Cerita Pertama
Ada sebuah pohon yang sangat rindang. Selain itu,
ia juga memiliki akar dan batang yang kuat dan dahan yang menjulang tinggi. Dua
buah benih ingin sekali menjadi seperti induknya.
“Hai saudaraku apakah kau ingin menjadi pohon yang
rindang, tinggi, dan kuat seperti induk kita?” tanya sebuah benih.
“Ya tentu saja, bahkan aku ingin jauh melebihi
induk kita,” jawab benih yang lain.
“Tapi bagaimana caranya?”
“Tentu saja dengan pergi jauh dari induk kita.”
“Kenapa harus begitu? Aku takut jika harus tumbuh
dan pergi jauh, aku tak yakin bisa bertahan hidup, jangan-jangan nanti aku
dimakan hewan, aku pun tak bisa tumbuh.”
“Kenapa harus takut? Baiklah aku akan membiarkan
diriku tertiup angin dan aku akan tumbuh di tanah yang jauh.”
Puluhan tahun kemudian benih yang jatuh tidak jauh
dari induknya ternyata tidak tumbuh lebih besar dari induknya. Tentu saja bisa
begitu, ia harus berbagi zat hara dan air tanah dengan sang induk. Ia pun hidup
biasa-biasa saja.
Lain halnya dengan benih yang lain. Ketika angin
mendaratkannya pada sebuah tanah ia dapat tumbuh dengan subur tanpa harus berbagi air dan zat hara. Ia pun
tumbuh jauh lebih tinggi dan besar dari induknya.
Seorang bijak pernah berkata, “Benih yang jatuh di
bawah pohon induknya tidak akan tumbuh melampaui induknya.”
“Orang berilmu dan
beradab tidak akan tinggal diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan
merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan penggantidari
kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah
berjuang.” (Imam Syafii)
Cerita Kedua
Alkisah terdapat dua orang yang sedang
beristirahat di bawah sebuah pohon yang rimbun. Mereka adalah seorang ayah dan
anaknya yang berbadan kecil. Dua orang itu tampak sangat lelah setelah
berdagang. Puas beristirahat, sang anak bertanya pada ayahnya, “Ayah apakah
suatu saat aku bisa menjadi orang yang kuat seperti Ayah?”
“Tentu saja bisa, kenapa kamu sampai bertanya
seperti itu?” tanya ayah sambil mengernyitkan dahinya.
“Aku sangat kagum melihat ayah yang memiliki badan
yang tinggi dan besar serta dapat memikul dagangan-dagangan kita yang sangat
berat itu. Badanku sangat kecil dan ramping seperti ibu, bagaimana aku bisa
menjadi seperti ayah?” ucap anak itu, raut wajahnya semakin sedih.
“Anakku, lihatlah pohon ini,” kata ayah sambil
menunjuk sebuah pohon. “Tahukah kamu bahwa pohon yang sangat besar dan rindang
itu dulu berasal dari sebuah benih yang sangat kecil ini?” lanjutnya sambil meraih sebuah benih yang terjatuh di
kaki pohon. Ujung telunjuk ayah nyaris seperti raksasa bila dibandingkan dengan
benih yang ada di atasnya.
“Benih inilah yang akan tumbuh menjadi pohon yang
besar. Tentu saja ia tak bisa tumbuh begitu saja, ia membutuhkan tangan-tangan
lain yang membantunya. Tangan angin yang menerbangkannya ke tempat yang subur,
air yang mencukupi kebutuhannya, cahaya matahari yang memberinya sumber energi,
dan tentu saja waktu yang jadi saksi tumbuh kembangnya,” ucap ayah.
“Begitu juga dengan kamu Nak, suatu saat kamu
pasti akan lebih “besar” dari ayah, kau hanya perlu berusaha dan menunggu,
yakinlah pada janji sebuah ‘masa’ dalam penantian ‘doa’ dan ‘usaha’ yang tak
terputus,” lanjut ayah.
Sang anak sangat terharu, badannya yang kecil
memeluk tubuh ayahnya yang kekar, “Kaulah yang terbaik Yah,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar