Wahai separuh jiwaku, semoga engkau selalu berada
dalam lindungan Tuhan. Bila Tuhan menghendakiku untuk bersujud kepadamu,
sungguh engkaulah jembatan surgaku. Kita mesti pahami bersama bahwa kita sudah
bersepakat untuk membangun rumah di dunia dan juga di akhirat. Artinya, kita
harus konsisten untuk menjalani hidup sebagai ibadah.
Suamiku, bukankah dulu sebelum menikah aku sudah
pernah berkata kepadamu bahwa masa depan kita masih suci, tak perlu kau
risaukan masa lalu kita. kita akan sama-sama membuka lembaran putih lalu
menggoreskan lembaran itu dengan pena kesakinahan. Aku juga sudah jelaskan
bahwa aku tak terlalu pandai di dapur, tak terlalu pandai mengatur keuangan,
dan mungkin tak bisa selalu berada di rumah. Banyak yang mengira bahwa aku
seorang perempuan yang career oriented, tapi
kau tak peduli. Kau bilang padaku bahwa kau tahu tujuanku bekerja adalah untuk
beribadah. Sungguh aku sangat terharu atas segala kemaklumanmu kepadamu. Katamu
waktu itu, “Cinta itu sederhana.”
Tak perlu jadi orang paling kaya, kau juga tak
perlu jadi presiden untuk membuatku bahagia. Aku hanya ingin kita membangun
keluarga yang penuh dengan kebarokahan. Kita akan hidup bersama selamanya.
Setelah orang tuaku melepasku kepadamu, ketakzimanku sepenuhnya kupersembahkan
padamu. Ketika subuh, magrib, dan isya kita akan salat berjamaah dan bersalaman
setelah salam. Kucium tanganmu, mengharap ampunanmu pada setiap kekuranganku,
dan kau kecup keningku dengan mesra. Sembari menunggu isya, kau buka kitab suci
dan membacanya bersama-sama denganku.
Bila ada rezeki berlebih kita akan kunjungi tanah
suci bersama. Kita akan melingkari rumah Allah dengan memanjatkan doa
keselamatan untuk keluarga kita. Di tanah suci kita mengkhatamkan Quran dan
bersujud di depan ka’bah. Semoga kita juga bisa mengajak orang tua kita.
Sandaran hatiku, kau yang selalu tersenyum saat
aku menangis lalu kau mengelus kepalaku
dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Kita akan memutuskan segala
sesuatu bersama-sama, bahkan kau sering
membuat kelakar ketika memilih sabun colek di swalayan, “Sabun mana yang akan
kita pilih? Bukankah kita harus menentukannya bersama?” lalu aku pun mencubit
perutmu yang mulai membuncit sambil tersenyum geli. Sebelum tidur kita menatap
langit-langit rumah kita dan menceritakan apa yang terjadi hari ini. Ketika
akhir pekan kita berjalan-jalan ke taman kota, tak usah bermewah-mewah dalam
memilih tempat makan, sebab apa pun yang kita rasakan bersama akan selalu
istimewa.
Suamiku, aku akan melahirkan anak-anak kita lalu
kita besarkan mereka bersama-sama. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama
bagi anak. Kau adalah imam terbaik bagiku, kau adalah kepala sekolah bagi
anak-anak kita dan akulah madrasah bagi mereka. Kau seringkali mengingatkanku, “Sesibuk-sibuknya
kamu membuat pintar anak orang lain jangan sampai lalai untuk memintarkan anak
sendiri.”
Kau jelas pahami betul bahwa ada berjuta impian di
benakku. Aku ingin membangun sekolah bersamamu, aku ingin rumah kita kelak
dipenuhi anak-anak yang belajar di rumah baca kita. Jika sore hari, mereka akan
kembali ke surau di halaman rumah kita untuk belajar mengaji. Sungguh hidup
kita pasti akan barokah.
Bila engkau meridaiku maka rida engkau jugalah
rida Tuhanku. Aku punya impian untuk mengabdikan diri bagi agama melalui
pendidikan. Setelah usiaku 35, saat anak-anak kita sudah beranjak besar dan
keuangan sudah stabil, izinkanlah aku menuntut ilmu kembali di pendidikan
formal. Mungkin aku akan mengambil jurusan kependidikan atau ilmu susastra.
Sesungguhnya dengan mengamalkan ilmu maka hidup kita akan lebih bermanfaat.
Setelah usia kita 45, aku akan meminta izin
kepadamu untuk mengambil pensiun dini, lalu merintis sekolah. Sekolah yang akan
kita bangun adalah sekolah kooperatif. Aku akan banyak belajar tentang
manajemen sekolah dan berusaha membangun relasi yang baik. Sekolah kita tak
akan “mencetak”, tapi inilah yang mengantarkan anak-anak meraih cita-citanya.
Kita tak akan memberatkan orang tua murid dengan beban biaya yang tinggi.
Sekolah kita juga akan difasilitasi guru-guru profesional, tentu dengan
menjamin kesejahteraan mereka. Bukankah kau tahu sendiri banyak sarjana
pendidikan yang hanya digaji 100 ribu rupiah per bulan?
Bila kita sudah pensiun, kita akan bersama-sama
mengunjungi cucu kita dan sampaikan bahwa apa yang kita lakukan bersama adalah
perjuangan. Kita akan tunjukkan pada anak dan cucu kita bahwa hidup tak pernah
bisa sendiri, itu yang membuat kita agar selalu berbagi. Tak peduli apa pun
yang terjadi pada kita dan apa pun yang kita rasakan, hal yang harus kita
lakukan adalah ikhlas, lillahita’ala. Semoga kita bisa memandang wajah Tuhan
bersama, kelak.
Semarang, 9 Februari 2014.
Semoga mimpimu disegerakan oleh Allah yya, Mbag.. Aamiin. :')
BalasHapusngko nek wis nikah "Paaak! kaos kaki dilebokna kumbahaaan! aja nggletak neng ngarep lawang!"
BalasHapus