Sore itu kujumpai telepon genggamku terdapat panggilan tak terjawab,
“Oh dari dia, ada apa ya,” batinku. Setengah jam kemudian telepon genggamku pun
kembali berdering.
“Halo Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, suaramu masih sama seperti yang dulu,” suara seorang
laki-laki dari speaker telepon
genggamku.
“Iya, tapi bukan berarti aku masih sama seperti yang dulu.”
“Maksudnya?”
“Filosofinya, hari ini harus lebih baik dari kemarin,” jawabku.
“Setidaknya suara itu yang dulu selalu menemaniku.”
Kami selalu mengawali pembicaraan dengan perdebatan. Ya, dia dulu
pernah menjadi kekasihku ketika remaja, boleh dibilang cinta pertamaku. Bahkan,
jauh sebelum kami dekat, kami selalu berselisih pendapat ketika rapat
organisasi. Entahlah, waktu itu ada sesuatu yang membuatku luluh dan berkata,
“iya”.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa, aku hanya kesepian.”
“Lantas kamu teringat padaku?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Kenapa?”
“Sebab, mantan-mantan kekasihku rata-rata sudah akan menikah, bahkan
sudah ada yang menikah.”
“Oh.”
“Tapi kamu bukan mantan, kalau mantan terkesan seperti bekas, kamuuuu…
adalah kekasihku pada masa lalu, jadi tidak ada istilah mantan buat kamu.”
“Kamu masih saja ajeg. Sudah
sana pergi saja.”
“Aku sudah lajang sembilan bulan. Kesepian sekali Mei.”
“Lajak. Cari kegiatan dong. Tapi aku tidak percaya. Aku yakin pasti
tetap banyak perempuan di sekitarmu. Untuk membacamu, aku sudah lebih dari
kenal.”
“Aku serius. Memang banyak sekali perempuan yang dekat dengan aku.
Tidak terhitung. Tapi mereka hanya bertahan dalam hitungan hari. Yang cantik
banyak, ada juga yang pramugari.. tapi…”
“Kenapa? Bosan? Lalu mantanmu yang dulu itu kamu telantarkan?”
“Tapi perempuan-perempuan itu tidak pernah aku anggap, ya.. just for fun. Untuk saat ini aku tidak
bisa benar-benar jatuh cinta yang tulus. Mantanku waktu itu yaaa… lewat begitu
saja, mungkin karena jarak jauh lalu, bisa jadi karena jenuh. Dia sampai jatuh
sakit waktu itu, dan aku tidak peduli, memang jahat tapi bagaimana lagi?”
“Hai, kapan kamu berhenti? Kamu tidak lelah seperti itu?”
“Lelah, tapi gimana lagi.”
“Oh, kalau begitu, ya sudah. Aku tidak mau jadi korbanmu selanjutnya.”
“Ih PD banget.”
“Hahaha, begitu ya?” tawaku.
Suasana mencair. Pembicaraan mengalir begitu saja, bahkan kami
membahas surat cinta yang pernah aku kirimkan ke dia. Dia masukan surat itu ke
dalam dompetnya, biar bisa terus dibaca katanya. Kita pun tertawa bersama-sama
mengenang itu, bukan hanya tertawa tapi sampai terpingkal-pingkal. Empat tahun
berlalu, pertengahan 2012 kami kembali bertemu. Dia mengambil dompet dari
sakunya, dompetnya masih sama seperti yang dulu. “Yuk makan burger,” tawarnya.
“Ha, kenapa?” tanyaku. “Kali terakhir aku makan burger itu denganmu dulu, pas
jalan-jalan terakhir sebelum kita putus” jawabnya sambil melintas.
“---Tahukah kau, gelang seharga
seribu rupiah dari Borobudur yang kau kenakan di tanganku waktu kencan pertama itu
juga masih aku simpan, boneka oleh-oleh darimu dari Semarang juga masih kupeluk
setiap malam, itu empat tahun yang lalu—“ batinku waktu itu.
Itu dulu. Sebelum akhirnya aku terhenyak dari tidur panjangku dan
bertemu dengannya, Lelaki Platonik.
Bahwa hidup berjalan maju. Segala sesuatu yang tak diakhiri, tak akan pernah
berakhir. Aku kira seumur hidupku, aku akan terjebak pada cinta pertamaku.
Ternyata firasat itu terbantahkan.
Di telepon, dia bercerita tentang adiknya, kehidupannya sekarang,
serta perempuan-perempuan yang ia hinggapi. Lalu giliran ia memintaku bercerita.
“Kamu ngajar karya ilmiah?” tanyanya.
“Iya. Tapi baru jadi asdos sih.”
“Boleh tuh kalau ada kesulitan, aku tanya kamu aja.”
“Aku tidak bersedia.”
“Kenapa?”
“Bahkan aku akan mengakhiri sebelum dimulai kembali.”
“Sekarang giliran kamu yang lajak. Aku benar-benar tidak mengarah
kesitu.”
“Tahukah kamu bahwa hati perempuan sangat rapuh? Toh kamu bisa
bertanya pada orang lain, bertanya pada buku, bertanya pada internet.”
“Kamu takut jatuh cinta denganku?”
“Tidak, ih PD,” tegasku
“Lalu, apa yang kamu risaukan, sedangkan kita saudara.”
“What? Saudara dari
Hongkong?” candaku.
“Iya, aku menganggapmu seperti saudaraku. Oleh sebab itu aku selalu
mengingatmu. Kamu bukan sahabatku, bukan pula kekasihku lagi. Kita saudara.
Jadi, saudara itu tentu tak mungkin saling mencintai.”
“Aku setuju, tapi saudara tentunya tak usah terlalu banyak
komunikasi.”
“Kanapa?”
“Kalau menurut versiku, yang penting kita jaga hati kita agar tak
punya rasa dendam satu sama lain.”
“Oke, aku setuju. Kita saudara.”
“Halo saudara….” candaku lagi.
“Halooo…. Hehehehe…” tawanya dari seberang sana.
Pembicaraan pun terus berlangsung. Kami mengatur ritme percakapan
kami. Ya, tentu dengan status yang berbeda, “saudara”. Tentu dengan
persyaratan: saudara yang tidak perlu sering-sering dan banyak-banyak
berkomunikasi. Kalau dipikir-pikir memang lucu juga.
“Yang jelas dia berbeda denganmu, dia tak bisa membuatku benci seperti
aku membencimu dulu. Karenanya aku terus ingin memperbaiki diriku.”
“Apa perlu aku bicara pada lelaki itu?”
“Bicara apa?” tanyaku
“Akan kukatakan padanya bahwa kamu menunggunya.”
“Tidak usah.”
“Tapi perkataanku sebagai kekasihmu dulu pasti sangat berarti
untuknya, dia pasti akan mempercayaiku. Ayolah Mei, izinkan aku bertemu dengannya.”
“Tidak usah, terima kasih ya. Doakan saja kami berjodoh.”
Setidaknya setelah tragedi Sisifus kemarin, lalu telepon ini akan
menjadi pertanda piramida terbalik untukku. Semakin mengerucut dan semakin
perjelaslah ya Rabb.
“Lelaki Platonik,” batinku.
Benarkah ia ada Mei? lelaki platonik, bebas dari nafsu berahi dan cinta?
BalasHapusLelaki platonik, lelaki yang mencintai Tuhan lebih dari segalanya, maksudku itu :)
BalasHapus