Minggu, 24 Mei 2015

Malin Kundang


Sumber


Dua minggu yang lalu, saya diminta untuk menjadi juri lomba mendongeng bagi siswa SMA se-Kota Semarang. Peserta lomba hanya 16 siswa yang merupakan perwakilan dari sekolah masing-masing.  Mereka unjuk gigi dengan menyajikan dongeng nusantara sesuai pilihannya. Dari 16 peserta rupanya dongeng yang paling populer yakni dongeng Malin Kundang. Malin Kundang menjadi dongeng yang dipilih oleh empat siswa alias 25% dari jumlah peserta.

Menikmati dongeng yang sama yang disajikan oleh orang yang berbeda sungguh sangat mengasyikan. Kita bisa mengetahui kemampuan para siswa dalam berimprovisasi. Saya kira improvisasi dalam pertunjukan mendongeng itu justru menjadi salah satu daya tarik pertunjukan dongeng. Pendongeng bisa memberikan penegasan pada segmen-segmen tertentu dalam dongeng. Misalnya, pada dongeng Malin Kundang pendongeng bisa memberikan penegasan dengan memperagakan adegan si Malin yang sedang meminta restu ibu untuk merantau. Penegasan-penegasan itu bisa kita sebut sebagai bagian improvisasi yang bisa ‘mengaduk-aduk’ hati penikmat dongeng, dan akhirnya menjadi  identitas pertunjukan dongeng.

Lain lagi dengan peserta lomba yang terakhir. Dia menyajikan dongeng yang paling populer yakni Malin Kundang. Mungkin maksud hati ingin berimprovisasi tapi jadinya malah mengubah esensi cerita. Setahu saya improvisasi itu tidak boleh mengubah esensi cerita, apalagi Malin Kundang sebagai salah satu dongeng tradisional yang mungkin memiliki tujuan tertentu pada penciptaannya. Tentu bahasan ini tidak terkait dengan dongeng yang sengaja didekonstruksi seperti yang dilakukan Sapardi Djoko Damono dalam buku “Pada Suatu Hari” dan “Malam Wabah”. Peserta terakhir menceritakan Malin Kudang dengan kejenakaannya. Cerita bermula dari Malin yang berpamitan pada sang ibu untuk merantau ke kota. Setelah berada di kota, Malin bertemu dengan seorang gadis yang merupakan anak saudagar yang kaya raya. Adegan pertemuan itu divisualisasikan dengan adegan Malin yang menolong si gadis dari pencopet, FTV banget dan saya sangat terhibur hehe... Cerita lalu berlanjut pada pernikahan Malin dengan sang gadis. Pernikahan itulah yang akhirnya membuat Malin jadi saudagar kaya.

Lewat cerita siswa tersebut saya kemudian mbatin, “Apakah selama ini pemahaman saya yang keliru? Saya kira Malin menjadi saudagar kaya karena sebelumnya ia juga bekerja keras.” Hmmm ngomong-ngomong, setelah saya ingat-ingat banyak juga dongeng yang intinya menjadi kaya gara-gara menikah dengan anak orang kaya, bukan karena bekerja. Yeah memang sih cerita tidak harus berisi hal yang sangat ideal semua, tapi saya rasa ada sesuatu yang perlu dibenahi, apalagi bila cerita tersebut tidak didampingi penjelasan untuk memberikan pemahaman mengenai esensi cerita.

*Yang bener, cerita Malin Kundang itu gimana sih?

2 komentar:

  1. Pertanyaannya adalah, apakah si pendongeng FTV itu menang? #gagalfokus

    BalasHapus
  2. tapi ya min, dalam kehidupan nyata (bukan panggung) begitu punya anak aku brasa sangat cemen dalam hal mendongeng..
    sering dicuekin! kirain udah menarik dan penuh tehnik ya tapi ternyata masih kuraaang aaaaarrghhh!
    tapi sekalinya sukses ndongeng dan anak bahagia maka dia akan minta diceritakan cerita yang sama berkali kali kali kali kali, otomatis sebagai emak yang baik dan kreatif *uhuyyy* harus bisa menceritakan cerita yang sama dengan cara yang berbeda-beda..

    BalasHapus