Kamis, 17 Desember 2015

Ayam Goreng dan Semut

Malam itu mataku terbuka. Ah, sudah pukul 02.30. Lapar sekali rasanya.

Kuraba perutku, Alhamdulillah tendangannya semakin terasa.

Alamak, baru kusadari rupanya aku tertidur di depan televisi dan giliran semut-semut di televisilah yang menonton aku. Program televisi telah usai karena sudah terlalu larut. Aku baru ingat kalau sebelum tidur aku merasa lelah sekali, badanku sangat lemas. Aku pun meminta suami untuk memasakan sesuatu untukku. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

Di sebelahku, dia tengah tertidur pulas di atas lembaran karpet yang ditumpuk bedcover.  Kasur di depan televisi memang hanya cukup untuk menampung satu orang. Aku berjalan menuju meja makan, di sana sudah terhidang ayam goreng yang sudah dikerumuti semut.


Malam itu juga aku mengusir semut-semut dari piring saji. Aku harus tetap makan. Bukan hanya dengan alasan lapar.

Kamis, 05 November 2015

Mother-Land


*Bersih-bersih sarang laba-laba di blog dulu ya*
Alhamdulillah sungguh nikmat tak terkira ketika Allah memberikan kepercayaan kepada kami untuk menjadi calon orang tua. Hari ini usia kandungan saya sudah 14 minggu. “Alhamdulillah” adalah ungkapan yang selalu kami upayakan untuk terlontar dari bibir kami atas apa pun yang aku rasakan selama kehamilan. Kalau para sesepuh bilang, “Iki gawan bayi, nek muntah mriyang puyeng yo wajar.”

Benar kata orang, ketika seseorang (akan) mempunyai anak maka hidupnya pun akan berubah. Begitu pun saya, mulai dari cara berpikir sampai pada perilaku yang sudah tidak seperti dulu, bahwa: seorang ibu tidak akan berpikir untuk dirinya saja.

Yeah, baru kali ini saya merasa jatuh cinta pada makhluk Allah jauh sebelum saya bertemu dengannya. Baru kali ini saya merindukan seseorang yang saya belum pernah mendengar cerita tentang sosoknya. Baru kali ini saya tak lagi bersabar untuk ‘mengisinya’, menyiapkannya menjadi sosok yang jauh lebih baik dari diri saya sendiri.

Baiklah, dan sampai ia lahir di dunia saya harus berpisah dengan mie sedap kari dan es coffeemix. Namun, saya jalani ini sungguh dengan suka cita.

Jumat, 21 Agustus 2015

Suprapti: Antara Seorang Ibu dan Guru

 “Bu Prapti”, begitulah saya menyapa Dra. Suprapti, M.Pd., sosok yang saya kenal sejak tujuh tahun silam tepatnya tahun 2008. “Galak dan disiplin”, itulah kesan (waktu itu) dalam benak saya ketika kali pertama menjadi mahasiswa beliau. Masih begitu saya ingat, ‘Meina Mahasiswa Baru’ duduk di kursi paling belakang karena takut “ditunjuk” menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada mata kuliah Linguistik Umum. Ketakutan dan isu kakak kelas tentang betapa susahnya mata kuliah linguistiklah yang menjadi salah satu penyebab saya “merinding” ketika diajar beliau.
Ketika saya memasuki semester enam, Bu Prapti kembali mengajar saya pada mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa.
“Hai kamu yang duduk di belakang sendiri,” kata beliau sambil menunjuk saya.
“Iya Bu,” jawab saya.
“Nah itu contohnya, ‘duduk di belakang sendiri’ merupakan ungkapan yang terinferensi oleh bahasa daerah yaitu bahasa Jawa, ‘lungguh mburi dhewe’ maksudnya duduk paling belakang, begitu kan Mbak?”
“Padahal saya tidak duduk sendirian ya Bu,” celetuk saya.
“Beda lagi kalau saya katakan, ‘Mahasiswa dilarang berbicara sendiri ketika perkuliahan’ itu pasti ada mitra tuturnya, kalau berbicara sendiri malah bahaya,” canda beliau.
Segmen perkuliahan itu yang mengubah pandangan saya tentang Bu Prapti, tak ada lagi kesan “galak” dalam benak saya, hingga akhirnya saya tahu bahwa beliau merupakan sosok yang disiplin dan disegani. Memasuki semester tujuh, saya kembali ‘ngangsu kawruh’ pada beliau sebagai mahasiswa PPL. Itu adalah kesempatan besar bagi saya untuk banyak-banyak bertanya pada beliau tentang bahasa, pendidikan, dan pendidikan bahasa dalam ranah paradigma, konsep, maupun praktik. Sebagai dosen senior, jawaban Bu Prapti sangatlah cerdas dan taktis. Bahkan beliau tidak segan memberikan tips dan trik menjadi seorang guru yang baik dan berkualitas secara akademik, paedagogik, psikologis, serta sosial.

Menikah

Berawal pada 17 Agustus 2014. Sebuah perkenalan yang dilakukan setelah melaksanakan upacara kemerdekaan rupanya berujung pada janji suci.

Alhamdulillah setelah melewati proses empat bulan setelah khitbah akhirnya kami pun menikah. Bahagia sekali karena Insya Allah akan mendapat kebahagiaan dunia-akhirat dengan orang yang saya cintai.

1. Seserahan/Malam Midodareni




2. Ijab









3. Resepsi






Terima kasih kepada:
Orang tuaku dan keluargaku, bapak-ibu mertua serta keluarga Kudus, para sahabat, dan suamiku.

Rabu, 17 Juni 2015

Magister Pendidikan

“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”
(Imam Syafi'i)





Alhamdulillah wisuda :)

Jumat, 12 Juni 2015

Kedai Kopi



12 Juni 2015. Saya selalu duduk di kursi yang sama di sini. Di sebuah kedai kopi langgananlah, saya sering menghabiskan jam malam saya untuk melafalkan mantra, “Inspirasi, datanglah engkau kepadaku”. Seorang barista kopi bernama Ben yang selalu setia meracik kopi spesial untuk saya. “Inilah Ben’s Perfecto, sukses adalah wujud kesempurnaan hidup,” katanya sambil mepersilakan secangkir kopi padaku. Kedai kopi ini bernama Filosofi Kopi, setiap cangkir kopi selalu didampingi sepucuk kartu, kartu itulah yang menerjemahkan filosofi setiap racikan kopi ala Ben. Malam ini Ben tampak lain, sama dengan perasaan saya yang berbeda dari biasanya. Kuteguk kopi yang ada di mejaku, rasanya sangat berbeda, jauh lebih nikmat dari yang dikatakan sempurna. Kulirik Ben, tak berapa lama dia datang. “Nona, ini kartunya.” Kopi itu bukan lagi Ben’s Perfecto. Di kartu filosofi kopi tercatat, “Kopi yang Anda minum hari ini : Kopi Tiwus. Artinya, walau tak ada yang sempurna, hidup ini begini adanya.”

Thank Dee.

Jumat, 05 Juni 2015

Fana



Apalah arti seberapa tinggi tingkat pendidikan dan kekayaan bila kesehatan pun tak punya.
Apalah arti mobil semewah apa pun bila dokter lebih menyarankan berjalan kaki.
Apalah arti mampu membeli makanan enak bila dokter menyarankan lebih baik makan nasi dan mentimun.
Apalah arti jabatan yang tinggi bila orang yang mendekat hanyalah yang berkepentingan.

Lalu, apa bedanya dengan tukang jamu yang tiap harinya berjalan kaki?
Apa bedanya dengan tukang becak yang sehari-harinya tak bisa membeli lauk?
Apa bedanya dengan orang yang tinggal seorang diri?

Nikmat dunia sungguhlah fana.

Minggu, 24 Mei 2015

Malin Kundang


Sumber


Dua minggu yang lalu, saya diminta untuk menjadi juri lomba mendongeng bagi siswa SMA se-Kota Semarang. Peserta lomba hanya 16 siswa yang merupakan perwakilan dari sekolah masing-masing.  Mereka unjuk gigi dengan menyajikan dongeng nusantara sesuai pilihannya. Dari 16 peserta rupanya dongeng yang paling populer yakni dongeng Malin Kundang. Malin Kundang menjadi dongeng yang dipilih oleh empat siswa alias 25% dari jumlah peserta.

Menikmati dongeng yang sama yang disajikan oleh orang yang berbeda sungguh sangat mengasyikan. Kita bisa mengetahui kemampuan para siswa dalam berimprovisasi. Saya kira improvisasi dalam pertunjukan mendongeng itu justru menjadi salah satu daya tarik pertunjukan dongeng. Pendongeng bisa memberikan penegasan pada segmen-segmen tertentu dalam dongeng. Misalnya, pada dongeng Malin Kundang pendongeng bisa memberikan penegasan dengan memperagakan adegan si Malin yang sedang meminta restu ibu untuk merantau. Penegasan-penegasan itu bisa kita sebut sebagai bagian improvisasi yang bisa ‘mengaduk-aduk’ hati penikmat dongeng, dan akhirnya menjadi  identitas pertunjukan dongeng.

Itukah Surga?

Masih menjadi tanda tanya besar dibenak saya, “Saya telah dibesarkan oleh kedua orang tua saya. Namun, mengapa setelah saya menikah justru ketakziman saya yang pertama tidak diberikan pada kedua orang tua saya? Justru kepada suami, laki-laki asing yang bahkan baru saya kenal.”

Sumber