“Kapan menikah?” sepertinya jadi pertanyaan yang
lazim terucap pada perempuan usia di atas 23. Setahuku di Indonesia, apalagi di
Jawa usia 23 sampai 25 adalah usia yang paling banyak dipilih perempuan untuk
menikah. Mengapa?
Mungkin pertimbangan yang utama adalah faktor
produktivitas biologis, budaya, dan agama. Faktor produktivitas biologis
mungkin jadi faktor yang seolah-olah terlihat paling mendesak, aku pernah
dengar kalau perempuan dianjurkan untuk tidak melahirkan pada usia lebih dari
35 tahun. Kalau dilihat dari faktor budaya, ini juga dipengaruhi oleh faktor
yang pertama tadi. Aku lebih menganggap faktor ini merujuk pada beban sosial,
perempuan yang berusia lebih dari 30 dan belum menikah maka cap “Perawan tua”
akan menancap pada dirinya, siapa yang tak sedih? Faktor yang terakhir adalah
agama. Sebenarnya agama seharusnya menjadi yang nomor satu, tapi entahlah,
jarang sekali ada yang menggunakan alasan ini pada kasus “Mendesaknya
pernikahan”.
Suatu sore kudengar seorang ibu menelepon anak
perempuannya, “Ibarat bunga, perempuan yang berusia lebih dari 25 tahun sudah
menjadi bunga yang layu, mana ada kumbang yang mau hinggap.”
Gadis itu terdiam.
“Ingat, kamu sudah hampir 24. Besok kamu berkenalan dengan seorang
pria, dia……”
Gadis itu tetap terdiam, dia pun tersenyum. Sesaat kemudian setelah
menutup teleponnya, tangisnya pecah, pikirannya menjelajah pada suatu hal yang
tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, perjodohan.
Sebenarnya, hal itu tidak perlu kita khawatirkan
atau bahkan membuat kita terkejut. Sebab, kalau kita amati dari kacamata
sejarah sastra, kasus perjodohan sudah ada sejak zaman kerajaan, lalu berlanjut
pada tahun 1920-sekarang kisah Mariamin, Siti Nurbaya, Hayati, dan sampai pada
kisah drama Korea tahun 2013, “The Heirs” pun, Kim Tan dijodohkan dengan Rachel
Yoo. Artinya, tidak bisa dianggap hal yang kuno, sebab hal ini sungguh menembus
ruang dan waktu. Perjodohan bisa terjadi karena beberapa hal, seperti menjaga kualitas
keturunan, politik atau hanya soal gengsi. “Orang tua mana yang akan
menjerumuskan anaknya,” bisa jadi diktum pembelaan maksimal.
Sesungguhnya, ada beberapa hal yang terlupakan
sebagai sebuah alasan, bahwa jodoh adalah bertemu dengan orang yang tepat pada
waktu yang tepat. Kalau Sudjiwo Tedjo berpendapat bahwa, “Mencintai adalah
takdir, menikah adalah nasib.” Betulkah bisa jadi suatu saat seseorang
memutuskan untuk menikah hanya karena tekanan sosiologis? Apakah kau lupa pada
kisah cinta paling romantis tentang Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra?
curhat ya mba?
BalasHapusAyah, bersabarlah
BalasHapusJangan resah bila aku belum menikah
Jangan bimbang bila aku belum dipinang
Jangan sedih bila aku belum berkekasih
Jangan khawatir bila aku belum ada yang naksir
Ayah, tenanglah
Esok hari kan kuhadirkan seorang pria,
menantu idaman