Jatuh cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Bagi anak SMP, cinta adalah pura-pura izin ke kamar kecil waktu pelajaran, padahal cuma ingin lewat di depan kelasnya. Bagi anak SMA, cinta mungkin sekadar antar-jemput kosan dan sekolah. Bagi anak kuliahan cinta mungkin sekadar menonton bioskop bersama. Atau, kata novel remaja, cinta adalah perasaan yang bisa membuat kamu deg-degan waktu melihatnya. Cinta orang dewasa adalah bagaimana cara menyatukan dua keluarga. Itulah bagian dari tujuan menikah.
Pendekatan psikologis dibutuhkan untuk mempelajari karakter dan kepribadian si calon. Sedangkan, pendekatan sosio-kultural yang seharusnya digunakan untuk mempelajari kebiasaan keluarga dan lingkungan sekitar si calon. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan metode yang benar. Jangan sampai kita menggeneralisasikan secara sepihak karakter sebuah keluarga berdasarkan konklusi yang prematur. Di situlah kita harus melakukan persuasif yang benar. Tentu usaha itu harus disesuaikan dengan keadaan sosio-kultural sang objek.
Idealisme yang dulu ingin mendapatkan pasangan yang sempurna entah mengapa begitu bergeser. Mungkin ini sebuah penyadaran diri bahwa: kadang kita merasa bahwa diri ini adalah sosok yang sempurna. Pergeseran itu mengarah pada tindakan untuk menemukan orang yang mampu menerima ketidaksempurnaan kita. Saya mungkin tidak pernah terlalu bersusah-susah mencari pekerjaan, juga tak perlu bersusah-susah mencari uang, tak perlu juga bersusah-susah untuk bertahan hidup. Namun, kenyamanan itulah yang yang tidak boleh membuat kita silau pada diri kita sendiri.