Senin, 29 Desember 2014

Nilai Ibadah



Saat itu kami sedang perjalanan dari Malang menuju Semarang. Kereta berhenti di Stasiun Kediri untuk mengangkut penumpang. Beberapa saat kemudian muncul seorang laki-laki dan duduk di depan kami. Tanpa mempedulikan sekelilingnya, dia membuka tas dan mengeluarkan kertas kerja. Dia menggunakan meja kecil yang ia taruh di pangkuannya untuk bekerja. Dia terlihat sangat sibuk dengan penggaris, pensil, dan kalkulatornya. Tak hanya itu, ketika magrib, lelaki itu mengeluarkan Al Quran dan mengaji di kereta.
“Mas, dia keren, rajin, alim.”
“Bila ia peduli dengan lingkungannya itu baru keren. Lihatlah apa yang dilakukan orang yang duduk di sebelahnya, bahkan tak dapat duduk di sebelah laki-laki itu karena ewoh. Lihat, meja kerja yang ia pangku hampir memenuhi kursi kereta. Bila saja ia membuat orang yang di sebelahnya nyaman, itulah yang bernilai ibadah lebih.”

Aaaah, ini hubungan horizontal yang banyak dilalaikan.

Sepasang Penjual Mangga



Sabtu, 27 Desember 2014 di Batu Malang.

Sore itu gerimis merintik membasahi Batu yang hampir selalu basah. Selama tiga hari saya di sana, tak pernah ada hari tanpa hujan. Entah sebab musim hujan atau memang Batu sudah ditakdirkan sebagai kota hujan. Meskipun selalu basah, pesona Batu tak pudar. Batu menyimpan kenangan manis setiap saya melihat rintikan gerimis di mana pun.

Gerimis akhir tahun ini juga menyimpan kisah singkat antara kami dan sepasang penjual mangga. Kala itu, kami sedang berjalan dari Alun-Alun Batu menuju pangkalan taksi. Sepanjang jalan banyak sekali penjual yang menawarkan barang dagangannya.
“Mas, Mba mau mangga? Murah dan manis lo,” kata ibu penjual mangga.
Kami pun berhenti. Kami berdua sama-sama penggemar buah mangga.
“Boleh Bu, bisa kami cicipi dulu?” tanya saya.
“Oh boleh,” kata ibu penjual sambil memberikan kode pada partnernya yang sepertinya adalah suaminya. Penjual laki-laki itu lantas memberikan potongan mangga pada kami.
“Hm.. manis, boleh lah kami ambil, satu kilo saja Bu,” kata pacar saya.
“Satu kilo sepuluh ribu Mas, biasanya dapat dua mangga,” kata sang penjual laki-laki.

Jumat, 21 November 2014

Cinta Orang Dewasa


Jatuh cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Bagi anak SMP, cinta adalah pura-pura izin ke kamar kecil waktu pelajaran, padahal cuma ingin lewat di depan kelasnya. Bagi anak SMA, cinta mungkin sekadar antar-jemput kosan dan sekolah. Bagi anak kuliahan cinta mungkin sekadar menonton bioskop bersama. Atau, kata novel remaja, cinta adalah perasaan yang bisa membuat kamu deg-degan waktu melihatnya. Cinta orang dewasa adalah bagaimana cara menyatukan dua keluarga. Itulah bagian dari tujuan menikah.

Pendekatan psikologis dibutuhkan untuk mempelajari karakter dan kepribadian si calon. Sedangkan, pendekatan sosio-kultural yang seharusnya digunakan untuk mempelajari kebiasaan keluarga dan lingkungan sekitar si calon. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan metode yang benar. Jangan sampai kita menggeneralisasikan secara sepihak karakter sebuah keluarga berdasarkan konklusi yang prematur. Di situlah kita harus melakukan persuasif yang benar. Tentu usaha itu harus disesuaikan dengan keadaan sosio-kultural sang objek.

Idealisme yang dulu ingin mendapatkan pasangan yang sempurna entah mengapa begitu bergeser. Mungkin ini sebuah penyadaran diri bahwa: kadang kita merasa bahwa diri ini adalah sosok yang sempurna. Pergeseran itu mengarah pada tindakan untuk menemukan orang yang mampu menerima ketidaksempurnaan kita. Saya mungkin tidak pernah terlalu bersusah-susah mencari pekerjaan, juga tak perlu bersusah-susah mencari uang, tak perlu juga bersusah-susah untuk bertahan hidup. Namun, kenyamanan itulah yang yang tidak boleh membuat kita silau pada diri kita sendiri. 

Senin, 17 November 2014

What Should We Do?

Berdiskusi dengan pacar memang hal yang menarik. Apalagi pacar yang memiliki daya intelektual tinggi. Satu-satunya laki-laki yang berani membanting buku di depan saya dan mengatakan, “Saya capek berdiskusi dengan orang yang tidak intelek.” Lalu, saya hanya cengar-cengir, garuk-garuk kepala, merasa bodoh, lantas kembali cuek dan lanjut bermain facebook sambil ngakak-ngakak sendiri. Maap ye...

Dia mengambil studi seni, sedangkan saya bahasa dan sastra. Dua disiplin ilmu yang kata orang, “Belajar seni dan sastra, mau jadi apa?” 

Baiklah, jangan anggap ini adalah tulisan berbobot dan solutif. Tulisan-tulisan di blog saya memang propokatif dan menipu (katanya). Pacar saya saja heran. Saya menjelma laksana perempuan idaman di blog ini. Padahal di rumah, saya duduk nyingkrang, berbicara ketika mulut penuh makanan, dan sangat cuek. Saya pernah beberapa kali mendapat SMS dan surel dari pengikut blog saya atau orang yang tersesat membaca blog saya dari google, mereka menyatakan persetujuan atau kekaguman kepada saya. Preeet! Kata pacar saya itu pembohongan publik besar-besaran. Bahkan, kata  si pacar tulisan saya ini dinilai tidak intelektual, sangat populer, dan tidak ada bobot keilmuannya, hahahha... yawis karepmulah.

Rabu, 05 November 2014

Kesederhanaan


Yang istimewa pada pembukaan seminar internasional kali ini, bukan gedung auditorium yang mewah, bukan pidato dari para pejabat, bukan perkenalan para pembicara dari berbagai negara, bahkan bukan pula pidato dari "keynote speaker". Seorang kakek berkemeja putih yang duduk di sebelah saya-lah yang membuat malam ini begitu berkesan. Awalnya saya minta izin untuk duduk di kursi sebelah beliau yang kosong, beliau tersenyum dan mengizinkan saya. Pembicaraan pun mengalir, beiau terlihat sangat bersahaja. Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa mahasiswa yang berulang kali membujuk beliau untuk duduk di kursi VIP, berulang kali pula beliau menolaknya.

Ketika pulang, saya kira beliau mengendarai mobil atau dijemput anak/cucunya. Saya berdiri di depan gedung auditorium dengan beliau, di luar hujan masih sangat deras. Beberapa mahasiswa membujuk beliau. "Saya mohon izin Bapak, apakah Bapak berkenan saya antar?" Beliau tersenyum dan kekeuh menunggu hujan reda. "Apakah Bapak masih akan menunggu angkot?"

---

Beliau adalah Bapak Djoko Kentjono, seorang pensiunan dosen linguistik di UI. Beliau pernah kuliah di Texas, satu angkatan dengan Prof Retmono (pernah menjadi Rektor Unnes), juga mengenal Prof Eko Wardono (guru besar linguistik di Unnes). Beberapa guru besar linguistik, seperti Harimurti Kridalaksana ternyata pernah dibimbing oleh beliau.

Berkat kesederhanaan beliau, kehujanan bersama mamang ojek pun jadi terasa begitu romantis.

Terima kasih Pak Djoko, saya masih ingat berulang kali Bapak mengatakan, "Semoga besok kita bertemu lagi."

Tangerang Selatan, 5 November 2014

Kamis, 09 Oktober 2014

Tak Sempurna


Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Begitulah kira-kira yang membuat tidak ada orang yang bisa mencintai dengan sempurna dan melupakan dengan sempurna orang yang pernah dicintai.

Pada dasarnya, berkesempatan untuk bertemu-mencintai-dicintai adalah berjodoh. Lalu, ketika dua orang itu bersanding dalam naungan ijab-kabul, itulah jodoh yang diridai Alloh.

Mungkin inilah dinamika kehidupan. Seharusnya kita menyadari ketidaksempurnaan ini.

Senin, 08 September 2014

Konsep Cinta (3)


Aku tersenyum kepadanya kala itu. “Mas, tak pernah aku ungkapkan apa yang aku rasakan, mungkin selama ini kamu merasa bahwa aku sangat cuek, terkesan tidak peduli. Namun, percayalah jauh di dalam lubuk hatiku tersimpan kekaguman untukmu. Itulah, kekaguman dan cinta selalu datang beriringan meskipun terkadang keduanya tak bisa bersatu seperti air dan minyak. Dan kau masih saja menyebutkku dengan sebutan ‘Mbak’ dengan alasan penghormatan untukku. Awalnya aku merasa bahwa itu hal yang berlebihann, tapi justru di situlah istimewamu. Mas, bukankah cinta antara manusia harus senantiasa memelihara kepribadian orang yang dicintainya? tidak memaksanya menjadi seperti kita. Menurut Quraish Shihab, cinta pada manusia bermula dari pengenalan, lalu timbul penghormatan, kemudian timbul tanggung jawab, lalu muncul kesetiaan, dan tanpa hal-hal tersebut bukanlah cinta: bukan cinta bila tak mengenal, bukan cinta bila tak saling menghormati, bukan cinta bila tak bertanggung jawab, serta bukanlah cinta bila tak setia. Puncak cinta antarsesama manusia dinamai oleh Al Quran dengan sebutan : Mawaddah. Mawaddah adalah kosongnya jiwa dari segala yang buruk sehingga betapa pun buruk yang dicintai, hati tidak akan melihat keburukannya sehingga yang buruk terlihat menjadi kebaikan dan itu yang harus diperjuangkan bagi mereka yang menjalin cinta kasih.”

Senin, 25 Agustus 2014

Konsep Cinta (2)


“Bolehkah aku sedikit bercerita padamu, mungkin nanti juga ada pertanyaan yang ingin aku ajukan,” tanya dia.

“Tentu, dengan senang hati.”

Dia tersenyum lalu menatapku bersahaja. “Bagaimana pendapatmu tentang jodoh dan cinta? Lebih spesifik, akan aku jelaskan dengan contoh, apakah kamu percaya bahwa landasan dalam menjalin rumah tangga adalah komitmen bukan cinta? Sebenarnya beberapa saat yang lalu aku sempat mendapat nasihat dari seorang senior yang intinya bila kamu akan berumah tangga, carilah istri yang bisa diajak hidup bersama, di sana aku tidak menemukan kata cinta sama sekali, entahlah. Justru ini yang ingin aku bicarakan kepadamu, benarkah cinta itu bisa tumbuh seiring dengan perjalanan waktu karena terbiasa bersama?”

Dia menarik napas. Aku membalasnya dengan senyum, aku masih terdiam karena aku yakin ada lagi yang akan dia katakan.

“Sesungguhnya ada yang membuat aku gusar, ketika aku mengamini pernyataan aku tadi, justru muncul pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mengenal calon istri atau suami manakala landasan berumah tangga bukanlah cinta, bisakah kamu memberikan pendapatmu?”

“Baiklah, kamu yang baik dan santun. Bukankah agama sudah mengatur segala sesuatu untuk manusia. Bilamana kamu mencari istri, kamu bisa memilihnya dengan empat pertimbangan yakni agama, keturunan, harta, dan rupa; aku juga tak menemukan kata cinta di sini. Namun, seperti yang pernah kamu katakan bahwa cinta itu tak ilmiah. Hal ini kontradiktif dengan pendapat Descartes yang mana sesuatu yang ilmiah selalu bermula dari kesangsian metodis, justru cinta bermula dari keyakinan. Sebelum aku menarik simpulan, mari ingat-ingat kembali cerita tentang Socrates dan Plato, menurutmu mereka cinta adalah sebuah kenihilan sedangkan jodoh adalah sebuah pilihan. Cinta diciptakan dari ego dan angan-angan tentang kesempurnaan yang diciptakan manusia. Justru simpulan yang dapat aku tarik, seungguhnya konsep cinta sejati yakni bila kita mencintai segala sesuatu karena Tuhan, bilamana cinta tak tercipta hanya sebatas ucapan selamat tidur, lebih dari itu cinta adalah tanggung jawab dan mau hidup bersama, tentu sesuai dengan penjelasan aku tadi.”

Selasa, 22 Juli 2014

Investasi



“Kala itu, terlintas di pikiran saya sebelum akhirnya saya memutuskan untuk menjadi guru. Alangkah bahagianya kyai-kyai itu yang tanpa ia minta santri-santrinya untuk berbakti padanya, justru santri-santri itulah yang mendekat padanya. Kenapa? Karena kyai dianggap memiliki ilmu. Ketika saya berpikir: ‘Mungkin saat ini saya masih sehat dan segar, tapi bagaimana bila tiba-tiba saya terkena stroke, atau ketika tua nanti saya sudah tidak bisa apa-apa?’ di situlah saya mulai berpikir Dik, bahwa pekerjaan saya saat ini (mungkin) memang yang terbaik untuk saya, terlepas dari bila itu takdir Tuhan untuk saya. Saat itu saya bertemu dengan seorang seniman yang ketika muda ia sangat gagah; siapa perempuan yang kuasa menolak ia? Tapi setelah ia tua, saya melihat ia duduk di kursi antrean pasien rumah sakit. Ia hanya duduk berdua ditemani istrinya yang masih cantik. Pemikiran saya terbang pada masa depan yang kita tak tau pasti. Bahwa saat-saat sekarang ini adalah waktu keemasan untuk menanam investasi dunia-akhirat. Sebab, kita tak tahu pasti apa yang akan terjadi nanti. Pun bilamana akhirnya  saya memutuskan untuk menjadi guru, saya tak akan memaksa anak-anak didik saya untuk berbakti kepada saya. Namun, kita sebagai manusia tak mungkin pernah menghindari satu hal: rasa.”

-Sendang Mulyana, pada perbincangan siang hari di Gedung B1 102-

Minggu, 20 Juli 2014

Catatan Hati Seorang Guru (CHSG)


Alhamdulillah sudah empat semester aku diberikan kesempatan untuk memberikan nilai pada yudisium. Jujur, memberikan nilai adalah hal paling sulit dilakukan di antara serangkaian kegiatan pembelajaran. Bagiku memberikan nilai harus dilakukan seadil-adilnya sedangkan manusia tidak memiliki kapasitas memadai untuk melakukan keadilan dengan sempurna.

“Duh Gusti, kulo mboten pantes mlebet suwargo. Nanging nopo kulo kiyat manggen teng neroko?”
Sekilas terlintas di pikiranku bahwa orang yang paling pantas masuk neraka di sekolah adalah guru. Kenapa? Kadang aku merasa munafik ketika selalu memberikan semangat pada anak didikku tapi aku sendiri bermalas-malasan. Seperti yang Prof Dandan katakan pada kami, “Wahai guru, berhati-hatilah, jangan sampai mengajarkan hal yang salah, nanti akan ada pertanggungjawabannya di akhirat.” Itulah yang seharusnya diketahui para guru agar selalu menggali potensi dirinya.

Sudah dua bulan ini rasanya aku kehilangan semangat dan motivasi. Berat badanku turun, pola tidur kacau, dan rasanya ingin selalu bermalas-malasan. Entahlah, pada saat-saat seperti itu justru Alloh memberikan karunia-Nya yang begitu luas, dan jauh lebih besar dari masalah-masalah yang aku hadapi. Namun, untuk merasakan hal itu memang kita membutuhkan kesabaran dan tentu saja keyakinan. Mungkin benar, manusia terbatas pada usaha, Tuhan-lah yang menentukan segalanya. Esensinya, lakukan apa pun dengan sebaik-baiknya lalu iringilah dengan doa. 

Kamis, 03 Juli 2014

Pilihan Hidup


“Ada yang memilih untuk mengalah pada cita-citanya yang sebenarnya lalu menghabiskan masa mudanya di kantor dan mempersiapkan kemapanan. Namun, ada juga yang memilih untuk menghabiskan masa mudanya dengan membela cita-citanya tanpa mempedulikan arti kemapanan pada saat itu. Mana yang benar? Tentu semua benar. Sebab, pada masa postmodernisme ini setiap pilihan manusia adalah hak baginya dalam menjalani kehidupan.”

Pada fase tertentu kata-kata akan dibuktikan, lalu Rendra menyebutnya sebagai perjuangan. 
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
(Rendra, 1984)

Bagaimana aku bisa sampai pada titik ini? Seringkali sebelum tidur, aku ingat-ingat kembali langkah-langkahku, “Oh ternyata aku sudah melewati itu semua, tapi tentu saja jalan masih sangat panjang.” Meski dalam langkah kaki ini seringkali harus kulewati kerikil tajam, bahkan potongan-potongan kaca yang mencabik telapak kaki. Namun tahukah kau, Syafi’i pernah berkata bahwa manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang. Ya, di situlah aku banyak sekali belajar tentang bersabar dan bersyukur. 

Selasa, 01 Juli 2014

Kuda Besi untuk Pendidikan



Judul Buku                : Kuda Besi (Kumpulan Dongeng dan Fantasi Anak bersama   Birokreasi)
Penerbit                      : www.birokreasi.com
Harga                          : Rp 42.500
Tahun                          : 2014
Jumlah Halaman       : 178 halaman


Anak-anak dapat belajar memahami dongeng sebelum mereka mampu berpikir logis, sebelum dapat menulis dan membaca. Mendongeng merupakan kegiatan penting sebagai jembatan sampai anak dapat memahami cerita dan berpikir logis (Eagle, 1995). Pada zaman dulu dongeng dianggap begitu sakral, bahkan hanya orang yang disebut pawanglah yang boleh mengisahkan dongeng pada orang-orang. Anak-anak duduk berkerumun menanti cerita dari pawang. Sejak saat itulah dongeng digunakan sebagai sarana menyampaikan nasihat, bahkan sekadar pelipur lara. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Priyono (2006) bahwa kegiatan mendongeng sebenarnya tidak sekadar bersifat hiburan belaka. Dongeng memiliki tujuan yang lebih luhur yakni pengenalan alam lingkungan, budi pekerti, dan mendorong anak berperilaku positif.
Dongeng yang dahulu merupakan tradisi lisan dan menyebar dari mulut ke mulut saat ini hampir mengalami pergeseran seiring dengan berkembangnya teknologi. Dongeng tak lagi hanya dikisahkan oleh pawang, juga tak hanya menjadi tradisi lisan. Saat ini dongeng juga berkembang melalui tradisi tulis. Begitu juga cara penceritaannya, tidak hanya disajikan dalam bentuk pertunjukan, dongeng dalam bentuk tulis bisa dinikmati dengan cara dibaca.

Jumat, 20 Juni 2014

What is Great Teacher?

"Attorikotu ahammu minal maddati wal ustadzu ahammu minattorikoti waruhul ustadzi ahammu min kulli syai'in." Metodologi lebih penting daripada materi, kurikulum, dan buku. Guru lebih pating dari metode. Tapi guru yang bagaimana? Semangat pengabdian gurulah yang terpenting di antara semua itu. Artinya, mutu guru yang amanah dan ikhlas mengemban tugas mendidik dan mempunyai komitmen kuat sebagai pendidik serta menyayangi peserta didik sebagai generasi penerus. (Prof Dandan)

Guru yang baik tidak sekadar duduk dan ceramah, tapi menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didik. Pendidikan di sekolah yang baik tentu tidak hanya mentransfer pengetahuan semata. Mendewasakan peserta didik melalui kreativitas yang bisa membuat mereka pandai dalam memecahkan permasalahan tentu menjadi PR besar bagi guru. Tidak hanya permasalahan di dalam kelas tapi juga yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Sebab, kata kawanku hakikat hidup yang sebenarnya adalah lompatan dari satu masalah ke masalah yang lain. 

Kamis, 19 Juni 2014

What have you done in your age? #1 Menikmati Fase Kegagalan


Hidup adalah lompatan dari satu masalah ke masalah yang lain (Suseno, 2014).

Dinamika merupakan bagian yang pasti dalam kehidupan. Lima tahap kesedihan menurut Kubler Ross yakni: kemarahan, penyangkalan, penawaran, depresi, dan penerimaan. Tahapan itu mungkin di-amini oleh beberapa orang yang sudah pernah mengalaminya, begitu juga aku. Namun menurut Ross, ada perbedaan karakterisitik laki-laki dan perempuan saat mengalami kesedihan bila dilihat dari sikapnya. Laki-laki akan tampak biasa saja tetapi sesungguhnya dia sedang melakukan tindakan destruktif. Berbeda dengan perempuan, meskipun ia tampak begitu hancur, sesungguhnya ia sedang mengonstruksi dirinya menjadi lebih baik. 

Barangkali penerimaan yang sedang aku pelajari saat ini. Kalau mengulang pernyataan Ross, itu adalah fase terakhir dalam menyikapi kesedihan. Bilamana kehidupan bersifat dialektik maka setiap manusia akan mendapati fasenya masing-masing. Tentu, fase-fase itu akan terlihat dengan kadar yang berbeda dari sudut pandang manusia, tetapi sesungguhnya tidak di mata Tuhan. Seperti yang pernah dikatakan guru Madrasah Ibtidaiyahku kala itu, Tuhan akan memberikan tantangan pada setiap hamba-Nya sesuai dengan kadar kemampuannya. Itu sebabnya muncul nasihat bahwa manusia tak akan kalah oleh cobaan yang dihadapinya. “No one makes lock without a key. That’s why God won’t give you problems without solutions.”

Jumat, 30 Mei 2014

Aib


Kampoeng Kopi Banaran, Bawen 29 Mei 2014.

Seorang perempuan muda yang sedang hamil satu setengah bulan sedang duduk bersamaku sambil menikmati semilir angin di bawah pepohonan. Namanya tidak jauh beda dengan namaku, hanya selisih satu huruf, namaku Meina dan nama perempuan itu Neina. Kami adalah rekan kerja, usianya hanya terpaut empat bulan lebih tua dari aku tetapi waktu kuliah S-1 dia adalah kakak tingkatku dan kami pun pernah berada di organisasi yang sama.

“Dik, saat ini aku benar-benar merasakan makna persahabatan,” ujarnya padaku.
“Maksudnya Mbak?” tanyaku balik.
“Saat kita jauh dengan orang tua, suami, keluarga, di situlah kita hanya punya sahabat yang bisa diandalkan. Aku punya seorang sahabat dan baru kali ini aku menganggapnya seperti keluargaku sendiri. Kenapa? Karena dia sangat setia, perhatian, dan aku benar-benar tidak pernah merasa sendiri bila dengannya.”
“Oh iyakah Mba, senang ya punya sahabat seperti itu,” sambungku.
“Iya Dik, bahkan dia adalah orang yang paling sering aku ceritakan pada keluargaku. Orang yang paling bapakku hafal adalah dia, begitu juga dengan ibuku yang merasa sangat senang ketika mengenal dan bercakap-cakap dengannya,” ucapannya terpotong. Dia berhenti sejanak lalu menatapku. Entahlah tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang.
“Kamu tahu siapa orang yang sedang aku ceritakan?”
Aku terdiam, mungkin mukaku sudah memerah.
“Itu kamu Dik. Aku tak pernah menyesali apa pun yang pernah kamu perbuat. Meskipun kamu suka galau dan patah hati, kamu yang sangat lemah di urusan asmara karena susah move on, padahal sudah ratusan kali aku mengingatkanmu untuk mencoba mencintai orang lain, tapi kamu tak pernah mendengarkanku, entahlah tapi kamu pintar, baik, dan visioner. Apa pun yang kamu perbuat, kebodohan, ke-alay-anmu, sifat ngeyelmu selalu membuat aku tersenyum dan bisa membuatku memaafkan semuanya.”

Minggu, 25 Mei 2014

Sepenggal Kisah di Persimpangan


Kawanku seorang perempuan berusia 23 tahun baru saja putus dari kekasihnya yang sudah dua tahun berkomitmen. Dia bercerita dengan penuh penyelesalan. Kala itu kekasihnya meminta komitmen yang lebih, lalu kawanku meminta waktu berpikir. Sejenak sebelum ia meneruskan ceritanya, aku memotong ucapannya, “Jarang-jarang ada lelaki yang ingin lebih dulu berkomitmen.” 

“Justru itu yang aku tangisi saat ini Meina,” katanya sambil mengusap air matanya.

Sebenarnya ketika kawanku menjalin hubungan dengan kekasihnya dia juga menjalin hubungan dengan orang lain. Tidak, tidak ada komitmen dengan pria lain itu, hanya saja sang pria begitu lihai memainkan benang asmara tarik-ulur dengan begitu indah, sialnya timbulnya rasa penasaran dari kawan perempuanku inilah yang membuatnya terus mencoba menghubungi pria asing itu.

“Aku katakan pada kekasihku bahwa aku tidak yakin dengannya. Di situlah akhirnya kami memutuskan untuk berpisah. Baginya untuk apa melanjutkan hubungan yang bahkan yang menjalani saja tidak merasa yakin.”

Suasana pun hening.

Senin, 19 Mei 2014

Sudut Pandang


Bukankah bahagia dan sedih hanyalah sudut pandang?

Belajar dari anak kecil yang bahagia tanpa alasan.
Mereka yang jatuh dari sepeda lantas bangkit kembali tanpa mengingat rasa sakitnya.

Yang menjadikan sabar dan syukur sebagai kunci kehidupan.

Senin, 12 Mei 2014

(Hastag) #GagalFokus


Malam ini harusnya aku mulai mencicil instrumen penelitianku karena “janji” akan selesai hari Sabtu karena Rabu harus ke Purwokerto, Kamis ke Bandung, Jumat ke Purwokerto, dan Sabtu harus sudah di Semarang lagi, tapi dasar Meina pasti ada saja yang dikerjakan, apa itu? Pulang kerja langsung tidur dan setelah itu nonton sinetron KW, acara dangdut cuma buat “ngece-ngece”, lalu pas sudah malam begini baru “ngeh”: tadi gue ngapain aja ya? -_-

Ya sudah, biarlah instrumen ini aku kerjakan esok pagi saja (semoga) karena kalau masih capek begini suka #GagalFokus hehe. “Ya Allah bangunkan aku pada sepertiga malam-Mu, berikanlah aku kekuatan untuk menyelesaikan studiku agar bertambah ilmuku untuk aku amalkan demi agama-Mu, aamiin.”

Sebenarnya aku mau cerita tentang pembelajaran tadi siang. Malam ini bahkan masih terbayang bagaimana kami tertawa bersama, rasanya (subhanallah) bahagia sekali. Menjadi guru adalah impianku and my dream comes true, alhamdulillah. Jadi tadi kami bercerita tentang hastag #GagalFokus. Kenapa tiba-tiba sampai pada topik bahasan itu? Sebenarnya ini hanya intermezzo saja agar anak-anak tidak bosan. Tatkala kami sedang membahas pesan kurikulum pada buku pelajaran dan evaluasi yang disesuaikan dengan Kompetensi Dasar, aku memulai dengan analogi #GagalFokus.

Minggu, 11 Mei 2014

Faktor X


Baginya untuk meraih sukses, 90% usaha akan sia-sia jika tak diimbangi dengan porsi 10% doa. Begitu pula dengan 10% doa, akan sia-sia jika tak disempurnakan dengan 90% usaha. Menurutnya doa adalah puncak dari ikhtiar karena keberuntungan tidak serta merta datang pada seseorang tapi harus dijemput dengan doa dan ikhtiar (Kutipan Buku “The Professors” – Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum.).

Tidak jauh beda dengan pendapat Bu Uum, rekan kerja yang dulu dosenku sendiri. Kamis siang itu tak sengaja aku melewati ruangan beliau, bermaksud menyalami saja ternyata kami pun larut dalam obrolan kami. Maklum sebagai sesama penggemar Ustaz Yusuf Mansur (YM), obrolan kami pun mengalir dengan sangat alami. Ngobrol dengan beliau membuatku semakin bodoh, kenapa? Ya, di situlah justru aku merasa bahwa ilmuku masih sangat cethek dibanding beliau.

“Mba Meina, sesungguhnya bila kita analisis segala yang terjadi ini memang tak lepas dari campur tangan Allah. Kalau saya boleh bilang malah 99% usaha itu akan sia-sia bila Allah tak merahmati atau meridai meskipun hanya 1%. Justru 1% yang biasa orang bilang sebagai “faktor x” lah yang menjadi penentu segalanya. Ya, di situlah saya semakin menyadari bahwa tak ada alasan untuk menyombongkan diri. Sebab, bisa jadi yang orang lihat sebagai sebuah keberhasilan itu semata-mata anugerah atas izin Allah dan bukan berasal dari kemampuan manusia itu,” ucap beliau.

Kamis, 08 Mei 2014

Rumah Kebohongan


Menyitir sedikit ungkapan Najwa Shihab, “Pendidikan memang memberikan peluang, tetapi pemimpin tak lahir karena ijazah.” Nyatanya anak-anak menjadi nakal ketika mereka mulai masuk sekolah, nyatanya pendidikan tinggi tak lantas menjamin hilangnya koruptor di negeri, nyatanya memang tak ada sekolah kejujuran. Darmaningtyas seorang pakar pendidikan bahkan menyatakan kalau pendidikan di Indonesia sudah abal-abal seperti gerobak butut. 

Seorang bijak pernah berkata, “Bila ada dua pilihan yang sama-sama baik maka pilihlah yang kebaikannya lebih banyak. Namun, bila ada dua pilihan yang sama-sama buruk maka pilihlah yang keburukannya lebih sedikit.” Mungkin nasihat itu cocok untuk menilai pendidikan saat ini, aku yakin di antara 10 orang yang pandai setidaknya masih ada orang yang baik. Artinya, pendidikan tak sepenuhnya gagal. 

Tatkala dosen seniorku mengatakan, “Boleh jadi para koruptor yang lahir memang tercetak dari kemudahan-kemudahan dan sikap permisif yang membudaya.” Terlepas dari carut-marutnya politik, muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik, “Mengapa saat ini lebih banyak ditemukan koruptor yang usianya relatif muda?” meskipun belum ada riset persentasi porsi koruptor usia lanjut dan usia muda –bisa juga yang tua juga korupsi, hanya saja mereka lebih lihai dalam berkelit, hehehe. 

Kamis, 01 Mei 2014

Siapalah Saya Ini (?)


Tulisan ini bukan karena esok adalah Hari Pendidikan Nasional, juga bukan karena hari ini adalah Hari Buruh. Aku hanya ingin berbagi rasa. Yah, pada catatan ini aku tak akan “sok tahu” seperti gaya halnya gaya tulisanku yang lain.

“Meina, beberapa hari ini kamu sering sekali sibuk dengan pikiranmu sendiri,” mungkin itu adalah ucapan yang terlontar dari langit-langit kamar kosku. sebuah ruangan ukuran 3x3 meter yang aku penuhi dengan buku-buku. Memang betul, usia 24 ini sepertinya menjadi awal mula munculnya pemikiran-pemikiran yang acap kali mengganggu pikiranku. Tak hanya tentang kuliahku, pekerjaanku, urusan keluarga, urusan teman, percintaan, bahkan keyakinan atas agama yang aku peluk juga aku pertanyakan. Tidak yakin atas pilihanku? Tidak, aku tak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya ingin apa yang aku perbuat selalu beralasan dan aku tahu kenapa aku harus melakukan hal itu. Tentu saja dengan seperti itu hidupku akan lebih nyaman.

Tidak Memakai Celana Jeans
Bila suami Oyi berpuasa minum teh, sesungguhnya sudah lebih dari satu tahun aku berpuasa memakai celana jeans. Aku pernah berdiskusi dengan Oyi sahabatku tentang makna mencari Tuhan. Ya, kami memang sering mendiskusikan hal-hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain. Kami biasa menggunakan gaya sarcastic untuk mengingatkan satu sama lain, apalagi kalau aku sedang patah hati, beuh jangan sampai dia tahu, nanti aku jadi bahan bully-an selama tujuh hari tujuh malam.

Sabtu, 12 April 2014

Melepas


Apa esensi “sumarah” “tawakal” dan “kenapa kita harus berserah”? Sudah enam bulan aku memikirkan hal ini. Beberapa referensi aku coba pahami mulai dari buku Kejawen, pemahaman Siddharta, sampai pada buku-buku Islam ala Aa Gym dan Yusuf Mansur. Semua mengatakan bahwa, jalan menuju kedamaian hidup adalah keberterimaan, kepasrahan, dan menjalani semua dengan kesabaran. 

“Kenapa?” tanyaku dalam hati. “Mengapa justru ketika kita tak merelakan harapan kita justru kita akan memahami betul hakikat memiliki?” Bahkan aku masih bertanya-tanya mengenai nasihat seniorku di kantor. “Meina, bila kau menjatuhkan hati pada seseorang. Lepaskanlah. Bila ia jodohmu maka ia akan kembali kepadamu.” Diktum “romo” itulah yang selalu menjadi tanda tanya besar hingga malam ini akhirnya aku menemukan cahaya penerang.

Analoginya hampir sama dengan kejadian dua tahun yang lalu ketika aku selalu mengalah pada teman-temanku yang mendaftar pekerjaan sebagai guru les, ketika aku mengalah tak mengajukan beasiswa, atau harapan dan kesempatan lain yang rela kau bakar lalu abunya kau biarkan terbawa angin tak bersisa. Kita tak pernah tahu sebelum akhirnya langkah-langkah kecil kita sampai pada suatu titik yang mana akhirnya aku menyadari bahwa aku sudah mendapatkan jauh yang lebih besar dari apa yang sudah aku relakan itu. Menjadi dosen mungkin sebuah hadiah Tuhan dari kerelaan melepaskan kesempatan menjadi guru les. Bukan, bukan maksudku merendahkan guru les dan menganggap dosen adalah hal yang lebih prestisius, kenapa?

Rabu, 09 April 2014

Berhenti Berjuang



Aku belum bisa mengerti sampai saat ini. Ketika pergi dengan seseorang justru yang ada di bayangan justru orang lain. Sungguh, baru kali ini aku duduk dengan seseorang tetapi yang ada dalam hatiku hanyalah resah dan gelisah. 

Pada sebuah janji yang tak terucap.
Perasaan menghianati.
Hingga aku putuskan untuk mengakhiri sebelum memulai.

It’s so hard to explain.

“Untukmu yang sangat gemar menunggu, ajari aku, bagaimana hatimu bisa seteguh itu, diam dan tanpa usaha. Bagaimana kau belenggu ketakutanmu di hati hingga tampak begitu indah, terkesan sabar dan anggun. Ajarilah aku, bagaimana caranya berhenti berjuang? ~ Dyah Praba

Tatkala aku harus belajar untuk berhenti berjuang. 

Sabtu, 22 Maret 2014

Untuk Engkau: Kisah Tentang Perempuan Venus dan Lelaki Mars




Engkau yang jauh di Kota Tua.
Gambar tersebut aku ambil dari facebook tatkala mereka mengikuti kontes untuk mendapatkan tiket liburan gratis di Bali. 
Namanya Surahmat, ia seorang sahabat yang telah membuktikan bahwa Venus mampu bersatu dengan Mars. Seorang laki-laki yang menggunakan celana sobek-sobek lalu menikahi seorang perempuan bergamis lebar. Laki-laki yang suka “men-siuit” perempuan seksi yang lewat ternyata menikah dengan seorang ustazah.

Kesinkronan Mars dan Venus bisa terjadi berkat harmonisasi yang terjalin sebab perjalanan dan perjuangan yang panjang dan tidak mudah. 

Laki-Laki Mars dan Perempuan Venus, tahukah kau?
Ini tidak melulu soal Surahmat dan Rosi. Kisah Mars dan Venus rupanya masih menjadi mitos percintaan terhebat di bumi ini. 

Kamis, 20 Maret 2014

Love and Life


Hal yang seringkali terlupa oleh seseorang ketika dia memutuskan untuk move on adalah let go. Rupanya move on saja tidak cukup untuk melupakan seseorang dan membuatmu berbahagia, apalagi ketika kamu tak mencoba untuk let go atau berani memulai cinta yang baru. Hello… Indonesia terdiri atas 200 juta orang dan kamu masih mengharapkan dia? (Rhonald) ~ From Indonesian Lawak Club.

Kalau kita belajar dari Kahlil Gibran, alasan terkuat ketika kamu memutuskan untuk mundur, bukan sebab dia tak mencintai kamu tapi karena kamu menyadari betul dia akan lebih berbahagia dengan orang lain. Bisa jadi pula, orang yang benar-benar mencintai kamu adalah dia yang tak pernah menyatakan cintanya padamu sebab ia takut akan ada jarak antara kamu dan dia. Dia akan memilih untuk menjadi sahabatmu yang bisa menemanimu selamanya. Padahal, dialah sebenarnya cintamu yang tak pernah kausadari. Cinta bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan sebab cinta adalah anugerah. ~ From Indonesian Lawak Club.


Kalau menurutku, ketika kamu menghitung cintamu padanya, apa saja yang telah kamu berikan padanya, dan seberapa besar pengorbananmu, artinya kamu tak benar-benar mencintainya. Bila cinta adalah anugerah maka buahnya adalah keikhlasan. Sedangkan keikhlasan tak akan pernah kau sadari, termasuk yang kamu katakan sebagai: pengorbanan.

Minggu, 16 Maret 2014

Postmodernisme


Akan ada saatnya manakala cinta disebut sebagai sesuatu yang sama sekali tak terdefinisi, termasuk pada siapa kita bisa jatuh cinta? Atau bisa jadi pada apa kita akan jatuh cinta. Saat teknologi merajai kehidupan kita, akan ada saatnya seseorang yang menikah dengan robot, laptop atau gadget yang lainnya.

Pada era postmodern ini bukankah semuanya berubah? Bisakah kau jelaskan siapa kekasihmu? Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menikmati kehidupan nyata, dibanding mengunggah foto di instagram? Bila teknologi tak secanggih sekarang, Theodore tak akan jatuh cinta pada Samantha yang sebuah program komputer. Tatkala cinta tak terdefinisi secara pasti, betapa Theodore mencintai Samantha yang seolah-olah begitu mengertinya, begitu menerimanya apa adanya. Ketika itulah sisi manusiawi akan tergantikan oleh teknologi. Bisa jadi manusialah yang sebenarnya menjadikan setan masuk neraka. Saat itulah kita juga tak bisa mendefinisikan bagaimana sakit jiwa itu.

Ya, pada era postmodernisme ini segalanya berubah. Menikah bisa dilakukan via skype, rumah tangga pun bisa dilakukan jarak jauh. Mengertilah wahai engkau, pada era ini cinta bukanlah sebuah kewajiban. Sebab, ketika kau memberi paksaan pada orang lain seolah-olah kau adalah monster baginya, bukan lagi kekasih. Contoh paling sederhana adalah: “Ketika saya tidak menghubungimu untuk urusan yang remeh, semisal menanyakan sudah makan atau belum, pertanyaan basi yang terlontar tapi tak berkonteks, bukan berarti aku tak mencintaimu. Mengertilah, pada era postmodern ini setiap orang bebas sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkin cinta bukan lagi harga mati.”

Minggu, 02 Maret 2014

Tentang Pencarian Jati Diri



“Saya pernah hampir gila waktu mempelajari hal ini,” kata seorang ustaz yang belajar ilmu filsafat islam sampai jenjang doktoral. Pernyataan itulah yang terus menghantuiku, bahkan sampai terlintas pemikiran bodoh, “Opo aku kudu edan sik ben nemu sopo aku? Opo agamaku?”

Obrolanku semalam via BBM dengan sahabatku, Yosnia, tentang makna Islam, Islami, keislam-islaman, dan keislaman pun yang masih terbayang-bayang sampai saat ini. Apakah Islam sama dengan Islami? Samakah dengan keislam-islaman dan keislaman? Bagaimana hakikatnya? Lalu, “Apakah kau menganut agama? Memeluk agama? Atau bersetubuh dengan agamamu?”

Pengajian tadi pagi di TK ABA juga membuatku semakin dalam memikirkan tentang teka-teki ini. Ada tiga hal yang diberantas Akhmad Dahlan dalam perjuangannya yakni taqlid, bid’ah, dan khufarat. Islam tidak menganut paham tahayul atau hal-hal yang mengultuskan suatu hal selain Allah. Islam tidak mengajarkan tentang perhitungan pernikahan, ramalan, dan hal-hal yang mengarah pada kesyirikan.

Jumat, 28 Februari 2014

I am Happy to be a Teacher

Ungaran, tahun 2011.
“Bagus sekali musikalisasi puisinya Nak, Ibu sampai menangis terharu,” kata seorang guru sambil memeluk gadis kecil itu seusai menyajikan musikalisasi puisi berjudul ‘Bunda’.
Sajian musikalisasi puisi itu sempat menghipnotis pergelaran pada siang hari itu. Diawali dengan alunan musik ‘Bunda’ milik Melly Goeslow, lalu dipadukan dengan harmoni paduan suara dan deklamasi yang sangat menyentuh. Saya pun sampai tersihir. Saya hanya berdiri di barisan paling belakang lalu ikut bertepuk tangan riuh ketika anak-anak itu turun panggung.
Sungguh saat itu pujian bergemuruh di sekitar telinga saya, ya tidak lain mereka memuji pementasan musikalisasi pusi tadi.
Bukan guru atau pelatihnya.
Di situlah saya yang waktu itu menjadi guru praktikan di SMP diberi banyak kesempatan untuk memahami makna seorang guru. Menjadi seorang guru berarti belajar keikhlasan, seperti halnya semut hitam kecil di atas batu yang legam. Seorang guru tidak akan iri ketika muridnya melampaui dirinya, bahkan itulah indikator kesuksesan baginya.

Dalam hidup ini setiap orang berhak bermimpi atau bercita-cita kemudian ia memutuskan bahwa ia akan berjuang demi mimpinya atau mengalah pada realita. Kata Dewi Lestari, “Menyerah dan realistis beda tipis”. Tidak hanya satu atau dua orang, tapi sudah tak terhitung Sarjana Pendidikan yang menyerah pada realita. Hanya soal keputusan.

Mengajar bukan perkara mudah yang hanya bisa diselesaikan di atas meja dengan tumpukan berkas-berkas. Mengajar pun bukan profesi yang selesai pada jam kerja saja. Mengajar juga ‘memaksa’ guru untuk terus belajar. Sebab, ada karakter yang harus dibangun, yang tak hanya transfer of knowledge tapi juga transfer of thinking, transfer of method, dan yang terpenting adalah transfer of value. 

Selasa, 25 Februari 2014

Arti Kerinduan


“Kredibilitas label halal dipertanyakan”. Kabar itu yang menyeruak akhir-akhir ini. Aku tidak akan membicarakan tentang MUI, tapi aku jadi teringat quote yang ditulis kawan saya, “Halal is a must, not just about what we eat, but also what we wear, and what we love.”
Haruskah label halal pada hati juga mesti dipertanyakan?
Haruskah hilang prinsip hanya karena tak tahan didera cobaan?

Hidup dalam kesederhanaan dan perjuangan mungkin sudah menjadi pilihan hidupku saat ini, termasuk memilih untuk tidak egois pada perasaanku sendiri. Menyimpan kerinduan hanya sebatas sesuatu yang indah dan aku rasakan sendiri, mungkin itu yang terbaik saat ini.

Meskipun jatuh cinta, kita tetap harus menyerahkan hati kita pada Allah. Sebab, kerinduan yang terjalin kepada seseorang yang belum halal hanya akan menghadirkan kepalsuan dan kekecewaan.

Tahukah kau bahwa Rasulullah pernah menahan lapar seharian demi membahagiakan Aisyah? Tahukan kau Rasulullah pernah berjuang begitu keras demi Kahdijah yang seorang konglomerat? Bukankah segalanya butuh persiapan matang? Meskipun sudah dijamin Allah pada An Nur : 32.

Senin, 10 Februari 2014

Untuk Suamiku (Kelak)

Wahai separuh jiwaku, semoga engkau selalu berada dalam lindungan Tuhan. Bila Tuhan menghendakiku untuk bersujud kepadamu, sungguh engkaulah jembatan surgaku. Kita mesti pahami bersama bahwa kita sudah bersepakat untuk membangun rumah di dunia dan juga di akhirat. Artinya, kita harus konsisten untuk menjalani hidup sebagai ibadah.
Suamiku, bukankah dulu sebelum menikah aku sudah pernah berkata kepadamu bahwa masa depan kita masih suci, tak perlu kau risaukan masa lalu kita. kita akan sama-sama membuka lembaran putih lalu menggoreskan lembaran itu dengan pena kesakinahan. Aku juga sudah jelaskan bahwa aku tak terlalu pandai di dapur, tak terlalu pandai mengatur keuangan, dan mungkin tak bisa selalu berada di rumah. Banyak yang mengira bahwa aku seorang perempuan yang career oriented, tapi kau tak peduli. Kau bilang padaku bahwa kau tahu tujuanku bekerja adalah untuk beribadah. Sungguh aku sangat terharu atas segala kemaklumanmu kepadamu. Katamu waktu itu, “Cinta itu sederhana.”
Tak perlu jadi orang paling kaya, kau juga tak perlu jadi presiden untuk membuatku bahagia. Aku hanya ingin kita membangun keluarga yang penuh dengan kebarokahan. Kita akan hidup bersama selamanya. Setelah orang tuaku melepasku kepadamu, ketakzimanku sepenuhnya kupersembahkan padamu. Ketika subuh, magrib, dan isya kita akan salat berjamaah dan bersalaman setelah salam. Kucium tanganmu, mengharap ampunanmu pada setiap kekuranganku, dan kau kecup keningku dengan mesra. Sembari menunggu isya, kau buka kitab suci dan membacanya bersama-sama denganku.
Bila ada rezeki berlebih kita akan kunjungi tanah suci bersama. Kita akan melingkari rumah Allah dengan memanjatkan doa keselamatan untuk keluarga kita. Di tanah suci kita mengkhatamkan Quran dan bersujud di depan ka’bah. Semoga kita juga bisa mengajak orang tua kita.

Menjelang 24

“Kapan menikah?” sepertinya jadi pertanyaan yang lazim terucap pada perempuan usia di atas 23. Setahuku di Indonesia, apalagi di Jawa usia 23 sampai 25 adalah usia yang paling banyak dipilih perempuan untuk menikah. Mengapa?
Mungkin pertimbangan yang utama adalah faktor produktivitas biologis, budaya, dan agama. Faktor produktivitas biologis mungkin jadi faktor yang seolah-olah terlihat paling mendesak, aku pernah dengar kalau perempuan dianjurkan untuk tidak melahirkan pada usia lebih dari 35 tahun. Kalau dilihat dari faktor budaya, ini juga dipengaruhi oleh faktor yang pertama tadi. Aku lebih menganggap faktor ini merujuk pada beban sosial, perempuan yang berusia lebih dari 30 dan belum menikah maka cap “Perawan tua” akan menancap pada dirinya, siapa yang tak sedih? Faktor yang terakhir adalah agama. Sebenarnya agama seharusnya menjadi yang nomor satu, tapi entahlah, jarang sekali ada yang menggunakan alasan ini pada kasus “Mendesaknya pernikahan”.
Suatu sore kudengar seorang ibu menelepon anak perempuannya, “Ibarat bunga, perempuan yang berusia lebih dari 25 tahun sudah menjadi bunga yang layu, mana ada kumbang yang mau hinggap.”
Gadis itu terdiam.
“Ingat, kamu sudah hampir 24. Besok kamu berkenalan dengan seorang pria, dia……”
Gadis itu tetap terdiam, dia pun tersenyum. Sesaat kemudian setelah menutup teleponnya, tangisnya pecah, pikirannya menjelajah pada suatu hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, perjodohan.

Jumat, 10 Januari 2014

Cinta Itu Bagai Mencari Fosil Dinosaurus


Sumber

“Mei, mengajak perempuan makan di warteg tidak akan bikin dia jatuh cinta. Kamu tahu, cinta itu hanya ada di negeri dongeng, di dunia nyata yang ada hanya ongkos! Bangun Mei…..” kata seorang kawan pada saya. “Cinta tidak bakal bisa buat bayar cicilan rumah,” lanjutnya.
“Sekejam itukah dunia? Apakah benar saya makhluk negeri dongeng yang tersesat di dunia nyata?”
“Meina, tidak usah lagi kamu terheran-heran mendengar cerita teman-temanmu yang baru saja membeli tas seharga dua juta dan mereka bahagia.”
“Tapi tas saya seharga enampuluh ribu, saya juga bahagia.”
Murah sekali kamu Meina. Yakin kamu akan tenggelam dalam kebodohan ini di saat teman-temanmu mulai realistis?”
“Saya bodoh dan tidak realistis? Saya bahagia ketika diajak makan oleh orang yang saya cintai, meskipun itu di tempat yang sangat sederhana dengan lauk yang sederhana. Saya sangat menikmatinya.”
“Mungkin saja. Tapi itu sekarang kan? Tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu sudah tahu, seberapa mahalnya biaya masuk sekolah anakmu kelak.”
“Oh ya? Beasiswa masih banyak.”
“Hahaha, dasar alien.”
“Alien?”
“Emmm bisa jadi kamu itu semacam alien, dan kita adalah manusia. Mendambakan cinta dan kehidupan yang tulus, adalah omong kosong. Bisa jadi cinta semacam Dinosaurus. Konon, dahulu negeri ini adalah negeri dongeng yang dihuni alien macam kamu, dengan cinta sebagai hal yang paling mulia. Setelah datang manusia, mereka menjajah negeri dongeng dan cinta pun punah seperti Dinosaurus. Negeri dongeng sudah hilang, dan sekarang dunia berubah jadi dunia nyata yang dihuni manusia. Memang saya tidak yakin masih ada cinta yang baik di dunia ini, tapi saya percaya bahwa masih banyak laki-laki dan perempuan yang baik di sini, tenang saja Mei, kamu nggak sepenuhnya salah, hahaha,” sambungnya.

Kamis, 02 Januari 2014

Berserah

Ketika aku gantungkan puncak harapanku pada-Nya, aku tambatkan cinta pada-Nya, bahkan semua urusanku pada-Nya. Bukan, bukan sebab aku egois tak mau menanggung urusanku sendiri tapi aku yakin itulah bukti cintaku pada-Nya. Ada hal yang tidak bisa kita selesaikan dengan menguras pikiran kita, menggerakan tangan kita, mengayunkan kaki kita, dan memeras keringat kita. Hal yang tak bisa disentuh oleh manusia, hal yang sangat mendalam dan hakiki : cinta. Ya, itulah anugerah terindah dari-Nya. Tak bisa direkayasa, apalagi dipaksa.
Entah kenapa hari itu terasa sangat indah. Langit pagi itu tetap sama, berwarna biru, bukan merah muda laksana orang jatuh cinta. Jalanan di Jakarta kala itu tetap sama, seperti yang biasa aku lihat di televisi, tidak tergelar karpet merah. Gedung-gedung pencakar langit pun tak ada yang beda, masih terlihat jemawa dan kapitalis. Perspektif dan subjektivitaskulah yang membuatnya sangat indah. Pagi itulah yang membuatku belajar tentang makna “berserah”, bukan “menyerah”.
Lelaki yang datang dengan rambut tak bersisir dan rela menuntun sepeda motorku saat ban motorku bocorlah yang sebenarnya kucari, bukan lelaki maha sempurna. Lelaki yang mengirimiku surat via pos ketika aku berulangtahunlah yang kutunggu, bukan lelaki yang memberiku barang-barang mahal tapi tak bermakna. Sebab, setiap keputusan harus beralasan, dan alasan tentu punya dasar; pertimbangan; sudut pandang. Dan, sayangnya kadang hal itu berlaku secara subjektif dan asumtif.