Kamis, 02 Januari 2014

Berserah

Ketika aku gantungkan puncak harapanku pada-Nya, aku tambatkan cinta pada-Nya, bahkan semua urusanku pada-Nya. Bukan, bukan sebab aku egois tak mau menanggung urusanku sendiri tapi aku yakin itulah bukti cintaku pada-Nya. Ada hal yang tidak bisa kita selesaikan dengan menguras pikiran kita, menggerakan tangan kita, mengayunkan kaki kita, dan memeras keringat kita. Hal yang tak bisa disentuh oleh manusia, hal yang sangat mendalam dan hakiki : cinta. Ya, itulah anugerah terindah dari-Nya. Tak bisa direkayasa, apalagi dipaksa.
Entah kenapa hari itu terasa sangat indah. Langit pagi itu tetap sama, berwarna biru, bukan merah muda laksana orang jatuh cinta. Jalanan di Jakarta kala itu tetap sama, seperti yang biasa aku lihat di televisi, tidak tergelar karpet merah. Gedung-gedung pencakar langit pun tak ada yang beda, masih terlihat jemawa dan kapitalis. Perspektif dan subjektivitaskulah yang membuatnya sangat indah. Pagi itulah yang membuatku belajar tentang makna “berserah”, bukan “menyerah”.
Lelaki yang datang dengan rambut tak bersisir dan rela menuntun sepeda motorku saat ban motorku bocorlah yang sebenarnya kucari, bukan lelaki maha sempurna. Lelaki yang mengirimiku surat via pos ketika aku berulangtahunlah yang kutunggu, bukan lelaki yang memberiku barang-barang mahal tapi tak bermakna. Sebab, setiap keputusan harus beralasan, dan alasan tentu punya dasar; pertimbangan; sudut pandang. Dan, sayangnya kadang hal itu berlaku secara subjektif dan asumtif.

Nama pada layar ponselnya yang membuatku tersadar kalau akulah yang terlalu banyak berharap pada manusia. Tatkala kulihat wajahnya berubah panik menatap ponsel dan berkali-kali menelepon seseorang yang tak kunjung mengangkat panggilannya. Sepertinya aku baru saja menelan empedu mentah-mentah, mengganjal di tenggorokanku, dan perasaan itu merambat ke dadaku, tak ada yang kurasakan selain jantung yang berdenyut laksana pukulan algojo. Di situlah aku tersadar kalau aku bukan satu-satunya seperti yang aku pikirkan selama ini. Bahwa inilah saatnya aku harus jujur pada diriku sendiri, lalu berhenti berpura-pura bodoh, tidak tahu, dan tidak peduli. Nama perempuan pada layar ponselnya, nama yang aku rasa tak ada yang perlu dijelaskan, dan aku pun tak perlu bertanya padanya.
Seorang bijak pernah berkata kepadaku, “Bila kau mencintai seseorang, lepaskanlah. Bila ia memang benar milikmu, ia akan kembali padamu.”

Konon, tingkatan cinta tertinggi adalah ketika kau merelakan dia. Sulit memang, tapi bukan berarti tidak bisa. Katanya, melepas bisa kau lakukan bila memang benar kau mencintainya karena Tuhan. Ketika aku tak mampu lagi berpikir dan bekerja, aku punya Tuhan yang besar, dan saat ini biarlah Dia yang bekerja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar