Senin, 10 Februari 2014

Untuk Suamiku (Kelak)

Wahai separuh jiwaku, semoga engkau selalu berada dalam lindungan Tuhan. Bila Tuhan menghendakiku untuk bersujud kepadamu, sungguh engkaulah jembatan surgaku. Kita mesti pahami bersama bahwa kita sudah bersepakat untuk membangun rumah di dunia dan juga di akhirat. Artinya, kita harus konsisten untuk menjalani hidup sebagai ibadah.
Suamiku, bukankah dulu sebelum menikah aku sudah pernah berkata kepadamu bahwa masa depan kita masih suci, tak perlu kau risaukan masa lalu kita. kita akan sama-sama membuka lembaran putih lalu menggoreskan lembaran itu dengan pena kesakinahan. Aku juga sudah jelaskan bahwa aku tak terlalu pandai di dapur, tak terlalu pandai mengatur keuangan, dan mungkin tak bisa selalu berada di rumah. Banyak yang mengira bahwa aku seorang perempuan yang career oriented, tapi kau tak peduli. Kau bilang padaku bahwa kau tahu tujuanku bekerja adalah untuk beribadah. Sungguh aku sangat terharu atas segala kemaklumanmu kepadamu. Katamu waktu itu, “Cinta itu sederhana.”
Tak perlu jadi orang paling kaya, kau juga tak perlu jadi presiden untuk membuatku bahagia. Aku hanya ingin kita membangun keluarga yang penuh dengan kebarokahan. Kita akan hidup bersama selamanya. Setelah orang tuaku melepasku kepadamu, ketakzimanku sepenuhnya kupersembahkan padamu. Ketika subuh, magrib, dan isya kita akan salat berjamaah dan bersalaman setelah salam. Kucium tanganmu, mengharap ampunanmu pada setiap kekuranganku, dan kau kecup keningku dengan mesra. Sembari menunggu isya, kau buka kitab suci dan membacanya bersama-sama denganku.
Bila ada rezeki berlebih kita akan kunjungi tanah suci bersama. Kita akan melingkari rumah Allah dengan memanjatkan doa keselamatan untuk keluarga kita. Di tanah suci kita mengkhatamkan Quran dan bersujud di depan ka’bah. Semoga kita juga bisa mengajak orang tua kita.
Sandaran hatiku, kau yang selalu tersenyum saat aku menangis lalu kau  mengelus kepalaku dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Kita akan memutuskan segala sesuatu bersama-sama, bahkan  kau sering membuat kelakar ketika memilih sabun colek di swalayan, “Sabun mana yang akan kita pilih? Bukankah kita harus menentukannya bersama?” lalu aku pun mencubit perutmu yang mulai membuncit sambil tersenyum geli. Sebelum tidur kita menatap langit-langit rumah kita dan menceritakan apa yang terjadi hari ini. Ketika akhir pekan kita berjalan-jalan ke taman kota, tak usah bermewah-mewah dalam memilih tempat makan, sebab apa pun yang kita rasakan bersama akan selalu istimewa.
Suamiku, aku akan melahirkan anak-anak kita lalu kita besarkan mereka bersama-sama. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Kau adalah imam terbaik bagiku, kau adalah kepala sekolah bagi anak-anak kita dan akulah madrasah bagi mereka. Kau seringkali mengingatkanku, “Sesibuk-sibuknya kamu membuat pintar anak orang lain jangan sampai lalai untuk memintarkan anak sendiri.”
Kau jelas pahami betul bahwa ada berjuta impian di benakku. Aku ingin membangun sekolah bersamamu, aku ingin rumah kita kelak dipenuhi anak-anak yang belajar di rumah baca kita. Jika sore hari, mereka akan kembali ke surau di halaman rumah kita untuk belajar mengaji. Sungguh hidup kita pasti akan barokah.
Bila engkau meridaiku maka rida engkau jugalah rida Tuhanku. Aku punya impian untuk mengabdikan diri bagi agama melalui pendidikan. Setelah usiaku 35, saat anak-anak kita sudah beranjak besar dan keuangan sudah stabil, izinkanlah aku menuntut ilmu kembali di pendidikan formal. Mungkin aku akan mengambil jurusan kependidikan atau ilmu susastra. Sesungguhnya dengan mengamalkan ilmu maka hidup kita akan lebih bermanfaat.
Setelah usia kita 45, aku akan meminta izin kepadamu untuk mengambil pensiun dini, lalu merintis sekolah. Sekolah yang akan kita bangun adalah sekolah kooperatif. Aku akan banyak belajar tentang manajemen sekolah dan berusaha membangun relasi yang baik. Sekolah kita tak akan “mencetak”, tapi inilah yang mengantarkan anak-anak meraih cita-citanya. Kita tak akan memberatkan orang tua murid dengan beban biaya yang tinggi. Sekolah kita juga akan difasilitasi guru-guru profesional, tentu dengan menjamin kesejahteraan mereka. Bukankah kau tahu sendiri banyak sarjana pendidikan yang hanya digaji 100 ribu rupiah per bulan?
Bila kita sudah pensiun, kita akan bersama-sama mengunjungi cucu kita dan sampaikan bahwa apa yang kita lakukan bersama adalah perjuangan. Kita akan tunjukkan pada anak dan cucu kita bahwa hidup tak pernah bisa sendiri, itu yang membuat kita agar selalu berbagi. Tak peduli apa pun yang terjadi pada kita dan apa pun yang kita rasakan, hal yang harus kita lakukan adalah ikhlas, lillahita’ala. Semoga kita bisa memandang wajah Tuhan bersama, kelak.


Semarang, 9 Februari 2014.

2 komentar:

  1. Semoga mimpimu disegerakan oleh Allah yya, Mbag.. Aamiin. :')

    BalasHapus
  2. ngko nek wis nikah "Paaak! kaos kaki dilebokna kumbahaaan! aja nggletak neng ngarep lawang!"

    BalasHapus