Senin, 31 Desember 2012

Daripada Nganggur Mending S-2 Saja (?)

Sumber


Kalau hanya dengan alasan “daripada nganggur lebih baik lanjut S-2 saja”, menurutku itu adalah alasan yang sangat tidak bijak. Lalu bila kau jawab dengan alasan, “tapi persaingan saat ini jauh lebih sulit.” Oleh karena persaingan jauh lebih sulit maka jangan sampai kau permainkan pendidikan.
Sesungguhnya pendidikan itu suci maka harus disampaikan dengan suci pula. Bila pendidikan adalah sebuah proses memanusiakan manusia maka pendidikan seharusnya tidak hanya meliputi transfer of knowledge tapi lebih dari itu, ada transfer of value, transfer of thinking, dan transfer of method. Yang aku sesali saat ini adalah kelonggaran sistem pendidikan yang masih berpihak pada yang berduit. Pada negara yang masih mengultuskan selembar kertas bernama ijazah dan gelar yang tercantum pada sebuah nama. Padahal ada sebuah pertanggungjawaban yang besar dari ilmu yang kau pelajari, dari gelar yang kau terima. Seharusnya selalu ada cita-cita mulia dari sebuah pendidikan.

Senin, 17 Desember 2012

Sosok Istimewa (2)

Lanjutan dari Sosok Istimewa 

Kita hidup di dunia seperti mampir (berhenti sejenak) untuk minum seteguk dua teguk air, begitulah perumpamaannya. Kita adalah pengembara yang menempuh perjalanan jauh.

Angin yang berhembus kala itu di Kota Semarang, gerimis yang menemani perbincangan kami, sepasang sahabat. Sembari memakan beberapa irisan Mangga Harum Manis yang ia bawa dari tanah Tidar. “Aku sengaja membawakan makanan buat anak kost,” katanya padaku. Aku tersenyum senang, sembari sedikit berjingkrak dari tempat dudukku.
“Bagaimana kehidupanmu sekarang Nit?” tanyaku tanpa memalingkan wajah dari komputer jinjing di hadapanku.
“Ya begitulah Min, nggak bisa kemana-mana, ibu kan keluar masuk rumah sakit terus,” jawab Nita.
Aku memalingkan wajah. “Tapi sekarang sudah sehat kan?”
“Lumayan Min, sudah di rumah tapi sekarang beliau bergantung sekali padaku.”
“Maksudmu?” tanyaku mulai serius.
Aku dan Nita adalah teman sekamar sejak tahun 2008 sampai 2012. Bahkan orang tua kami sudah saling mengenal baik. Semenjak aku wisuda, aku memutuskan untuk pindah kos. Namun, bukan berarti komunikasi kita terputus sampai di situ. Beberapa bulan ini kami mulai jarang berkomunikasi ya, paling tidak seminggu dua kali kami saling mengirim sms. Kadang pula kami saling menelpon. Entahlah, mungkin aku pantas untuk mengutuk diri. Semenjak aku terjebak pada rutinitasku yang memuakkan, untuk kuliah dan bekerja, aku dan Nita pun semakin jarang berkomunikasi. Sekali dua kali dalam sepekan dia mencoba menghubungiku, kadang aku ogah-ogahan untuk membalasnya. Begitu pula dengan dia, kalau aku kesepian dan mencoba menghubunginya terkadang pesanku dijawab begitu lama. Dia juga sudah terperangkap dalam kesibukkannya. 

Minggu, 16 Desember 2012

Alasan Saya Tidak Lagi Ingin Menjadi Ibu Negara

Sumber

Mungkin terdengar konyol, tapi ini serius. Dulu aku beranggapan bahwa dengan menjadi seseorang yang berada di jabatan terpuncak, kita bisa melakukan segala hal, termasuk merealisasikan segala impianku. Dengan jabatan itu, yang aku takutkan adalah intimidasi-intimidasi untuk berbelok arah dan idealisme yang terlupakan. Namun, saat ini aku merasa bahwa pemimpin bukanlah tentang jabatan struktural. Dia hanya berkorban, berjuang, dan berbuat lebih banyak dari orang lain. Bukan untuk mengejar pujian atau pun nama yang selalu terpampang. Jauh lebih mulia dari sekadar pencitraan publik. Masih sangat ingin bermimpi dan merealisasikannya. Dan biarkan lutut ini berdiri lebih tinggi dari gunung tertinggi di dunia sekalipun. Untuk hidup di dunia yang sementara ini, manfaatkanlah sebaik-baiknya.


“Kemudian yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Keep our dreams alive, and we will survive.” (Donny Dhirgantoro, 5 cm)

Allah Tahu Mana yang Terbaik



Belajar dari kegagalan. Tak mau lagi berdusta pada diri. Tak mau lagi menyombongkan diri.
Aku begitu yakin Kau tahu segala yang terbaik bagiku, dan menurut-Mu.
Dalam istikharahku,
Setiap sujud dan tetesan air mataku.
Sepagi ini.
Di sajadah itu.
Bahkan setiap hembusan udara dalam napasku, semoga hanya asma-Mu yang ada.
Tunjukkanlah pilihan-Mu.
Yang membuatku bisa melihat-Mu pada setiap tatapannya.
Yang bisa membuat kami kekal di surga-Mu.
Karena cara-Mu jauh lebih indah dari segala rencana manusia.

Jumat, 14 Desember 2012

Mozaik “The Professor”


Sumber
Sebuah mozaik kehidupan beberapa guru besar yang aku rekam dari perbincangan bersama sosok-sosok luar biasa itu. Insyaallah pada bulan Maret sekaligus untuk memperingati Dies Natalis, akan diterbitkan buku dengan judul “The Professor” yang merupakan kumpulan kisah hidup guru besar-guru besar se-Universitas Negeri Semarang. Tujuan pembuatan buku itu adalah untuk menginspirasi para mahasiswa dan dosen agar bisa terus belajar melalui perjalanan hidup tokoh-tokoh tersebut.

Prof Fathur Rokhman
Mengapa hanya ada satu orang ahli rayap di Indonesia? padahal jumlah rayap sangat banyak. Mengapa hanya ada tiga orang ahli buaya di Indonesia? padahal sebagai Negara tropis, banyak sekali buaya yang hidup di Indonesia. Jika orang-orang berjualan soto, mengapa kita harus berjualan soto? Bukannya takut bersaing, hanya saja jadilah yang berbeda. Carilah resep membuat bakso, dan berjualanlah bakso. Ia tidak dilahirkan sebagai orang yang cerdas. Bahkan ketika ia mendaftarkan diri sebagai siswa di SMA 1 Purwokerto, sebuah sekolah favorit di Banyumas, ia tidak diterima karena nilai yang ia punya tidak memenuhi standar. Ia pun berjalan kaki dari Purwokerto menuju Sokaraja yang berjarak sepuluh kilometer. Ia ingin merasakan betapa susahnya menjadi orang bodoh. Saat ini berkat kerja keras dan ketekunannya ia berhasil menjadi guru besar bidang Sosiolinguistik. menurutnya dosen yang baik itu tidak hanya menghabiskan waktunya di kelas. Dosen yang baik itulah yang mengajar melebihi jam di kelas, artinya ia membuka waktu kapan saja untuk menerima konsultasi dari mahasiswa. Tidak hanya itu, dosen harus memiliki penelitian-penelitian yang mengagumkan dan mampu menginspirasi mahasiswa-mahasiswanya.

Jumat, 30 November 2012

Sebuah Refleksi dari: Menimang Bahasa Membangun Bangsa

*Sebuah refleksi studium generale dengan Prof. Mahsun, M.S Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nasional.

Sumber

“Kadang kita tak bisa menjelaskan diri sendiri. Namun, berkat orang lainlah kita bisa terjelaskan. Kita bisa menamai jari tengah kita dengan sebutan si tengah karena ada masing-masing dua jari di sebelah kanan dan kirinya.” (Prof. Mahsun, M.S.)

Belajar bahasa adalah belajar budaya. Bagaimana tidak? Sebuah etnis bisa dikenali lantaran bahasanya. Dalam perjalanan sebuah bangsa, bahasa adalah hal penting yang harus mendapat perhatian. Tatkala Israel sudah memiliki wilayah, mereka menggali dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani dari naskah-naskah kuno dan menggunakannya sebagai bahasa mereka. Artinya, kedudukan bahasa sangat penting untuk menunjukkan identitas.
Indonesia yang terdiri atas berbagai kebudayaan memang membutuhkan sebuah unsur  pengikat kebangsaan.  Bahasa merupakan salah satu unsur pengikat kebangsaan selain agama dan ras. Pilihan Indonesia untuk menggunakan bahasa sebagai pengikat merupakan pilihan yang sangat strategis. Ras dapat teridentifikasi karena bahasa, suku Jawa menamai dirinya Jawa karena ia memiliki bahasa Jawa. Namun, Indonesia tak menggunakan agama sebagai unsur pengikat.  Ingatlah pada kegagalan piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa “….yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, …” dianggap merupakan hal yang sensitif karena menyebut urusan agama. Padahal pada kenyataannya di Indonesia agama tidak hanya Islam.

Hati Ini Milik Siapa?

Sumber


Bukan, bukan sedang merasa sendu. Tapi kadang manusia memang takut kehilangan. Apalagi orang yang dia cinta. Sepantasnya tidak begitu. Oleh karena kita milik Tuhan maka segala sesuatu yang kita miliki juga milik-Nya. Hanya titipan.

Memenuhi isi hati dengan keyakinan bahwa yang kita pegang, puja, peluk bukanlah milik kita bukanlah perkara yang mudah.  Pantaskah merasa takut kehilangan? Yah, lagi-lagi aku berpikir tentang hati. Tuhanlah pemilik hati ini. Dia mampu membolak-balikkannya dengan sangat mudah.

Minggu, 25 November 2012

Masa-masa Kejayaan si Alay

Ya ampun shock sekali melihat album foto saya ketika zaman SMA. Gaya fotonya selalu diambil dari pojok atas dan tidak tahu kenapa (sepertinya zaman dulu memang sedang musim, jangan lupa sambil memanyunkan bibir). Tapi sepertinya sayang sekali jika tidak diabadikan. Mungkin itulah yang dinamakan gaya alay. Ya sudahlah, kata Raditya Dika dalam siklus hidup seseorang ada masa-masa alay, sebelum akhirnya ia menjadi dewasa tapi sayang sekali si friendster sudah lenyap dari peradaban (eh tapi katanya berubah jadi game online ya? padahal dia menyimpan semua bukti autentik). Selamat ya mungkin suatu saat anakku nanti akan menertawakan gaya berfoto emaknya :(

Rabu, 21 November 2012

Pos

Aku tahu harusnya pagi ini aku tak semalas ini, tapi pesona pulau kapuk rupanya telah berhasil membuaiku. Semestinya pagi ini aku bangun cukup gasik untuk menyelesaikan koreksian ujian tengah semester yang tak kujamah selama dua pekan. Letupan kata “antimalas” seolah-olah menjadi gol bunuh diri bagiku. Seperti saat ini, harusnya aku sedang mengejar-ngejar narasumber untuk aku wawancarai tapi yang terjadi aku malah asyik bermain-main dengan imajinasiku.
Sesuatu yang kita rasakan belum pula dirasakan sama oleh orang lain. Dari dulu aku menganggap bahwa mengirim sesuatu lewat pos adalah hal yang unik, bahkan lebih dari itu, aku berani bilang bahwa itu adalah hal yang romantis. Ketika kakakku berulang tahun aku pernah mengirimkan kado untuknya lewat pos walaupun kami tinggal dalam satu rumah. Kenapa aku memilih pos? entahlah yang jelas menanti sesuatu adalah hal yang asyik dan memiliki sensasi tersendiri.
Dahulu ketika teknologi tak semaju sekarang, apa yang dilakukan oleh sepasang kekasih yang terpisahkan oleh jarak? Tatkala belum ada handphone¸social media, dan surat elektronik. Bisa jadi hati mereka selalu berdesir ketika mendengar deru sepeda motor atau sepeda onthel berwarna oranye khas milik tukang pos. Saat hidup tak semudah saat ini, saat akses tak sepraktis zaman sekarang, komitmen seseorang untuk menjalin hubungan mungkin benar-benar teruji. 

Rabu, 14 November 2012

Nukilan


Oleh-oleh dari Indonesia Leadership Camp UI (9-12 November 2012)

Kamu boleh berteriak-teriak dan berpanas ria, yang katamu sedang memperjuangkan  nasib kaum duafa. Namun ironisnya di toilet umum itu kamu tak pernah bersihkan sisa kotoranmu, bukankah itu sama saja dengan menyakiti mereka?
(Introspeksi diri, mulai dari hal kecil, tahu betul alasan dari perbuatanmu)

Bukankah bangsa Indonesia adalah bangsa yang cerdas? Bahkan pada tahun 1928 pemuda-pemuda itu berkumpul dan bersumpah. Mereka menjual “murah” bahasa daerahnya demi menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
(pemuda, agen perubahan, bahasa Indonesia)

Soekarno rela keluar-masuk penjara demi bangsa, beliau bahkan lebih memilih “menderita” daripada menjadi abdi Belanda sebab pahlawan adalah orang yang mampu melampaui dirinya dan bersedia menderita demi orang lain.
(pengabdian, perjuangan, pengorbanan, pahlawan)

Jumat, 02 November 2012

”Hidup untuk Bekerja” atau “Bekerja untuk Hidup”?

Source

Selamat datang di kehidupan yang sebenarnya. Selamat datang pada fase baru dalam hidupmu. Saat teman-temanmu satu per satu menghilang, saat mereka mulai mencari pekerjaan dan mencoba untuk berdikari. Saat diriku hampir terjebak pada rutinitas yang memuakkan. Saat pembicaraan di telepon tidak lagi membahas soal si anu yang punya gebetan si itu, tapi sudah pada tataran, “Ayo temenin aku ke job fair”. Saat kita mulai membutuhkan orang yang membuat kita berdiri tegap seperti pohon kurma yang berada di gurun, pohon yang selalu memberikan buah yang manis walau dilempari batu.
Akhir-akhir ini hal yang sedikit “aneh” seringkali terlintas di pikiranku. Sebenarnya untuk apa aku bekerja? Untuk apa aku belajar? Untuk apa aku mencari bekal hidup? Untuk apa seorang ayah rela membanting tulang dan bercucuran keringat demi menghidupi keluarganya? Apakah ia benar-benar bekerja demi bertahan hidup? Lalu apa bedanya dengan seorang businessman yang super sibuk untuk bekerja siang dan malam? Apakah ia hidup hanya untuk bekerja?

Kamis, 18 Oktober 2012

Catatan tentang Smadha Peduli


Inilah artikel yang membawa saya terpilih di antara 150 mahasiswa se-Indonesia untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan tingkat nasional.

Pengembangan Smadha Peduli sebagai Komunitas Peduli Pendidikan

Oleh :Meina Febriani
Universitas Negeri Semarang

Andai saja seluruh alumni sekolah peduli pada nasib almamaternya, pasti tidak akan ada bangunan sekolah yang roboh di negeri ini. Andai saja masing-masing alumni punya rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan adik-adik tingkatnya, pasti tak ada siswa yang terpaksa melepas seragam sekolahnya dan putus sekolah. Padahal tanggung jawab sekolah tidak hanya memberikan pengajaran terhadap anak didiknya, tapi juga pendidikan yang dapat menciptakan insan yang peduli, sayangnya saat ini terlalu banyak sekolah yang lupa menanam hati. Tugas berat yang harus dipikul sekolah adalah, bagaimana cara menanamkan sebuah rasa balas budi pada masing-masing siswanya ketika ia sudah dapat berdikari.
Dengan berlandaskan sebuah ideologi bahwa ikatan silaturahmi atau rasa kekeluargaan mampu memperlancar rezeki dan memperpanjang usia rupanya membentuk sebuah keyakinan kuat bahwa setiap sekolah memang memerlukan sebuah komunitas alumni. Komunitas alumni yang dapat memperlancar rezeki maksudnya, dengan bertambahnya intensitas berkomunikasi maka akan membuat sebuah jaringan yang sekiranya mampu menambah relasi dalam berbagai hal. Selain itu, memperpanjang usia maksudnya adalah munculnya rasa bahagia ketika bertemu dengan kawan lama karena pada hakikatnya usia adalah bagaimana sebaik-baiknya seseorang mampu memanfaatkan masa hidupnya.
Bermula dari sebuah pemikiran sederhana tentang sebuah komunitas yang mampu mengikat para alumni untuk tetap menjalin silaturahmi walaupun sudah lama meninggalkan bangku sekolah. Tak bisa dipungkiri bahwa semakin tua manusia kian berganti fase dalam hidupnya, teman lama yang tak satu pemikiran kian menjauh, lalu datanglah orang baru yang kita anggap satu visi. Semakin lama, ikatan persahabatan dengan teman lama semakin terkikis, apalagi jika tak memiliki topik pembicaraan yang sekiranya sejalan maka teman sekolah dulu pun hilang tertelan waktu. Tak sedikit alumni yang malu untuk menghadiri reuni atau acara berkumpul hanya karena dirinya merasa tidak lebih sukses dari kawan-kawannya. Kontrasnya, kegiatan berkumpul antarkawan lama biasanya hanya diisi dengan jamuan makan dan ditutup dengan acara mengobrol tidak jelas dan hal-hal yang bersifat hedonis. Oleh karena itu, diperlukan sebuah wadah yang memiliki visi dan misi yang jelas sehingga membuat kegiatan berkumpul antarkawan menjadi lebih bermanfaat tanpa kesan menghambur-hamburkan.