Ketika aku punya seseorang yang aku kagumi dan menganggap
ia baik lalu aku jadikan ia teladan serta kugantungkan harapan padanya. Serupa
mawar yang indah, ia tetaplah berduri, serupa manusia biasa ia juga punya cela.
Tatkala panas setahun hilang diguyur hujan sehari. Persis seperti susu
sebelanga ternoda setitik nila. Hanya kecewa yang aku dapat.
Pemikiran itu berganti pada anggapan tak mau lagi
bergantung pada orang lain, mungkin hanya diri sendiri yang pantas diandalkan.
Bukan merasa damai, justru hati ingin mengalahkan diri sendiri. Jiwa persaingan
memuncak rasanya ingin jadi nomor satu. Padahal tak perlu selalu jadi nomor
satu untuk bahagia. Rupanya Aristoteles benar, bahwa manusia adalah makhluk
sosial. Lagi-lagi pemikiran ini tak begitu selaras.
Gontai
sudah langkah hati, tak adakah yang bisa aku andalkan, bahkan alam semesta? Pagi
itu Semarang diguyur hujan lebat, padahal sudah bulan Juni, seharusnya sudah
masuk kemarau. Hati mengaduh tak karuan, apalagi tak bisa berangkat kerja karena
hujan yang mengguyur atau cucian yang tak kering, bahkan cuaca yang tiba-tiba
berganti panas membara. Lagi-lagi aku salahkan alam, salahkan langit, salahkan
siapa saja yang mencipratiku genangan air ketika sedang berjalan kaki.
Menyalahkan apa pun yang aku kira membuatku merasa selalu benar. Rupanya
sungguh sangat melelahkan. Menganggap yang lain selalu salah, dan diri sendiri
yang jelas benar.