Dear Tuhan.
Izinkan aku
belajar pada-Mu. Kau yang Maha Memberi Teladan.
Ini masih pukul 20 tapi badanku sepertinya sudah remuk redam. Han,
sudah satu pekan ini aku lembur di kantor, pulang kerja tengah malam dan pukul
7 pagi aku sudah kembali bekerja. “Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa, perjuangan adalah
pelunasan kesimpulan penghayatan”, begitu kata Rendra dalam “Sajak Peperangan
Abimanyu”.
Han, tahukah Kau bahwa aku merindukan-Mu?
Saat aku berlari melunasi kata-kata akankah Kau mengejar dan memelukku?
Semakin aku jauh melangkah dan berlari mengejar mimpi, semakin erat dan
mesrakah aku dalam peluk-Mu?
Sebuah ucapan penuh hikmah “Ridha
nas ghayatun la tudrak”, keridaan seluruh umat adalah hal yang tidak
mungkin terjadi. Begitu jugakah yang Kau rasakan Han? Kenapa tak semua orang
merasa bahagia? Juga rida pada satu tujuan? Padahal yang aku tahu, bahagia itu
relatif. Setiap orang memiliki konsep kebahagiaan dan itulah hak prerogatif
sebagai seorang manusia.
Aku tak lagi peduli pada hal itu, sebab tak mungkin aku menjadi
nahkoda pada setiap kereta hati manusia. Aku hanyalah pemasung rambu-rambu yang
terpampang di jalanan itu. Entah kemana ia pecutkan kuda itu, tak lagi bisa aku
memaksanya lewat jalan mana.