Sumber |
Prof. Tri Marhaeni seorang guru besar sosiologi
gender dari Universitas Negeri Semarang tak pernah menginginkan dirinya untuk
menjadi guru, apalagi masuk Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Ia
menjadi mahasiswa IKIP Semarang karena sang orang tua yang memaksanya agar
menjadi seorang guru. Ia heran mengapa kakak-kakak lelakinya diperbolehkan
masuk universitas dan bebas memilih profesi yang diminati, sedangkan dirinya
tidak?
Pada dasarnya setiap perempuan memiliki hak untuk
memilih dan beraktualisasi diri. Seiring dengan perkembangan pendidikan bagi
perempuan maka mereka pun punya kewenangan. Perempuan sudah bisa maju dengan
kemampuan dan wawasannya. Bahkan ia membutuhkan tempat untuk mengambangkan
potensinya.
Pandangan masyarakat saat ini masih sangat
stereotip terhadap profesi seorang perempuan. Bahwa perempuan hanya pantas
melakukan kegiatan 3 M yaitu; masak, macak, dan manak. Jika ada sedikit
kelonggaran maka profesi yang paling ideal bagi seorang perempuan adalah guru.
Alasannya masih cukup klise, guru memiliki banyak waktu untuk keluarga.
Sesempit itukah?
Analoginya seperti pengemudi dan kendaraan. Seorang
pengemudi yang jelek tidak akan bisa memaksimalkan kinerja kendaraan dengan
kualitas mesin sangat bagus sekalipun. Berbeda dengan pengemudi yang baik, dia
akan cerdik dalam mengemudikan serta merawat kendaraannya, walau dengan
kualitas mesin yang tidak terlalu bagus.
Seorang perempuan memiliki kewenangan untuk
berpartisipasi atau turut serta dalam pembangunan. Kegelisahan yang masih harus
diwaspadai adalah kesalahan makna emansipasi dalam masyarakat. Banyak yang
beranggapan bahwa perempuan juga bisa jadi supir taksi, bisa jadi tukang tambal
ban, bahkan bisa jadi presiden. Padahal emansipasi berarti kebebasan perempuan
untuk memilih. Apakah dia akan berpartisipasi menjadi ibu rumah tangga biasa
walaupun ia berpendidikan tinggi atau menjadi wanita karier yang sibuk. Itulah emansipasi
dia. Yang perlu diingat setara tidak harus sama.
Artinya, perempuan bisa berpartisipasi untuk
menjadi apa pun. Tidak hanya guru profesi yang paling baik untuk perempuan. Siapa
yang mengharuskan? Tentu saja hal ini bergantung pada emansipasi perempuan. Memang
hanya perempuan “tangguh” yang bisa menyukseskan nuraninya untuk beremansipasi
menjadi perempuan yang sukses dalam karier dan rumah tangga.
Wah tulisan ini mengingatkan saya, bahwa saya pernah berfikir pengen punya istri guru saja. betul seperti di tulisan ini, alasannya biar punya waktu untuk keluarga. Dan saya rasa beberapa pria lain juga adakalanya berpikir seperti saya yaitu menginginkan istri yang memiliki waktu untuk keluarga.
BalasHapusJadi menurut saya hal yang terpenting bahwa palig utama istri memiliki waktu untuk keluarga apapun pekerjaannya di luar.
Karena sebenarnya kewajiban menafkahi adalah pada wanita.
Tapi saya lebih suka istri berkarir sukses dan di dalam rumah juga sukses. itu menurut saya.
maaf salah ketik: "Karena sebenarnya kewajiban menafkahi adalah pada pria"
BalasHapusTak berarti bahwa perempuan yang berprofesi menjadi guru lantas lebih baik dari yang nonguru. Apapun profesinya, perempuan punya hak emansipasi. Apakah ia mampu mengatur prioritasnya atau tidak.
Hapus