Selasa, 01 Januari 2013

Apakah Guru Adalah Pekerjaan Paling Ideal bagi Perempuan?

Sumber
 Prof. Tri Marhaeni seorang guru besar sosiologi gender dari Universitas Negeri Semarang tak pernah menginginkan dirinya untuk menjadi guru, apalagi masuk Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Ia menjadi mahasiswa IKIP Semarang karena sang orang tua yang memaksanya agar menjadi seorang guru. Ia heran mengapa kakak-kakak lelakinya diperbolehkan masuk universitas dan bebas memilih profesi yang diminati, sedangkan dirinya tidak?
Pada dasarnya setiap perempuan memiliki hak untuk memilih dan beraktualisasi diri. Seiring dengan perkembangan pendidikan bagi perempuan maka mereka pun punya kewenangan. Perempuan sudah bisa maju dengan kemampuan dan wawasannya. Bahkan ia membutuhkan tempat untuk mengambangkan potensinya.
Pandangan masyarakat saat ini masih sangat stereotip terhadap profesi seorang perempuan. Bahwa perempuan hanya pantas melakukan kegiatan 3 M yaitu; masak, macak, dan manak. Jika ada sedikit kelonggaran maka profesi yang paling ideal bagi seorang perempuan adalah guru. Alasannya masih cukup klise, guru memiliki banyak waktu untuk keluarga. Sesempit itukah?
Analoginya seperti pengemudi dan kendaraan. Seorang pengemudi yang jelek tidak akan bisa memaksimalkan kinerja kendaraan dengan kualitas mesin sangat bagus sekalipun. Berbeda dengan pengemudi yang baik, dia akan cerdik dalam mengemudikan serta merawat kendaraannya, walau dengan kualitas mesin yang tidak terlalu bagus.
Seorang perempuan memiliki kewenangan untuk berpartisipasi atau turut serta dalam pembangunan. Kegelisahan yang masih harus diwaspadai adalah kesalahan makna emansipasi dalam masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa perempuan juga bisa jadi supir taksi, bisa jadi tukang tambal ban, bahkan bisa jadi presiden. Padahal emansipasi berarti kebebasan perempuan untuk memilih. Apakah dia akan berpartisipasi menjadi ibu rumah tangga biasa walaupun ia berpendidikan tinggi atau menjadi wanita karier yang sibuk. Itulah emansipasi dia. Yang perlu diingat setara tidak harus sama.
Artinya, perempuan bisa berpartisipasi untuk menjadi apa pun. Tidak hanya guru profesi yang paling baik untuk perempuan. Siapa yang mengharuskan? Tentu saja hal ini bergantung pada emansipasi perempuan. Memang hanya perempuan “tangguh” yang bisa menyukseskan nuraninya untuk beremansipasi menjadi perempuan yang sukses dalam karier dan rumah tangga.

3 komentar:

  1. Wah tulisan ini mengingatkan saya, bahwa saya pernah berfikir pengen punya istri guru saja. betul seperti di tulisan ini, alasannya biar punya waktu untuk keluarga. Dan saya rasa beberapa pria lain juga adakalanya berpikir seperti saya yaitu menginginkan istri yang memiliki waktu untuk keluarga.
    Jadi menurut saya hal yang terpenting bahwa palig utama istri memiliki waktu untuk keluarga apapun pekerjaannya di luar.
    Karena sebenarnya kewajiban menafkahi adalah pada wanita.
    Tapi saya lebih suka istri berkarir sukses dan di dalam rumah juga sukses. itu menurut saya.

    BalasHapus
  2. maaf salah ketik: "Karena sebenarnya kewajiban menafkahi adalah pada pria"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak berarti bahwa perempuan yang berprofesi menjadi guru lantas lebih baik dari yang nonguru. Apapun profesinya, perempuan punya hak emansipasi. Apakah ia mampu mengatur prioritasnya atau tidak.

      Hapus