Beberapa
hari yang lalu, saya pergi ke sebuah desa. Di sana saya “iseng” mendatangi
sebuah rumah bidan desa dengan maksud periksa kandungan dan berkonsultasi. Warga
desa tersebut mayoritas berprofesi sebagai buruh pabrik. Saya datang pukul
15.30, tigapuluh menit sebelum bidan praktik bersama suami saya dengan
mengendarai sepeda motor tahun 1997. Saya disambut oleh seorang karyawan dan
langsung ditembak dengan pertanyaan, “Bu, mau periksa pakai asuransi pabrik?”
Saya yang masih agak bingung spontan menggelengkan kepala. Beberapa saat
kemudian, asisten bidan pun datang.
“Bu, biasa
periksa di mana?”
“Semarang
Bu.”
“Di dokter
atau bidan?”
“Dokter Bu.”
“Punya buku
merah jambu?”
“Wah tidak
diberi oleh dokter saya Bu, gimana?”
“Saya
sarankan, besok Ibu periksa di bidan saja ya Bu.”
“Loh, kenapa
Bu?”
“Agar dapat
buku merah jambu Bu.”
Saya hanya
tersenyum dan mengangguk.
“Di Semarang
kerja di pabrik mana Bu?”
“Wah saya
hanya ikut suami kok Bu.”
“Di rumah
saja ya Bu?”
“Iya Bu,
ngurus rumah tangga.”
Beberapa
saat kemudian Bu Bidan dari ruang sebelah pun datang. Beliau memeriksa detak
jantung janin saya kemudian mengukur perut saya.
“Normal Bu,
ada keluhan?”
“Saya flu Bu,
apakah boleh mengonsumsi obat?”
Beliau
langsung menunjuk-nunjuk beberapa obat pada asistennya lalu menyerahkan tiga
jenis obat kepada saya. Saya melihat-lihat tiga jenis obat itu, salah satu obat
yang diberikan tidak memiliki pembungkus, hanya dimasukkan dalam plastik transparan
yang ditulisi dengan spidol “3 X 1”.
“Maaf Bu saya
mau tanya, ini obat apa ya?” – tepatnya percakapan saya menggunakan bahasa Jawa
Krama.
“Ini obat
aman kok Bu. Saya ini bidan, jelas saya sudah tahu mana obat yang baik atau
tidak untuk ibu hamil. Kalau berobat itu yang mantap saja Bu. Kalau suruh minum
obat ya diminum, tidak usah banyak tanya,” jawab Bu Bidan dengan nada tinggi.
Selanjutnya,
saya sudah malas untuk bertanya lebih jauh. Saya pun mengajak suami untuk
pulang. Begitulah cerita sore itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar