Senin, 10 Juni 2013

Terlalu Lelah



Ketika aku punya seseorang yang aku kagumi dan menganggap ia baik lalu aku jadikan ia teladan serta kugantungkan harapan padanya. Serupa mawar yang indah, ia tetaplah berduri, serupa manusia biasa ia juga punya cela. Tatkala panas setahun hilang diguyur hujan sehari. Persis seperti susu sebelanga ternoda setitik nila. Hanya kecewa yang aku dapat.
Pemikiran itu berganti pada anggapan tak mau lagi bergantung pada orang lain, mungkin hanya diri sendiri yang pantas diandalkan. Bukan merasa damai, justru hati ingin mengalahkan diri sendiri. Jiwa persaingan memuncak rasanya ingin jadi nomor satu. Padahal tak perlu selalu jadi nomor satu untuk bahagia. Rupanya Aristoteles benar, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Lagi-lagi pemikiran ini tak begitu selaras.
 Gontai sudah langkah hati, tak adakah yang bisa aku andalkan, bahkan alam semesta? Pagi itu Semarang diguyur hujan lebat, padahal sudah bulan Juni, seharusnya sudah masuk kemarau. Hati mengaduh tak karuan, apalagi tak bisa berangkat kerja karena hujan yang mengguyur atau cucian yang tak kering, bahkan cuaca yang tiba-tiba berganti panas membara. Lagi-lagi aku salahkan alam, salahkan langit, salahkan siapa saja yang mencipratiku genangan air ketika sedang berjalan kaki. Menyalahkan apa pun yang aku kira membuatku merasa selalu benar. Rupanya sungguh sangat melelahkan. Menganggap yang lain selalu salah, dan diri sendiri yang jelas benar.
Lantas pada siapa semestinya hati bergantung? Rupanya ada dzat yang tak pernah membuat kita kecewa, Dia-lah Tuhan, yang membuat panas ini menyadarkanku betapa beruntungnya saya dibanding mereka yang terkena musibah banjir, yang membuat aku tahu hujan adalah berkah bagi penjual jas hujan. Hanya Tuhan yang membuatku tahu betapa indahnya teka-teki kehidupan. Hanya Dia yang tak pernah membuat kita lelah untuk berharap. Mengutip kata Tere Liye, “daun yang jatuh tak pernah membenci angin.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar