Jumat, 10 April 2015

Menjadi Guru Besar


Guru besar adalah sebuah puncak karier dan derajat tertinggi bagi seorang dosen. Apa lagi yang diharapkan seorang dosen, selain penghargaan atas keilmuan yang dimiliki. Waktu itu, Selasa, 24 Maret 2015 aku menghadiri pengukuhan guru besar kedua dosen pembimbingku. Prof Subyantoro sebagai profesor bidang psikolinguistik dan Prof Teguh Supriyanto sebagai profesor ilmu susastra. Hari itu adalah pengalaman pertamaku menghadiri pengukuhan guru besar. Dalam benakku kala itu, “hari ini pasti mengesankan”. Hal itu pun benar terjadi.

Agenda pengukuhan guru besar biasanya dirangkai mulai dari senat yang memasuki ruangan, pembacaan biodata calon guru besar, orasi ilmiah, penyampaian ucapan terima kasih, dan pelantikan oleh rektor. Bagian yang paling mengesankan bagiku justru penyampaian ucapan terima kasih.

Prof Teguh dan Prof Subyantoro adalah dua orang yang sangat berperan pada pencapaian karier dan akademikku. Semoga keberkahan selalu menyertai mereka.

Pros Subyantoro sudah aku anggap tidak sekadar guru bagiku tapi seperti seorang bapak, bahkan saya mengenal istri beliau dengan baik. Beliau adalah dosen pembimbing skripsi dan tesisku. Hampir semua pemikiranku terinspirasi oleh beliau. Menurutku beliau adalah orang yang sangat logis, tapi berhati lembut. Di balik penampilan beliau yang semi-militer, ya maklum sampai saat ini beliau masih menjadi pembina Resimen Mahasiswa di Unnes, beliau memiliki jiwa kebapakan yang sangat tinggi. Ah, subhanallah. Beliau pernah bercerita tentang kehidupannya, beliau adalah anak seorang TNI dan guru SD. Beginilah kutipan pidato guru besar beliau:

“Pada kesempatan yang mulia ini, izinkan saya mengenang segala jasa Ayahanda dan Ibunda saya, almarhum H. Soepardi bin Sawirejo dan Ibunda saya, almarhumah Hj. R. Samsini binti Yoso Wardoyo yang telah mengasuh, membimbing, dan memberikan tauladan akhlaqul karimah hingga saya menjalani kehidupan yang sekarang ini. Beliau telah memberikan penggalan masa kecil yang sangat menyenangkan untuk anak-anaknya. Saya teringat tatkala saya lulus SMP pada tahun 1983, Ibunda yang seorang Kepala SD, meminta kepada saya untuk mendaftar SPG yang sama sekali tidak saya bayangkan akan menjadi apa saya kelak. Tidak terbesit sedikit pun cita-cita untuk menjadi guru. Hanya kepatuhan seorang anak kepada ibundanya saja yang mengharuskan saya untuk tidak membantah waktu itu. Rupa-rupanya setelah berselang 32 tahun, anakmu ini baru menyadari cakrawala panjang yang ibunda harapkan. Ibunda pula yang membangkitkan semangat untuk belajar saat itu. Dengan membonceng sepeda saat berangkat sekolah, Ibunda selalu bertanya ana ulangan apa mengko le dan tatkala pulang sekolah Ibunda selalu bertanya mau isa nggarap ulanganmu? Rasa malulah yang membuat saya harus semakin rajin belajar, saya tidak mau mengecewakan beliau.....”

(Sebentar, saya sampai menitikkan air mata saat menulis kutipan ini).

Selanjutnya, Prof Teguh Supriyanto. Beliau adalah seorang profesor yang sangat-sangat-sangat (saya ulangi sebanyak tiga kali) bersahaja. Saya akan selalu ingat sebuah kejadian saat saya sedang menulis skripsi tahun 2012 dan duduk di depan kantor dosen Bahasa Jawa, seorang dosen senior lewat dan menanyai saya. Saat pembicaraan mengalir, akhirnya kami sama-sama tahu kalau kami berasal dari daerah yang sama: Ajibarang. Komunikasi pun berlangsung, beliau juga-lah yang mendorong saya melanjutkan study S-2 dan setelah saya mengajar di Unnes pun beliau adalah orang yang mendorong saya untuk rajin membaca, menulis, dan meneliti.

Hampir sama seperti kejadian tahun 2012, ketika bulan Maret kemarin, dua minggu sebelum pelantikan beliau, saya menghubungi beliau untuk menandatangani pengesahan tesis saya. Mulanya kami berjanji untuk bertemu di gedung UKM Jawa, karena menunggu beliau yang belum datang, saya pun sarapan di warung Burjo. Saya tak meninggalkan pesan kepada beliau kecuali saya sedang menunggu di gedung UKM. Entah tahu dari mana, beliau tiba-tiba sudah hadir di depan saya, ketika saya membuka mulut untuk menyantap mie instan. Beliau duduk di samping saya dan memesan menu yang sama. Pagi itu, saya makan mie instan bersama seorang profesor.

Prof Teguh adalah seorang senior yang sangat peduli terhadap newbie macam saya. Saat ini, beliau sedang gencar mendorong saya untuk kembali melanjutkan study (nanti dulu deh Pak, hehe). Prof Teguh juga seorang putra Banyumas yang sangat senang bila wong Banyumas menjadi orang hebat.

Aaaah, kedua profesor itu memang luar biasa bagiku. Setidaknya, beliau-beliau itulah yang membangkitkan semangat dan ambisi-ambisi saya yang kian pudar. Masih banyak impian yang bisa diraih. Bukan...bukan untuk sebuah obsesi tetapi untuk sebuah kebermanfaatan. Bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk keluarga dan orang-orang terdekat.

Ketika pengukuhan guru besar tersebut, tak ada satu pun orang tua yang menyaksikan anaknya dikukuhkan pada derajat tertinggi seorang dosen. Saya berdoa, semoga saya bisa meraih mimpi saya, semoga orang tua saya sehat selalu, semoga saya bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua, keluarga, dan orang-orang terdekat saya.


Kusuma, 10 April 2015
Dreams catcher

Tidak ada komentar:

Posting Komentar