“Bu Prapti”,
begitulah saya menyapa Dra. Suprapti, M.Pd., sosok yang saya kenal sejak tujuh
tahun silam tepatnya tahun 2008. “Galak dan disiplin”, itulah kesan (waktu itu)
dalam benak saya ketika kali pertama menjadi mahasiswa beliau. Masih begitu
saya ingat, ‘Meina Mahasiswa Baru’ duduk di kursi paling belakang karena takut
“ditunjuk” menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada mata kuliah Linguistik
Umum. Ketakutan dan isu kakak kelas tentang betapa susahnya mata kuliah
linguistiklah yang menjadi salah satu penyebab saya “merinding” ketika diajar
beliau.
Ketika saya memasuki semester enam, Bu Prapti
kembali mengajar saya pada mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa.
“Hai kamu yang duduk di belakang sendiri,” kata beliau sambil menunjuk
saya.
“Iya Bu,” jawab saya.
“Nah itu contohnya, ‘duduk di belakang sendiri’ merupakan ungkapan
yang terinferensi oleh bahasa daerah yaitu bahasa Jawa, ‘lungguh mburi dhewe’
maksudnya duduk paling belakang, begitu kan Mbak?”
“Padahal saya tidak duduk sendirian ya Bu,” celetuk saya.
“Beda lagi kalau saya katakan, ‘Mahasiswa dilarang berbicara sendiri
ketika perkuliahan’ itu pasti ada mitra tuturnya, kalau berbicara sendiri malah
bahaya,” canda beliau.
Segmen perkuliahan itu yang mengubah pandangan
saya tentang Bu Prapti, tak ada lagi kesan “galak” dalam benak saya, hingga
akhirnya saya tahu bahwa beliau merupakan sosok yang disiplin dan disegani.
Memasuki semester tujuh, saya kembali ‘ngangsu
kawruh’ pada beliau sebagai mahasiswa PPL. Itu adalah kesempatan besar bagi
saya untuk banyak-banyak bertanya pada beliau tentang bahasa, pendidikan, dan
pendidikan bahasa dalam ranah paradigma, konsep, maupun praktik. Sebagai dosen
senior, jawaban Bu Prapti sangatlah cerdas dan taktis. Bahkan beliau tidak
segan memberikan tips dan trik menjadi seorang guru yang baik dan berkualitas
secara akademik, paedagogik, psikologis, serta sosial.