Apa esensi “sumarah” “tawakal” dan “kenapa kita harus berserah”? Sudah enam bulan aku memikirkan hal ini. Beberapa referensi aku coba pahami mulai dari buku Kejawen, pemahaman Siddharta, sampai pada buku-buku Islam ala Aa Gym dan Yusuf Mansur. Semua mengatakan bahwa, jalan menuju kedamaian hidup adalah keberterimaan, kepasrahan, dan menjalani semua dengan kesabaran.
“Kenapa?” tanyaku dalam hati. “Mengapa justru ketika kita tak merelakan harapan kita justru kita akan memahami betul hakikat memiliki?” Bahkan aku masih bertanya-tanya mengenai nasihat seniorku di kantor. “Meina, bila kau menjatuhkan hati pada seseorang. Lepaskanlah. Bila ia jodohmu maka ia akan kembali kepadamu.” Diktum “romo” itulah yang selalu menjadi tanda tanya besar hingga malam ini akhirnya aku menemukan cahaya penerang.
Analoginya hampir sama dengan kejadian dua tahun yang lalu ketika aku selalu mengalah pada teman-temanku yang mendaftar pekerjaan sebagai guru les, ketika aku mengalah tak mengajukan beasiswa, atau harapan dan kesempatan lain yang rela kau bakar lalu abunya kau biarkan terbawa angin tak bersisa. Kita tak pernah tahu sebelum akhirnya langkah-langkah kecil kita sampai pada suatu titik yang mana akhirnya aku menyadari bahwa aku sudah mendapatkan jauh yang lebih besar dari apa yang sudah aku relakan itu. Menjadi dosen mungkin sebuah hadiah Tuhan dari kerelaan melepaskan kesempatan menjadi guru les. Bukan, bukan maksudku merendahkan guru les dan menganggap dosen adalah hal yang lebih prestisius, kenapa?