Sumber |
“Mei, mengajak perempuan makan di
warteg tidak akan bikin dia jatuh cinta. Kamu tahu, cinta itu hanya ada di
negeri dongeng, di dunia nyata yang ada hanya ongkos! Bangun Mei…..” kata seorang kawan pada saya. “Cinta tidak
bakal bisa buat bayar cicilan rumah,” lanjutnya.
“Sekejam itukah dunia? Apakah
benar saya makhluk negeri dongeng yang tersesat di dunia nyata?”
“Meina, tidak usah lagi kamu
terheran-heran mendengar cerita teman-temanmu yang baru saja membeli tas seharga
dua juta dan mereka bahagia.”
“Tapi tas saya seharga enampuluh
ribu, saya juga bahagia.”
“Murah sekali kamu Meina. Yakin kamu akan tenggelam dalam kebodohan
ini di saat teman-temanmu mulai realistis?”
“Saya bodoh dan tidak realistis?
Saya bahagia ketika diajak makan oleh orang yang saya cintai, meskipun itu di
tempat yang sangat sederhana dengan lauk yang sederhana. Saya sangat
menikmatinya.”
“Mungkin saja. Tapi itu sekarang
kan? Tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu sudah tahu, seberapa mahalnya
biaya masuk sekolah anakmu kelak.”
“Oh ya? Beasiswa masih banyak.”
“Hahaha, dasar alien.”
“Alien?”
“Emmm bisa jadi kamu itu semacam alien,
dan kita adalah manusia. Mendambakan cinta dan kehidupan yang tulus, adalah
omong kosong. Bisa jadi cinta semacam Dinosaurus. Konon, dahulu negeri ini
adalah negeri dongeng yang dihuni alien macam kamu, dengan cinta sebagai hal
yang paling mulia. Setelah datang manusia, mereka menjajah negeri dongeng dan
cinta pun punah seperti Dinosaurus. Negeri dongeng sudah hilang, dan sekarang
dunia berubah jadi dunia nyata yang dihuni manusia. Memang saya tidak yakin
masih ada cinta yang baik di dunia ini, tapi saya percaya bahwa masih banyak
laki-laki dan perempuan yang baik di sini, tenang saja Mei, kamu nggak
sepenuhnya salah, hahaha,” sambungnya.
“Siapakah saya? Bisa jadi, ada
satu alien yang diselamatkan manusia waktu itu dan dia masih bertahan hidup
sampai sekarang.”
“Ya, ya bisa jadi. Begini Mei, di
dunia nyata ini, manusia menganggap bahwa cinta adalah siklus yang tidak bertahan
lama. Apalagi yang namanya laki-laki, konon mencintai bagai minum air laut,
kalau sudah minum, bukannya dahaga hilang tapi dia akan mau lagi dan lagi. Sayangnya,
mereka akan mencoba cinta yang baru kalau bosan dengan cinta yang lama.”
“Yang kamu maksud P-H-P?”
“Lelaki di sini akan menjawab,
kenapa kamu merasa di-P-H-P-in, karena kamu yang terlalu banyak berharap. Tidak
ada cinta abadi yang diceritakan oleh negeri dongeng, apalagi penantian seorang
pangeran berkuda putih yang datang menyelamatkanmu yang tersesat di tengah
hutan, atau seorang putri yang menanti ciuman sang pangeran. Hahahaha, itu
hanya imajinasi dan tidak akan terjadi di dunia nyata, Mei.”
“Bukankah kalau kata Dewi
Lestari, realistis dan menyerah itu beda tipis.”
“Meina, kapan kamu berhenti jadi
alien…. Di dunia nyata ini semua perempuan itu matrealistis, hidup sudah
kapitalis.”
“Saya setuju kalau semua
perempuan itu matrealistis, matre atau sadar materi itu penting, iya penting,
tapi kadarnya itulah yang berbeda. Bukan matre sih, saya menyebutnya kufu. Toh, saya juga bisa cari uang sendiri,
tidak akan terlalu merepotkan bagi lelaki.”
“Lah, itu yang tidak disukai lelaki di dunia nyata Meina, bahwa
tidak semua lelaki menyukai perempuan mandiri, tidak usah sok-sokan bilang
kalau kamu bisa cari duit, seolah-olah kamu bisa hidup tanpa kami, kaum
lelaki.”
“Saya tidak pernah bilang bahwa
saya bisa hidup sendiri. Saya mencari uang bukan untuk meremahkan lelaki,
tidak, tapi itu sekadar bentuk aktualisasi diri saya.”
“Aktualisasi diri? Bukannya kamu
dan teman-temanmu adalah perempuan-perempuan pengejar jabatan dan karier, lalu
untuk apa sekolah tinggi-tinggi?”
“Saya tidak setuju kalau disebut
berpendidikan tinggi untuk mengejar karier. Lalu, apa yang harus saya perbuat
kalau tidak fokus pada pendidikan dan kerja? Saya fokus pada cinta yang kau
bilang sudah punah itu? Sayangnya perempuan hanya bisa menunggu.”
“Tapi perempuan juga bisa
bertanya.”
“Hellooooow, tidak mungkin saya
bertanya, ‘kapan lu nikahin gue?’”
“Hahaha, kasihan sekali perempuan
itu ya. Terjajah oleh cinta yang sebenarnya sudah punah.”
“Terkait dengan cinta, sebenarnya,
ada dua jenis kebutuhan manusia, kebutuhan lahir dan kebutuhan batin. Ada yang
bisa menahan kebutuhan lahirnya tapi saya tidak yakin kalau ada yang bisa
menahan kebutuhan batinnya pada cinta, dan yang paling parah adalah jenis
manusia dunia nyata yang kamu ceritakan itu, dialah yang tidak bisa menahan
kebutuhan lahir dan batinnya.”
“Lah, itu kamu tahu sendiri. Bahkan
kata seorang perempuan dari kota metropolitan, cinta adalah bisnis perasaan.”
“Iya tapi tidak sepenuhnya tepat,
kadar realistis setiap orang berbeda. Toh
tak ada definisi yang pasti tentang realistis.”
“Konyol kamu Mei, realistis itu
seperti matematika, satu ditambah satu sudah tentu sama dengan dua.”
“Bila ada lima burung yang
bertengger di dahan, lalu satu burung ditembak, berapa yang burung yang tersisa
di dahan? Bila kau jawab empat, itu memang realistis, matematis. Namun,
kenyataannya tak ada yang tersisa di dahan karena keempat burung lainnya secara
otomatis akan terbang meninggalkan dahan itu. Bukankah itu juga disebut
realistis?”
“Bukankah segala hal perlu
diperhitungkan?”
“Iya, tapi jangan melupakan kalau
kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, dan
kalau hidup adalah matematika silakan lakukan dosa sebesar apa pun, lalu
pergilah ke Mekkah untuk minta ampun, konon lewat perhitungan matematis pahala
itu mampu menutup dosa yang kau perbuat, apakah dunia nyatamu seperti itu?
Kalau seperti itu saya lebih memilih jadi alien dan tetap tinggal di negeri
dongeng. Alien itulah yang akan menemukan fosil Dinosaurus dan menghidupkannya
kembali.”
“Hahaha, konyol. Iya kamu memang
benar-benar alien.”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus