“Meina Febriani”, itulah nama saya. Nama yang
cukup aneh sebab ada dua nama bulan di sana, Mei dan Februari. Saya dilahirkan
pada tanggal 18 Februari 1990, di Ajibarang, Kabupaten Banyumas, sebuah desa
kecil di daerah selatan Jawa Tengah. Lahir dan tinggal sampai usia 18 di
Banyumas membuat saya tertarik memelajari budaya Banyumas. Banyak orang yang
menganggap saya etnosentris dan terlalu membanggakan Banyumas. Sebenarnya
pendapat itu cukup berdasar sebab sebagian besar karya ilmiah saya bertema
Banyumas, bahkan skripsi saya. Tidak hanya itu, saya pun berencana untuk
menulis tesis saya yang kembali mengusung muatan budaya, mungkin kali ini lebih
luas karena yang akan saya teliti adalah muatan budaya Jawa.
Saya yang juga mengidap ailurophobia ini,
sesungguhnya tidak terlalu berterima bila disebut sebagai etnosentris. Saya
menganggap bahwa, “Bila bukan kita yang melestarikan kearifan lokal, lalu siapa
lagi?” Banyak sekali identitas kultural Banyumasan yang saya kagumi dan memengaruhi
kepribadian saya, seperti sikap cablaka,
blakasutha, egaliter, blak-blakan, dan nilai-nilai luhur Banyumasan yang
lain. Pandangan sempit mengenai etnosentris mungkin terlontar sebab hanya
melihat kasus dari faktor makro. Menurut saya, mencintai sesuatu yang besar,
bisa dimulai dengan memerhatikan hal yang dianggap sepele.
Saya lahir di tengah keluarga yang tidak terlalu
demokratis dan sedikit saklek terutama dalam memilih cita-cita. Oleh karena
kedua orang tua saya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), mereka hampir
selalu mengultuskan PNS adalah pekerjaan yang paling mapan.