya hanya ikut suami kok Bu.”
“Di rumah saja ya Bu?”
“Iya Bu, ngurus rumah tangga.”

Beberapa saat kemudian Bu Bidan dari ruang sebelah pun datang. Beliau memeriksa detak jantung janin saya kemudian mengukur perut saya.

“Normal Bu, ada keluhan?”
“Saya flu Bu, apakah boleh mengonsumsi obat?”
Beliau langsung menunjuk-nunjuk beberapa obat pada asistennya lalu menyerahkan tiga jenis obat kepada saya. Saya melihat-lihat tiga jenis obat itu, salah satu obat yang diberikan tidak memiliki pembungkus, hanya dimasukkan dalam plastik transparan yang ditulisi dengan spidol “3 X 1”.
“Maaf Bu saya mau tanya, ini obat apa ya?” – tepatnya percakapan saya menggunakan bahasa Jawa Krama.
“Ini obat aman kok Bu. Saya ini bidan, jelas saya sudah tahu mana obat yang baik atau tidak untuk ibu hamil. Kalau berobat itu yang mantap saja Bu. Kalau suruh minum obat ya diminum, tidak usah banyak tanya,” jawab Bu Bidan dengan nada tinggi.


Selanjutnya, saya sudah malas untuk bertanya lebih jauh. Saya pun mengajak suami untuk pulang. Begitulah cerita sore itu.