Guru besar adalah sebuah puncak karier dan derajat tertinggi bagi
seorang dosen. Apa lagi yang diharapkan seorang dosen, selain penghargaan atas
keilmuan yang dimiliki. Waktu itu, Selasa, 24 Maret 2015 aku menghadiri
pengukuhan guru besar kedua dosen pembimbingku. Prof Subyantoro sebagai
profesor bidang psikolinguistik dan Prof Teguh Supriyanto sebagai profesor ilmu
susastra. Hari itu adalah pengalaman pertamaku menghadiri pengukuhan guru
besar. Dalam benakku kala itu, “hari ini pasti mengesankan”. Hal itu pun benar
terjadi.
Agenda pengukuhan guru besar biasanya dirangkai mulai dari senat yang
memasuki ruangan, pembacaan biodata calon guru besar, orasi ilmiah, penyampaian
ucapan terima kasih, dan pelantikan oleh rektor. Bagian yang paling mengesankan
bagiku justru penyampaian ucapan terima kasih.
Prof Teguh dan Prof Subyantoro adalah dua orang yang sangat berperan
pada pencapaian karier dan akademikku. Semoga keberkahan selalu menyertai
mereka.
Pros Subyantoro sudah aku anggap tidak sekadar guru bagiku tapi
seperti seorang bapak, bahkan saya mengenal istri beliau dengan baik. Beliau adalah
dosen pembimbing skripsi dan tesisku. Hampir semua pemikiranku terinspirasi
oleh beliau. Menurutku beliau adalah orang yang sangat logis, tapi berhati
lembut. Di balik penampilan beliau yang semi-militer, ya maklum sampai saat ini
beliau masih menjadi pembina Resimen Mahasiswa di Unnes, beliau memiliki jiwa
kebapakan yang sangat tinggi. Ah, subhanallah.
Beliau pernah bercerita tentang kehidupannya, beliau adalah anak seorang TNI
dan guru SD. Beginilah kutipan pidato guru besar beliau:
“Pada kesempatan yang mulia ini, izinkan saya mengenang segala jasa
Ayahanda dan Ibunda saya, almarhum H. Soepardi bin Sawirejo dan Ibunda saya,
almarhumah Hj. R. Samsini binti Yoso Wardoyo yang telah mengasuh, membimbing,
dan memberikan tauladan akhlaqul karimah hingga
saya menjalani kehidupan yang sekarang ini. Beliau telah memberikan penggalan
masa kecil yang sangat menyenangkan untuk anak-anaknya. Saya teringat tatkala
saya lulus SMP pada tahun 1983, Ibunda yang seorang Kepala SD, meminta kepada
saya untuk mendaftar SPG yang sama sekali tidak saya bayangkan akan menjadi apa
saya kelak. Tidak terbesit sedikit pun cita-cita untuk menjadi guru. Hanya kepatuhan
seorang anak kepada ibundanya saja yang mengharuskan saya untuk tidak membantah
waktu itu. Rupa-rupanya setelah berselang 32 tahun, anakmu ini baru menyadari
cakrawala panjang yang ibunda harapkan. Ibunda pula yang membangkitkan semangat
untuk belajar saat itu. Dengan membonceng sepeda saat berangkat sekolah, Ibunda
selalu bertanya ana ulangan apa mengko le
dan tatkala pulang sekolah Ibunda selalu bertanya mau isa nggarap ulanganmu? Rasa malulah yang membuat saya harus
semakin rajin belajar, saya tidak mau mengecewakan beliau.....”
(Sebentar, saya sampai menitikkan air mata saat menulis kutipan ini).
Selanjutnya, Prof Teguh Supriyanto. Beliau adalah seorang profesor
yang sangat-sangat-sangat (saya ulangi sebanyak tiga kali) bersahaja. Saya akan
selalu ingat sebuah kejadian saat saya sedang menulis skripsi tahun 2012 dan
duduk di depan kantor dosen Bahasa Jawa, seorang dosen senior lewat dan
menanyai saya. Saat pembicaraan mengalir, akhirnya kami sama-sama tahu kalau
kami berasal dari daerah yang sama: Ajibarang. Komunikasi pun berlangsung,
beliau juga-lah yang mendorong saya melanjutkan study S-2 dan setelah saya
mengajar di Unnes pun beliau adalah orang yang mendorong saya untuk rajin
membaca, menulis, dan meneliti.
Hampir sama seperti kejadian tahun 2012, ketika bulan Maret kemarin,
dua minggu sebelum pelantikan beliau, saya menghubungi beliau untuk
menandatangani pengesahan tesis saya. Mulanya kami berjanji untuk bertemu di
gedung UKM Jawa, karena menunggu beliau yang belum datang, saya pun sarapan di
warung Burjo. Saya tak meninggalkan pesan kepada beliau kecuali saya sedang
menunggu di gedung UKM. Entah tahu dari mana, beliau tiba-tiba sudah hadir di
depan saya, ketika saya membuka mulut untuk menyantap mie instan. Beliau duduk
di samping saya dan memesan menu yang sama. Pagi itu, saya makan mie instan
bersama seorang profesor.
Prof Teguh adalah seorang senior yang sangat peduli terhadap newbie macam saya. Saat ini, beliau
sedang gencar mendorong saya untuk kembali melanjutkan study (nanti dulu deh
Pak, hehe). Prof Teguh juga seorang putra Banyumas yang sangat senang bila wong Banyumas menjadi orang hebat.
Aaaah, kedua profesor itu memang luar biasa bagiku. Setidaknya,
beliau-beliau itulah yang membangkitkan semangat dan ambisi-ambisi saya yang
kian pudar. Masih banyak impian yang bisa diraih. Bukan...bukan untuk sebuah
obsesi tetapi untuk sebuah kebermanfaatan. Bukan untuk diri sendiri, melainkan
untuk keluarga dan orang-orang terdekat.
Ketika pengukuhan guru besar tersebut, tak ada satu pun orang tua yang
menyaksikan anaknya dikukuhkan pada derajat tertinggi seorang dosen. Saya
berdoa, semoga saya bisa meraih mimpi saya, semoga orang tua saya sehat selalu,
semoga saya bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, keluarga, dan
orang-orang terdekat saya.
Kusuma, 10 April 2015
Dreams catcher
Tidak ada komentar:
Posting Komentar