“Saya pernah hampir gila waktu mempelajari hal ini,” kata seorang ustaz yang belajar ilmu filsafat islam sampai jenjang doktoral. Pernyataan itulah yang terus menghantuiku, bahkan sampai terlintas pemikiran bodoh, “Opo aku kudu edan sik ben nemu sopo aku? Opo agamaku?”
Obrolanku semalam via BBM dengan sahabatku, Yosnia, tentang makna Islam, Islami, keislam-islaman, dan keislaman pun yang masih terbayang-bayang sampai saat ini. Apakah Islam sama dengan Islami? Samakah dengan keislam-islaman dan keislaman? Bagaimana hakikatnya? Lalu, “Apakah kau menganut agama? Memeluk agama? Atau bersetubuh dengan agamamu?”
Pengajian tadi pagi di TK ABA juga membuatku semakin dalam memikirkan tentang teka-teki ini. Ada tiga hal yang diberantas Akhmad Dahlan dalam perjuangannya yakni taqlid, bid’ah, dan khufarat. Islam tidak menganut paham tahayul atau hal-hal yang mengultuskan suatu hal selain Allah. Islam tidak mengajarkan tentang perhitungan pernikahan, ramalan, dan hal-hal yang mengarah pada kesyirikan.
Well, akhir-akhir ini entah kenapa saya seringkali dihadapkan pada hal-hal yang bersifat klenik seperti mitos sempak yang katanya berfungsi menangkal genderuwo, sempak yang dapat mengobati jerawat, dan seseorang yang mengirimiku ketela dan aqua, serta pendamping (jin) untuk menjagaku.
Seniorku pernah berkata, “Ada hubungan kausalitas ajaran agama dengan hal-hal yang bersifat ilmiah lalu kalau kita sangkut pautkan dengan ajaran Kejawen pun tidak semuanya berseberangan.” Misalnya sunah Rasul untuk berpuasa Senin-Kamis, ternyata ada kaitannya dengan ajaran Kejawen tentang puasa pada weton kelahiran –meskipun weton konon sebenarnya diciptakan untuk kepentingan perdagangan. Hal lain adalah itung-itungan, yang kalau kita cerna sebenarnya bermula dari ilmu titen, bukankah ada persamaan dengan metodologi penelitian saat ini? Atau, tentang peristiwa Isra Mi’raj, yang tidak dijelaskan secara lugas, “Apakah benar Rasulullah ke langit tujuh lengkap dengan raganya? Atau hanya jiwanya?” lalu apa kaitannya dengan ilmu kejawen meraga sukma?
Kabarnya saat ini di Amerika muncul Jurusan Ilmu Metafisika. Metafisika bukan lagi hal yang dianggap tidak ilmiah, bahkan sangat bisa dijelaskan secara rasional. Pada zaman dulu, para prajurit yang pergi berperang tidak akan membawa bekal makanan yang berlebih. Ketika kelaparan, mereka akan melakukan ritual “transfer makanan” dari kerajaan ke lokasi perang. Cara itulah yang menginspirasi orang-orang untuk melakukan tindakan santet dengan melakukan transfer paku, pisau, dan benda-benda tajam ke dalam tubuh seseorang.
Tidak hanya itu, Ramalan Jayabaya pun bisa jadi sesuai untuk dijelaskan secara ilmiah. Tentang dinamika kehidupan yang ternyata bersifat dialektik. Atau jangan-jangan teori degenerasi tentang semesta yang sebenarnya mengalami kemunduran, memang benar adanya. Mungkin benar apa kata kawanku, kita mungkin tak bisa memahami hal-hal yang dipercaya kaum tua karena “jarak” kebudayaan yang terlalu jauh. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kemajuan teknologi yang sangat berkembang selama tiga puluh tahun terakhir ini.
Bapak rasionalitas, Rene Descartes menganut paham bahwa segala hal dapat dijelaskan secara rasional, dengan kesangsian metodis. Apakah segala hal bersifat rasional? Entahlah.
keren bu meina.. :)
BalasHapusyh biasa mbahas bginian si mas Sabrang noh, dia lulusan matematika dan fisika juga putranya pak Emha yauis cocok lah
BalasHapus