Kamis, 24 Februari 2011

Seorang Pencuri (Sebuah Cerita Pendek)


Hari itu aku pulang dari kantor dalam kondisi sangat lesu. Sudah berpuluh-puluh kaleng di trotoar yang kutendang. Dalam hati bergerumuh tentang kesadaran masyarakat Jakarta pada kebersihan dan membuang sampah. Padahal mereka seringkali mengeluh apabila banjir datang yang sebenarnya juga kesalahan mereka sendiri.
Berbicara soal kesadaran, aku baru saja kena PHK. Padahal sudah sepuluh tahun lebih aku bekerja di pabrik tekstil itu. Tapi apa daya, sekarang sering sekali terjadi pemadaman listrik tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mesin-mesin yang sedang dipakai sering terhenti karena tidak ada aliran listrik. Alhasil pabrik merugi dan Koh Ali pun harus melakukan PHK buruh untuk menyelamatkan kelangsungan pabrik tekstilnya. Apesnya dirikulah yang berhasil tertendang dari beberapa jajaran nama buruh yang ada.
Hal yang paling aku sesali adalah dimana kesadaran Koh Ali? Di luar tampak manis tapi dalamnya busuk. Kesadaran yang mungkin sudah dicabut oleh malaikan Izrail dari dalam pikiran Koh Ali. Kenapa mesti aku yang kena PHK? Jelas-jelas aku yang selalu lembur, bekerja dari pagi hingga ba’da Isya, walau tanpa uang lembur pun kadang masih aku jabanin juga. Jelas-jelas aku yang selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Jelas-jelas aku yang sering kali mengantar Cih Weni istri Koh Ali belanja ke pasar kliwon, membawakan keranjang belanjaannya, aku pun rela berdesak-desakan di pasar yang berbau anyir itu.
Kenapa Koh Ali tak berpikir panjang, dia malah lebih mengutamakan Joyo, karyawan baru yang katanya insinyur itu. Alasan Koh Ali katanya Joyo jauh lebih muda dari aku, apalagi dia insinyur pastilah lebih pandai dari aku yang hanya lulusan SMP. Padahal buat apa buruh potong kain di pabrik tekstil kudu mengantongi ijazah insinyur, yang dibutuhkan hanyalah ketrampilan dan pengalaman seperti yang aku punya, karena sudah lebih dari sepuluh tahun menggeluti bidang itu. Tapi kenapa Joyo tak melamar jadi tukang mesin saja. Jangan-jangan dia takut ketahuan kalau ijazahnya palsu. Usut punya usut ternyata Joyo adalah keponakan cih Weni, hm...ternyata nepotisme masih berlaku di negeri ini.
Rasa marah, kecewa, bingung campur aduk menjadi satu dalam otakku. Mungkin apabila rasa-rasa itu adalah larutan kimia, pastilah campurannya sudah meledak di otakku.
Sekarang aku masih berpikir tentang apa yang harus ku katakan pada istriku kalau aku ini sudah tidak punya pekerjaan lagi. Apa mungkin aku harus menggantungkan semua beban dan kebutuhan pada istriku yang hanya berjualan gado-gado. Apakah aku harus berpura-pura berangkat pagi dan pulang malam seperti biasa dan mengatakan pada istriku bahwa semua masih berjalan normal, atau aku harus berkata jujur walau itu pahit? Duh gusti, berikanlah kemudahan pada diriku untuk menghadapi semua ini.
Jarum jam sudah membentuk sudut 30 derajat. Rupanya sudah pukul 10 malam, tapi rasanya kaki ini masih sungkan untuk menapaki jalan pulang. Akhirnya kuputuskan untuk singgah di warung kopi milik kang Rohmadi di pojok kampung rumahku.
Aku pun duduk bertengger di bangku kayu depan warung kopi sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemejaku dan menikmati setiap hembusan asap rokok yang ku hisap. Nikotin yang mulai merasuk ke dinding paru-paru ku biarkan sebagai penawar rasa kacau dalam diriku.
“Kang, pesen kopi tubruk segelas!”
“Tumben bang main ke warung, biasanya pulang pabrik langsung nemuin bini di rumah, whehehe,” canda kang Rohadi sambil mengaduk kopi tubruk andalannya yang terkenal gurih dan wangi.
“Yah, namanya juga pikiran lagi kalut Bang, masa aye pulang cuma bawa masalah doang ke bini, jadi aye mau nenangin pikiran dulu, gitu Kang Rohmadi,” jawabku sambil menepuk bahu Kang Rohmadi yang sedang mengantar segelas kopi padaku.
“Ya udah yang penting sekarang abang nenangin pikiran dulu, sekarang aku tak nglayani yang lain dulu yo Bang,” kata kang Rohmadi dengan logat Jawanya yang masih medhok.
“Monggo Kang.”
Rasanya segelas kopi tubruk cukup menghibur suasana hatiku, ditambah dengan alunan suara dangdut dari tape polytron milik Kang Rohmadi yang katanya jauh-jauh dibawa dari Kartosuro.
Tak disangka suasana itu justru membuat aku teringat, anakku Ilham kemarin merengek minta dibelikan sepeda baru, katanya sepeda miliknya kini sudah kuno, apalagi anak-anak sepermainannya di kampung sering memamerkan sepeda yang baru dibelikan orang tua mereka. Rasanya aku ingin sekali membahagiakan anak dan istriku, tapi apa daya mungkin kesempatan saja yang belum ada.
Aaaargh….pikiranku tambah kacau, apalagi persediaan beras di rumah sudah menipis, sedangkan di saku celanaku hanya ada uang pesangon 700 ribu rupiah yang aku lipat dalam amplop berwarna coklat, dan di bawah kasur aku masih menyimpan uang 350 ribu. Ah, apakah uang satu juta limapuluh ribu itu masih cukup untuk bertahan hidup selama aku belum mendapat pekerjaan. Apalagi hidup di ibu kota apa-apa serba mahal. Semoga saja aku cepat mendapatkan pekerjaan yang layak.
Aku pun kembali menikmati cairan berwarna hitam pekat itu, merasakan setiap butiran zat kafein yang menari-nari di atas lidahku. Rasanya begitu nikmat. Namun tiba-tiba konsentrasiku buyar dan pandanganku tertuju pada sesosok pria berjaket hitam. Dia berlari ke arah warung kopi, napasnya terengah-engah dan dia pun mendekatiku.
“Bang, tolong saya bang, saya dikejar orang, istri saya mau melahirkan bang, tolong selamatkan saya,” kata pria itu dengan sangat gugup.
“Emangnya kamu kenapa, kok bisa dikejar?” tanyaku kebingungan.
“Ceritanya nanti saja Bang, tapi tolong selamatkan saya, tolong sekali Bang, saya tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.”
Aku lihat di ujung sana memang tampak segerombolan orang sedang berlari-lari, aku perhatikan gelagat mereka sepertinya sedang mencari orang. Sedangkan di warung kopi ini tinggal aku sendiri, dan Kang Rohmadi pun sedang pulang ke rumahnya untuk mengambil gula pasir. Aku melihat sesosok pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, wajahnya memang masih sangat lugu, tapi kenapa dia sampai dikejar-kejar orang?
Ah, tapi buat apa aku berpikiran buruk, toh katanya istrinya mau melahirkan berarti dia memang dalam kondisi yang mendesak. Mungkin saja orang-orang yang mengejarnya itu justru orang jahat. Aku pikir membantu orang apa salahnya. Aku memang baru saja disakiti orang, bahkan kehilangan mata pencaharian tapi apakah hal itu bisa menghalangiku untuk menolong orang lain? Aku rasa tidak.
“Ya sudah, kamu masuk saja ke warung, kamu sembunyi di balik pintu, cepat mereka mau kesini,” kataku pada pria itu.
“Baik bang, makasih bang.”
Beberapa menit kemudian segerombolan orang itu pun mendekatiku, nampaknya wajah mereka sudah familiar bagiku.
“Eh, Bang Iwan lihat garong pake jaket item lari kesini kagak?” tanya salah seorang di antara mereka. Ternyata segerombolan orang itu adalah pemuda-pemuda di kampungku.
“Wah jauh amat kejar garong nyampe ujung kampung. Aku nggak lihat tu garong. Kamu cari saja di tempat lain, barang kali sudah kabur ke kampung sebelah,” jawabku santai sambil menghisap butir-butir nikotin dalam jarum super di antara himpitan jari tengah dan telunjukku.
“Wah kurang ajar itu garong udah nyolong, nempiling babe aye lagi. Tu garong ya bang baru aja ketahuan nyolong duit sama babe yang lagi ronda, tapi aye kaga tau tu maling duitnya sape. Ya udah bang aye capcus dulu, yuk pren,” kata pemuda itu sambil mengajak teman-temannya meneruskan pencarian ke kampung sebelah.
“Yok..ati-ati kalo udah ketemu garongnya, titip salam ya, salamnya salam kucing garong. Hahaha.”
“Ah, Bang Iwan masih bisa bercanda aja tau ada orang kemalingan,” kata salah seorang dari mereka sambil ngeloyor pergi.
Aku berdiri dan berjalan ke dalam warung.
“Heh, udah aman, ayo keluar,” ucapku pada pria itu.
Aku lihat pria itu masih jongkok di balik pintu, tangannya gemetaran dan napasnya belum teratur. Sepertinya dia sangat ketakutan. “Kenape elu nyampe dikejar-kejar ma orang?”
“Begini Bang, saya memang mencuri uang, tapi itu semua saya lakukan karena istri saya mau melahirkan, saya nggak punya uang Bang, saya terpaksa.”
“Innalillah, tapi perbuatan kamu itu salah, bagaimana kamu mau membiayai istri dan anakmu dengan uang yang haram?”
“Ya Bang, saya nyesel, ini pertama dan terakhir bang. Tadi saya juga terpaksa mukul orang yang sedang memergoki saya, saya takut diamuk massa, nanti istri dan anak saya makan apa?”
“Ya udah, lain kali jangan kamu ulangi lagi ya? Ini uang buat anakmu nanti,” kataku iba sambil memberikan selembar uang 50 ribu dari amplop coklat di saku celanaku.
“Makasih banyak Bang, saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Abang.”
“Biar Tuhan yang membalas. Sekarang cepat kamu pergi dan temui istrimu.”
“Makasih Bang..makasih…makasih,” kata pria itu sambil berlalu, tak henti-henti bibirnya mengucapakan terimakasih padaku.
Rasanya hari itu aku menjadi seorang pahlawan, walaupun pahlawan bagi seorang maling yang sedang dikejar-kejar massa. Tapi aku cukup bangga, setidaknya disitulah aku merasa jauh lebih beruntung dari pada dia. Setidaknya meskipun aku dalam kondisi yang sangat susah sekalipun aku tetap tak kuasa untuk berbuat jahat, apalagi mencuri.
Di situ aku juga merasa menjadi orang yang dermawan, walaupun sebenarnya aku juga sedang tak ada uang, tapi setidaknya masih ada simpanan uang di rumah 350ribu, aku rasa jika digabungkan dengan uang pesangonku masih cukup untuk makan sebulan, selagi aku mencari pekerjaan baru.
“Gimana Bang, pikirannya udah nggak kalut lagi to?” tanya Kang Romadi mengagetkanku.
“Iya Kang, karena kopi tubruk Kang Romadi ini, aye seger buger lagi Kang, hahaha. Oh ya berapa Kang?”
“Ndak usah Bang, kali ini aku traktir Bang Iwan, sebagai langganan aku bang.”
“Wah bener nih? kapan-kapan boleh lagi dong? hahaha.”
“Ah Bang Iwan bisa aja.”
“Ya udah aku pulang dulu Kang.”
“Ya, ati-ati Bang.” Tutup Kang Rohmadi
“Wah, baru beberapa detik yang lalu aku menolong orang, sekarang balasannya sudah ada, ya lumayanlah dapet kopi gratis, Kang Rohmadi itu tahu saja orang sedang susah.” Batinku sambil melangkahkan kaki menuju ke rumah tercinta sambil membawa harapan baru. Ya kenyataan bahwa aku di PHK dan harapan baru bahwa kita pasti bisa melewati semua cobaan ini.
Setibanya di depan rumah, aku melihat suasana ganjil. Rumahku nampak ramai, pintu depan terbuka dan beberapa tetangga nampak berkumpul di dalam rumahku.
“Ada apa ini bu?” tanyaku pada istriku.
“Kita kecurian Pak, uang kita di bawah kasur, kalung dan gelang emas mahar pernikahan kita dulu dicuri orang pak,” kata istriku yang masih menangis tersedu-sedu.
“Iya Bang Iwan, tadi pencurinya kepergok sama saya yang lagi ronda tapi saya malah dipukul, tapi tenang saja Bang, saya sudah suruh anak saya dan teman-temannya untuk kejar maling itu,” kata pak RT.
Entah kenapa mendadak tubuhku terasa lemas.

(4 Juni 2010)



1 komentar: