Ketika aku gantungkan puncak harapanku pada-Nya,
aku tambatkan cinta pada-Nya, bahkan semua urusanku pada-Nya. Bukan, bukan
sebab aku egois tak mau menanggung urusanku sendiri tapi aku yakin itulah bukti
cintaku pada-Nya. Ada hal yang tidak bisa kita selesaikan dengan menguras
pikiran kita, menggerakan tangan kita, mengayunkan kaki kita, dan memeras
keringat kita. Hal yang tak bisa disentuh oleh manusia, hal yang sangat
mendalam dan hakiki : cinta. Ya, itulah anugerah terindah dari-Nya. Tak bisa direkayasa,
apalagi dipaksa.
Entah kenapa hari itu terasa sangat
indah. Langit pagi itu tetap sama, berwarna biru, bukan merah muda laksana
orang jatuh cinta. Jalanan di Jakarta kala itu tetap sama, seperti yang biasa
aku lihat di televisi, tidak tergelar karpet merah. Gedung-gedung pencakar
langit pun tak ada yang beda, masih terlihat jemawa dan kapitalis. Perspektif
dan subjektivitaskulah yang membuatnya sangat indah. Pagi itulah yang membuatku
belajar tentang makna “berserah”, bukan “menyerah”.
Lelaki yang datang dengan rambut tak bersisir dan
rela menuntun sepeda motorku saat ban motorku bocorlah yang sebenarnya kucari,
bukan lelaki maha sempurna. Lelaki yang mengirimiku surat via pos ketika aku
berulangtahunlah yang kutunggu, bukan lelaki yang memberiku barang-barang mahal
tapi tak bermakna. Sebab, setiap keputusan harus beralasan, dan alasan tentu
punya dasar; pertimbangan; sudut pandang. Dan, sayangnya kadang hal itu berlaku
secara subjektif dan asumtif.
Nama pada layar ponselnya yang membuatku tersadar
kalau akulah yang terlalu banyak berharap pada manusia. Tatkala kulihat wajahnya
berubah panik menatap ponsel dan berkali-kali menelepon seseorang yang tak
kunjung mengangkat panggilannya. Sepertinya aku baru saja menelan empedu
mentah-mentah, mengganjal di tenggorokanku, dan perasaan itu merambat ke
dadaku, tak ada yang kurasakan selain jantung yang berdenyut laksana pukulan
algojo. Di situlah aku tersadar kalau aku bukan satu-satunya seperti yang aku
pikirkan selama ini. Bahwa inilah saatnya aku harus jujur pada diriku sendiri, lalu
berhenti berpura-pura bodoh, tidak tahu, dan tidak peduli. Nama perempuan pada
layar ponselnya, nama yang aku rasa tak ada yang perlu dijelaskan, dan aku pun
tak perlu bertanya padanya.
Seorang bijak pernah berkata kepadaku, “Bila kau
mencintai seseorang, lepaskanlah. Bila ia memang benar milikmu, ia akan kembali
padamu.”
Konon, tingkatan cinta tertinggi adalah ketika kau
merelakan dia. Sulit memang, tapi bukan berarti tidak bisa. Katanya, melepas
bisa kau lakukan bila memang benar kau mencintainya karena Tuhan. Ketika aku
tak mampu lagi berpikir dan bekerja, aku punya Tuhan yang besar, dan saat ini
biarlah Dia yang bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar