Senin, 10 Februari 2014

Menjelang 24

“Kapan menikah?” sepertinya jadi pertanyaan yang lazim terucap pada perempuan usia di atas 23. Setahuku di Indonesia, apalagi di Jawa usia 23 sampai 25 adalah usia yang paling banyak dipilih perempuan untuk menikah. Mengapa?
Mungkin pertimbangan yang utama adalah faktor produktivitas biologis, budaya, dan agama. Faktor produktivitas biologis mungkin jadi faktor yang seolah-olah terlihat paling mendesak, aku pernah dengar kalau perempuan dianjurkan untuk tidak melahirkan pada usia lebih dari 35 tahun. Kalau dilihat dari faktor budaya, ini juga dipengaruhi oleh faktor yang pertama tadi. Aku lebih menganggap faktor ini merujuk pada beban sosial, perempuan yang berusia lebih dari 30 dan belum menikah maka cap “Perawan tua” akan menancap pada dirinya, siapa yang tak sedih? Faktor yang terakhir adalah agama. Sebenarnya agama seharusnya menjadi yang nomor satu, tapi entahlah, jarang sekali ada yang menggunakan alasan ini pada kasus “Mendesaknya pernikahan”.
Suatu sore kudengar seorang ibu menelepon anak perempuannya, “Ibarat bunga, perempuan yang berusia lebih dari 25 tahun sudah menjadi bunga yang layu, mana ada kumbang yang mau hinggap.”
Gadis itu terdiam.
“Ingat, kamu sudah hampir 24. Besok kamu berkenalan dengan seorang pria, dia……”
Gadis itu tetap terdiam, dia pun tersenyum. Sesaat kemudian setelah menutup teleponnya, tangisnya pecah, pikirannya menjelajah pada suatu hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, perjodohan.

Sebenarnya, hal itu tidak perlu kita khawatirkan atau bahkan membuat kita terkejut. Sebab, kalau kita amati dari kacamata sejarah sastra, kasus perjodohan sudah ada sejak zaman kerajaan, lalu berlanjut pada tahun 1920-sekarang kisah Mariamin, Siti Nurbaya, Hayati, dan sampai pada kisah drama Korea tahun 2013, “The Heirs” pun, Kim Tan dijodohkan dengan Rachel Yoo. Artinya, tidak bisa dianggap hal yang kuno, sebab hal ini sungguh menembus ruang dan waktu. Perjodohan bisa terjadi karena beberapa hal, seperti menjaga kualitas keturunan, politik atau hanya soal gengsi. “Orang tua mana yang akan menjerumuskan anaknya,” bisa jadi diktum pembelaan maksimal.
Sesungguhnya, ada beberapa hal yang terlupakan sebagai sebuah alasan, bahwa jodoh adalah bertemu dengan orang yang tepat pada waktu yang tepat. Kalau Sudjiwo Tedjo berpendapat bahwa, “Mencintai adalah takdir, menikah adalah nasib.” Betulkah bisa jadi suatu saat seseorang memutuskan untuk menikah hanya karena tekanan sosiologis? Apakah kau lupa pada kisah cinta paling romantis tentang Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra?


2 komentar:

  1. Ayah, bersabarlah
    Jangan resah bila aku belum menikah
    Jangan bimbang bila aku belum dipinang
    Jangan sedih bila aku belum berkekasih
    Jangan khawatir bila aku belum ada yang naksir
    Ayah, tenanglah
    Esok hari kan kuhadirkan seorang pria,
    menantu idaman

    BalasHapus