Sabtu, 04 Februari 2012

Kemana Kita Akan Membawa Masa Depan atau Kemana Masa Depan Akan Membawa Kita?


Kemana kita akan membawa masa depan atau kemana masa depan akan membawa kita?” Ya pertanyaan itu yang kini selalu menerorku beberapa bulan belakangan ini. Bahkan sejak bulan April 2011 aku sudah membuat rencana hidup untuk satu tahun ke depan, lengkap dengan target-target apa saja yang harus kucapai pada setiap bulannya. Hingga akhirnya puncak rencanaku adalah menjadi wisudawan di bulan April 2012, amiin. Bukan maksud terlalu ambisius tapi aku hanya ingin menata hidupku saja. Merencanakan sejak awal tidak ada salahnya menurutku.
Jadi teringat obrolanku dengan seorang nelayan di Tanjungmas. Beliau sangat bersahaja, rumahnya terbuat dari batu bata tanpa lapisan cat, lantainya semen halus, walau daerah pantai sangat panas tapi rumahnya cukup membuatku merasa sejuk dengan nasihat-nasihatnya. ”Rencanakanlah masa depan sedini mungkin,” tuturnya padaku. Aku tertegun dan diam. “Ada yang bilang waktu muda waktunya hidup senang-senang, hura-hura, dan berfoya-foya, tapi kenapa kita tidak memanfaatkan masa muda untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk hari tua?” Waow, luar biasa. Ucapan yang bisa saja tak sengaja dilontarkan oleh seorang nelayan yang tak sampai lulus SMA bisa menjadi pemantik luar biasa bagiku bahkan mengubah rencana-rencanaku yang penuh dengan hedonisme.
Berbicara tentang masa depan mungkin akan menjadi diskusi yang tak berujung, penuh dengan spekulasi dan ketidakpastian jika tak diimbangi dengan aksi. Dulu waktu duduk di bangku SMA aku berpikir untuk menjadi seorang pendidik. Kenapa? “Bukankah jihad seorang perempuan itu ada di dalam rumah tangga”, itu pikirku. Aku tak memiliki cita-cita yang muluk-muluk, cukup sederhana. Aku hanya ingin hidup bahagia dan berkecukupan. Menjadi istri dan ibu yang baik, berbakti pada orang tua, dan bermanfaat bagi orang lain.
Mengapa aku tak memilih menjadi ibu rumah tangga saja? Dan mengapa aku masih ingin terus kuliah dan belajar jika ujung-ujungnya nanti hanya berfokus di rumah tangga? Aku tidak ingin mengecewakan kedua orangtuaku. Harapan mereka terhadapku mungkin cukup besar, aku ingin mempersembahkan cita-citaku pada orang yang aku sayang, memberikan mereka kesejahteraan, dan  ingin kubuktikan bahwa aku juga bisa membuat mereka bangga. Mungkin ada yang bilang percuma sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Itu hanya soal pilihan. Aku yakin setiap orang sudah punya target dan tujuan hidup masing-masing. Sekolah setinggi-tingginya bukanlah jaminan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, sekolah itu mencari ilmu, jadi tidak ada hubungannya dengan rezeki. Ilmu yang bermanfaat nantinya akan mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain dan salah satunya berupa rezeki. Menjadi ibu rumah tangga yang memiliki banyak ilmu akan memberikan peluang yang besar untuk lebih pandai mengatur rumah tangga, menyenangkan suami, dan mendidik anak, betul?
Kembali ke topik awal mengenai masa depan. Mungkin ini saat-saat tergalau dalam hidupku setelah tahun 2008 hingga akhirnya aku memutuskan mendaftar SNMPTN untuk memilih kuliah di “kependidikan”. Namun masalahnya aku sedang meragukan keputusanku empat tahun yang lalu. Apakah sebaiknya aku meneruskan cita-citaku? Menjadi seorang guru honorer dengan gaji maksimal Rp800.000,00, menjadi guru di sekolah favorit dengan gaji Rp2.000.00,00 tapi dengan jam kerja pukul 07.00-17.00, atau pulang kampung dan mengajar dengan gaji Rp300.000,00 sembari menunggu pendaftaran CPNS yang penuh dengan ketidakpastian. Atau, melanjutkan sekolah ke jenjang S2? Mengharap beasiswa yang menuntutku harus lulus 3,5 tahun atau memakai biaya orang tua dengan total biaya Rp30.000.000,00 sampai lulus? Atau menghilangkan semua idealismeku dan bekerja kantoran yang menawarkan gaji tinggi, berangkat pagi pulang malam? Ingalah Mina, kau sudah hampir 22, lihatlah di sana temanmu sudah begitu mandiri bahkan ada yang sudah bisa membelikan mobil jazz pada orang tuanya, membeli rumah, dan menghajikan orang tua.
Inilah yang dinamakan jalan kehidupan. Aku adalah ketidakpastian. Hanya berusaha menjadi orang yang visioner dalam menjalani hidup, bukan memusingkan apa yang belum terjadi, tapi hidup ini perlu direncanakan bukan? Selamat datang ke “the real world”. Semoga beruntung.

Semarang, 4 Februari 2012
06.43

4 komentar:

  1. aku juga Mina..

    kegalauan macambegini emang suka melanda mahasiswi semester akhir. aku ga menyebutkan mahasiswa, karena mereka cenderung bukan tipe yang multitasking. kerja, karir tinggi, cinta menanti. kalopun tidak ada yang menanti, tinggal cari, sudah..

    tapi mahasiswi? selain memikirkan karir juga pasti mikirin jodoh, mikirin orang tua (yang takmau anak perempuannya kerja jauh2 dari rumah).

    galau. tapi bukan berarti tanpa pilihan kan?

    keep spirit.. kita bisa jadi apapun yang kita mau. :) :)

    BalasHapus
  2. pasang tuh impian kamu di dekstop,. tapilin dengan huruf kapital, di bold kalo mau di UNDERLINE boleh.
    ketika baca tulisan itu setiap bukak laptop ucapkan "bismillah, ya Allah ini bukan hanya mimpi atau harapan. aku yakin bisa!!, semoga harapan ku adalah jalan terbaik-ku" jangan lupa ngucapin "aamiin"
    harus yakin yakin yakin,. kalopun gak berhasil mendapatkan harapan itu percaya ajah kalo Allah punya rencana yang lebih baik. jang lupa bersyukur (biar bahagia walau lagi susah) =)

    AYO SEMANGAT PEMUDA INDONESIA!!

    BalasHapus
  3. Asslmlkm..
    jngnkan yg smster akhir, q jg yg bru smstr 3 sudh mmkrkn ap yg drmu pkrkn jg..kt tk thu bgmn tkdr kan mmbw kt, yah.. hny ushlah yg mrubahnya..

    BalasHapus