Jumat, 30 Mei 2014

Aib


Kampoeng Kopi Banaran, Bawen 29 Mei 2014.

Seorang perempuan muda yang sedang hamil satu setengah bulan sedang duduk bersamaku sambil menikmati semilir angin di bawah pepohonan. Namanya tidak jauh beda dengan namaku, hanya selisih satu huruf, namaku Meina dan nama perempuan itu Neina. Kami adalah rekan kerja, usianya hanya terpaut empat bulan lebih tua dari aku tetapi waktu kuliah S-1 dia adalah kakak tingkatku dan kami pun pernah berada di organisasi yang sama.

“Dik, saat ini aku benar-benar merasakan makna persahabatan,” ujarnya padaku.
“Maksudnya Mbak?” tanyaku balik.
“Saat kita jauh dengan orang tua, suami, keluarga, di situlah kita hanya punya sahabat yang bisa diandalkan. Aku punya seorang sahabat dan baru kali ini aku menganggapnya seperti keluargaku sendiri. Kenapa? Karena dia sangat setia, perhatian, dan aku benar-benar tidak pernah merasa sendiri bila dengannya.”
“Oh iyakah Mba, senang ya punya sahabat seperti itu,” sambungku.
“Iya Dik, bahkan dia adalah orang yang paling sering aku ceritakan pada keluargaku. Orang yang paling bapakku hafal adalah dia, begitu juga dengan ibuku yang merasa sangat senang ketika mengenal dan bercakap-cakap dengannya,” ucapannya terpotong. Dia berhenti sejanak lalu menatapku. Entahlah tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang.
“Kamu tahu siapa orang yang sedang aku ceritakan?”
Aku terdiam, mungkin mukaku sudah memerah.
“Itu kamu Dik. Aku tak pernah menyesali apa pun yang pernah kamu perbuat. Meskipun kamu suka galau dan patah hati, kamu yang sangat lemah di urusan asmara karena susah move on, padahal sudah ratusan kali aku mengingatkanmu untuk mencoba mencintai orang lain, tapi kamu tak pernah mendengarkanku, entahlah tapi kamu pintar, baik, dan visioner. Apa pun yang kamu perbuat, kebodohan, ke-alay-anmu, sifat ngeyelmu selalu membuat aku tersenyum dan bisa membuatku memaafkan semuanya.”

Minggu, 25 Mei 2014

Sepenggal Kisah di Persimpangan


Kawanku seorang perempuan berusia 23 tahun baru saja putus dari kekasihnya yang sudah dua tahun berkomitmen. Dia bercerita dengan penuh penyelesalan. Kala itu kekasihnya meminta komitmen yang lebih, lalu kawanku meminta waktu berpikir. Sejenak sebelum ia meneruskan ceritanya, aku memotong ucapannya, “Jarang-jarang ada lelaki yang ingin lebih dulu berkomitmen.” 

“Justru itu yang aku tangisi saat ini Meina,” katanya sambil mengusap air matanya.

Sebenarnya ketika kawanku menjalin hubungan dengan kekasihnya dia juga menjalin hubungan dengan orang lain. Tidak, tidak ada komitmen dengan pria lain itu, hanya saja sang pria begitu lihai memainkan benang asmara tarik-ulur dengan begitu indah, sialnya timbulnya rasa penasaran dari kawan perempuanku inilah yang membuatnya terus mencoba menghubungi pria asing itu.

“Aku katakan pada kekasihku bahwa aku tidak yakin dengannya. Di situlah akhirnya kami memutuskan untuk berpisah. Baginya untuk apa melanjutkan hubungan yang bahkan yang menjalani saja tidak merasa yakin.”

Suasana pun hening.

Senin, 19 Mei 2014

Sudut Pandang


Bukankah bahagia dan sedih hanyalah sudut pandang?

Belajar dari anak kecil yang bahagia tanpa alasan.
Mereka yang jatuh dari sepeda lantas bangkit kembali tanpa mengingat rasa sakitnya.

Yang menjadikan sabar dan syukur sebagai kunci kehidupan.

Senin, 12 Mei 2014

(Hastag) #GagalFokus


Malam ini harusnya aku mulai mencicil instrumen penelitianku karena “janji” akan selesai hari Sabtu karena Rabu harus ke Purwokerto, Kamis ke Bandung, Jumat ke Purwokerto, dan Sabtu harus sudah di Semarang lagi, tapi dasar Meina pasti ada saja yang dikerjakan, apa itu? Pulang kerja langsung tidur dan setelah itu nonton sinetron KW, acara dangdut cuma buat “ngece-ngece”, lalu pas sudah malam begini baru “ngeh”: tadi gue ngapain aja ya? -_-

Ya sudah, biarlah instrumen ini aku kerjakan esok pagi saja (semoga) karena kalau masih capek begini suka #GagalFokus hehe. “Ya Allah bangunkan aku pada sepertiga malam-Mu, berikanlah aku kekuatan untuk menyelesaikan studiku agar bertambah ilmuku untuk aku amalkan demi agama-Mu, aamiin.”

Sebenarnya aku mau cerita tentang pembelajaran tadi siang. Malam ini bahkan masih terbayang bagaimana kami tertawa bersama, rasanya (subhanallah) bahagia sekali. Menjadi guru adalah impianku and my dream comes true, alhamdulillah. Jadi tadi kami bercerita tentang hastag #GagalFokus. Kenapa tiba-tiba sampai pada topik bahasan itu? Sebenarnya ini hanya intermezzo saja agar anak-anak tidak bosan. Tatkala kami sedang membahas pesan kurikulum pada buku pelajaran dan evaluasi yang disesuaikan dengan Kompetensi Dasar, aku memulai dengan analogi #GagalFokus.

Minggu, 11 Mei 2014

Faktor X


Baginya untuk meraih sukses, 90% usaha akan sia-sia jika tak diimbangi dengan porsi 10% doa. Begitu pula dengan 10% doa, akan sia-sia jika tak disempurnakan dengan 90% usaha. Menurutnya doa adalah puncak dari ikhtiar karena keberuntungan tidak serta merta datang pada seseorang tapi harus dijemput dengan doa dan ikhtiar (Kutipan Buku “The Professors” – Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum.).

Tidak jauh beda dengan pendapat Bu Uum, rekan kerja yang dulu dosenku sendiri. Kamis siang itu tak sengaja aku melewati ruangan beliau, bermaksud menyalami saja ternyata kami pun larut dalam obrolan kami. Maklum sebagai sesama penggemar Ustaz Yusuf Mansur (YM), obrolan kami pun mengalir dengan sangat alami. Ngobrol dengan beliau membuatku semakin bodoh, kenapa? Ya, di situlah justru aku merasa bahwa ilmuku masih sangat cethek dibanding beliau.

“Mba Meina, sesungguhnya bila kita analisis segala yang terjadi ini memang tak lepas dari campur tangan Allah. Kalau saya boleh bilang malah 99% usaha itu akan sia-sia bila Allah tak merahmati atau meridai meskipun hanya 1%. Justru 1% yang biasa orang bilang sebagai “faktor x” lah yang menjadi penentu segalanya. Ya, di situlah saya semakin menyadari bahwa tak ada alasan untuk menyombongkan diri. Sebab, bisa jadi yang orang lihat sebagai sebuah keberhasilan itu semata-mata anugerah atas izin Allah dan bukan berasal dari kemampuan manusia itu,” ucap beliau.

Kamis, 08 Mei 2014

Rumah Kebohongan


Menyitir sedikit ungkapan Najwa Shihab, “Pendidikan memang memberikan peluang, tetapi pemimpin tak lahir karena ijazah.” Nyatanya anak-anak menjadi nakal ketika mereka mulai masuk sekolah, nyatanya pendidikan tinggi tak lantas menjamin hilangnya koruptor di negeri, nyatanya memang tak ada sekolah kejujuran. Darmaningtyas seorang pakar pendidikan bahkan menyatakan kalau pendidikan di Indonesia sudah abal-abal seperti gerobak butut. 

Seorang bijak pernah berkata, “Bila ada dua pilihan yang sama-sama baik maka pilihlah yang kebaikannya lebih banyak. Namun, bila ada dua pilihan yang sama-sama buruk maka pilihlah yang keburukannya lebih sedikit.” Mungkin nasihat itu cocok untuk menilai pendidikan saat ini, aku yakin di antara 10 orang yang pandai setidaknya masih ada orang yang baik. Artinya, pendidikan tak sepenuhnya gagal. 

Tatkala dosen seniorku mengatakan, “Boleh jadi para koruptor yang lahir memang tercetak dari kemudahan-kemudahan dan sikap permisif yang membudaya.” Terlepas dari carut-marutnya politik, muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik, “Mengapa saat ini lebih banyak ditemukan koruptor yang usianya relatif muda?” meskipun belum ada riset persentasi porsi koruptor usia lanjut dan usia muda –bisa juga yang tua juga korupsi, hanya saja mereka lebih lihai dalam berkelit, hehehe. 

Kamis, 01 Mei 2014

Siapalah Saya Ini (?)


Tulisan ini bukan karena esok adalah Hari Pendidikan Nasional, juga bukan karena hari ini adalah Hari Buruh. Aku hanya ingin berbagi rasa. Yah, pada catatan ini aku tak akan “sok tahu” seperti gaya halnya gaya tulisanku yang lain.

“Meina, beberapa hari ini kamu sering sekali sibuk dengan pikiranmu sendiri,” mungkin itu adalah ucapan yang terlontar dari langit-langit kamar kosku. sebuah ruangan ukuran 3x3 meter yang aku penuhi dengan buku-buku. Memang betul, usia 24 ini sepertinya menjadi awal mula munculnya pemikiran-pemikiran yang acap kali mengganggu pikiranku. Tak hanya tentang kuliahku, pekerjaanku, urusan keluarga, urusan teman, percintaan, bahkan keyakinan atas agama yang aku peluk juga aku pertanyakan. Tidak yakin atas pilihanku? Tidak, aku tak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya ingin apa yang aku perbuat selalu beralasan dan aku tahu kenapa aku harus melakukan hal itu. Tentu saja dengan seperti itu hidupku akan lebih nyaman.

Tidak Memakai Celana Jeans
Bila suami Oyi berpuasa minum teh, sesungguhnya sudah lebih dari satu tahun aku berpuasa memakai celana jeans. Aku pernah berdiskusi dengan Oyi sahabatku tentang makna mencari Tuhan. Ya, kami memang sering mendiskusikan hal-hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain. Kami biasa menggunakan gaya sarcastic untuk mengingatkan satu sama lain, apalagi kalau aku sedang patah hati, beuh jangan sampai dia tahu, nanti aku jadi bahan bully-an selama tujuh hari tujuh malam.