Sumber |
Dua minggu yang lalu, saya diminta untuk menjadi juri lomba mendongeng
bagi siswa SMA se-Kota Semarang. Peserta lomba hanya 16 siswa yang merupakan
perwakilan dari sekolah masing-masing. Mereka
unjuk gigi dengan menyajikan dongeng nusantara sesuai pilihannya. Dari 16
peserta rupanya dongeng yang paling populer yakni dongeng Malin Kundang. Malin
Kundang menjadi dongeng yang dipilih oleh empat siswa alias 25% dari jumlah
peserta.
Menikmati dongeng yang sama yang disajikan oleh orang yang berbeda sungguh
sangat mengasyikan. Kita bisa mengetahui kemampuan para siswa dalam
berimprovisasi. Saya kira improvisasi dalam pertunjukan mendongeng itu justru
menjadi salah satu daya tarik pertunjukan dongeng. Pendongeng bisa memberikan
penegasan pada segmen-segmen tertentu dalam dongeng. Misalnya, pada dongeng
Malin Kundang pendongeng bisa memberikan penegasan dengan memperagakan adegan
si Malin yang sedang meminta restu ibu untuk merantau. Penegasan-penegasan itu
bisa kita sebut sebagai bagian improvisasi yang bisa ‘mengaduk-aduk’ hati
penikmat dongeng, dan akhirnya menjadi identitas pertunjukan dongeng.
Lain lagi dengan peserta lomba yang terakhir. Dia menyajikan dongeng
yang paling populer yakni Malin Kundang. Mungkin maksud hati ingin berimprovisasi
tapi jadinya malah mengubah esensi cerita. Setahu saya improvisasi itu tidak
boleh mengubah esensi cerita, apalagi Malin Kundang sebagai salah satu dongeng
tradisional yang mungkin memiliki tujuan tertentu pada penciptaannya. Tentu bahasan
ini tidak terkait dengan dongeng yang sengaja didekonstruksi seperti yang
dilakukan Sapardi Djoko Damono dalam buku “Pada Suatu Hari” dan “Malam Wabah”. Peserta
terakhir menceritakan Malin Kudang dengan kejenakaannya. Cerita bermula dari
Malin yang berpamitan pada sang ibu untuk merantau ke kota. Setelah berada di
kota, Malin bertemu dengan seorang gadis yang merupakan anak saudagar yang kaya
raya. Adegan pertemuan itu divisualisasikan dengan adegan Malin yang menolong
si gadis dari pencopet, FTV banget dan saya sangat terhibur hehe... Cerita lalu
berlanjut pada pernikahan Malin dengan sang gadis. Pernikahan itulah yang
akhirnya membuat Malin jadi saudagar kaya.
Lewat cerita siswa tersebut saya kemudian mbatin, “Apakah selama ini pemahaman saya yang keliru? Saya kira
Malin menjadi saudagar kaya karena sebelumnya ia juga bekerja keras.” Hmmm ngomong-ngomong, setelah saya
ingat-ingat banyak juga dongeng yang intinya menjadi kaya gara-gara menikah
dengan anak orang kaya, bukan karena bekerja. Yeah memang sih cerita tidak harus berisi hal yang sangat ideal
semua, tapi saya rasa ada sesuatu yang perlu dibenahi, apalagi bila cerita
tersebut tidak didampingi penjelasan untuk memberikan pemahaman mengenai esensi
cerita.
*Yang bener, cerita Malin
Kundang itu gimana sih?
Pertanyaannya adalah, apakah si pendongeng FTV itu menang? #gagalfokus
BalasHapustapi ya min, dalam kehidupan nyata (bukan panggung) begitu punya anak aku brasa sangat cemen dalam hal mendongeng..
BalasHapussering dicuekin! kirain udah menarik dan penuh tehnik ya tapi ternyata masih kuraaang aaaaarrghhh!
tapi sekalinya sukses ndongeng dan anak bahagia maka dia akan minta diceritakan cerita yang sama berkali kali kali kali kali, otomatis sebagai emak yang baik dan kreatif *uhuyyy* harus bisa menceritakan cerita yang sama dengan cara yang berbeda-beda..