Ungaran, tahun 2011.
“Bagus sekali musikalisasi puisinya Nak, Ibu sampai menangis terharu,” kata seorang guru sambil memeluk gadis kecil itu seusai menyajikan musikalisasi puisi berjudul ‘Bunda’.
Sajian musikalisasi puisi itu sempat menghipnotis pergelaran pada siang hari itu. Diawali dengan alunan musik ‘Bunda’ milik Melly Goeslow, lalu dipadukan dengan harmoni paduan suara dan deklamasi yang sangat menyentuh. Saya pun sampai tersihir. Saya hanya berdiri di barisan paling belakang lalu ikut bertepuk tangan riuh ketika anak-anak itu turun panggung.
Sungguh saat itu pujian bergemuruh di sekitar telinga saya, ya tidak lain mereka memuji pementasan musikalisasi pusi tadi.
Bukan guru atau pelatihnya.
Di situlah saya yang waktu itu menjadi guru praktikan di SMP diberi banyak kesempatan untuk memahami makna seorang guru. Menjadi seorang guru berarti belajar keikhlasan, seperti halnya semut hitam kecil di atas batu yang legam. Seorang guru tidak akan iri ketika muridnya melampaui dirinya, bahkan itulah indikator kesuksesan baginya.
Dalam hidup ini setiap orang berhak bermimpi atau bercita-cita kemudian ia memutuskan bahwa ia akan berjuang demi mimpinya atau mengalah pada realita. Kata Dewi Lestari, “Menyerah dan realistis beda tipis”. Tidak hanya satu atau dua orang, tapi sudah tak terhitung Sarjana Pendidikan yang menyerah pada realita. Hanya soal keputusan.
Mengajar bukan perkara mudah yang hanya bisa diselesaikan di atas meja dengan tumpukan berkas-berkas. Mengajar pun bukan profesi yang selesai pada jam kerja saja. Mengajar juga ‘memaksa’ guru untuk terus belajar. Sebab, ada karakter yang harus dibangun, yang tak hanya transfer of knowledge tapi juga transfer of thinking, transfer of method, dan yang terpenting adalah transfer of value.