Sumber |
“Kita belum sampai bertaruh nyawa demi melantunkan ayat suci. Belum sampai
berjalan puluhan kilometer tanpa alas kaki demi menimba ilmu di sekolah
berdebu. Kita belum sampai dilempari batu untuk sekadar salat berjamaah di surau
yang hampir roboh, fabiayyi ala i rabbikuma
tukadziban?”
Cerita ini tentang seorang nenek tua yang usianya aku taksir delapan puluh
tahun, perawakannya mulai kurus, keriput
pun sudah membalut semua kulitnya, bahkan tubuhnya yang membungkuk hampir membentuk
sudut 90 derajat membuatnya sulit untuk melangkah. Pernah suatu ketika tatkala
iqamah sudah berkumandang, jamaah berduyun-duyun menapaki pelataran masjid. Sebuah
fenomena yang jarang aku jumpai, terjadi antrean yang sangat panjang untuk
menuju lantai dua. Barisan jamaah akhwat memang dilokasikan di sana, berbeda dengan ikhwan yang berada di lantai satu. Hampir
semua jamaah mengeluh karena waktu salat yang sudah dimulai, bahkan imam pun sudah
hampir habis membaca surat Al-Fatihah.
Sudah dua Ramadan aku melewati tarawih di sebuah masjid samping kosku.
Baru kali ini aku tahu, ada pemandangan yang aku abaikan. Sependar cahaya batin
yang tertutup dan baru terkuak. Antrean itu karena nenek yang terlambat
berangkat salat. Untuk menuju lantai dua, tentu harus dengan perjuangan dan
waktu yang ekstra. Semenjak itulah, dia selalu datang paling awal dan pulang
paling akhir di antara para jamaah.
Lalu bagaimana dengan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar