Senin, 17 November 2014

What Should We Do?

Berdiskusi dengan pacar memang hal yang menarik. Apalagi pacar yang memiliki daya intelektual tinggi. Satu-satunya laki-laki yang berani membanting buku di depan saya dan mengatakan, “Saya capek berdiskusi dengan orang yang tidak intelek.” Lalu, saya hanya cengar-cengir, garuk-garuk kepala, merasa bodoh, lantas kembali cuek dan lanjut bermain facebook sambil ngakak-ngakak sendiri. Maap ye...

Dia mengambil studi seni, sedangkan saya bahasa dan sastra. Dua disiplin ilmu yang kata orang, “Belajar seni dan sastra, mau jadi apa?” 

Baiklah, jangan anggap ini adalah tulisan berbobot dan solutif. Tulisan-tulisan di blog saya memang propokatif dan menipu (katanya). Pacar saya saja heran. Saya menjelma laksana perempuan idaman di blog ini. Padahal di rumah, saya duduk nyingkrang, berbicara ketika mulut penuh makanan, dan sangat cuek. Saya pernah beberapa kali mendapat SMS dan surel dari pengikut blog saya atau orang yang tersesat membaca blog saya dari google, mereka menyatakan persetujuan atau kekaguman kepada saya. Preeet! Kata pacar saya itu pembohongan publik besar-besaran. Bahkan, kata  si pacar tulisan saya ini dinilai tidak intelektual, sangat populer, dan tidak ada bobot keilmuannya, hahahha... yawis karepmulah.

Asal tahu saja, seumur-umur saya tidak pernah mengatakan, cinta, sayang atau apalah pada pacar saya. Dan kami tidak pernah jadian. Dia juga mungkin kaget saya menyebutnya sebagai pacar di sini. Ya biar dia seneng pas baca blog. Emmm sebenarnya sih saya nggak mau pacaran, tapi bagaimana lagi manusia kan tidak bisa lepas dari salah dan khilaf (hahaha), tapi InsyaAllah setelah saya lulus S-2 saya akan dilamar, aamiin.

Oke mari kembali ke jalan yang benar. Saya pernah bertanya pada pacar saya, “Kalau anakmu akan berkuliah di Jurusan Sastra Rusia, apa kamu akan memperbolehkannya?” 
Dia mengangguk. “Ya, tentu boleh karena saya mengalami hal yang sama. Siapa sih yang mau masuk jurusan seni? Tapi saya bisa dan mampu berdikari.”
“Kalau ada tetanggamu yang menanyakan hal itu?”
“Tidak akan saya rekomendasikan karena saya tidak tega.”

Kalau dipikir-pikir ilmu itu lebay. Kenapa sastra dan seni harus menjadi sebuah ilmu. Kenapa harus ada filsafat? Apakah setelah menggambar, baca novel, atau khatam teori Socrates lantas hidup kita berubah? Apakah setelah menulis novel tiba-tiba orang-orang jadi lebih alim dari sebelumnya?
Pernah suatu saya membaca status facebook kawan saya. “Seorang ibu mengatakan kepada anaknya: boleh bermain musik tapi jangan sampai lupa pelajaran sekolahmu ya Nak.”
Hahaha, bukankah itu adalah hal yang lucu? Bila seni dan sastra masuk dalam mata pelajaran di sekolah, kenapa harus dinomorduakan? Kenapa bila seni dan sastra tidak dianggap sebagai hal yang bisa digunakan untuk mendapat pekerjaan dan mencari uang, tapi masih dibelajarkan di sekolah? Bubarkan saja bubar bubar... (terus aku nganggur nek ngono, ojo bubar ding).

“Itulah Dhek, kenapa saya kadang merasa berdosa ketika mengajar di depan mahasiswa. Saya mengajari teknik melukis tapi lukisan itu tak pernah mampu menghidupi mereka. Saya sendiri bingung harus berbuat apa. Kondisi saat ini memang lucu, banyak orang yang bekerja di kantor, jadi pegawai bank untuk menghidupi seni. Mengapa seni itu tak mampu menghidupi mereka? Mengapa seni masih menjadi sesuatu yang dikesampingkan?”

“Ya sudah, mari kita ngopi dulu biar tidak gemblung.”

5 komentar:

  1. mb kok pacaran sih, padahal mb ini idaman saya loh. :") terus tulisan ini arah dan tujuannya apa yach? sa ndak paham. sepertinya ntap dan warbiyasak hingga sa tercenung tak bisa berkata-kata :"""""))))

    BalasHapus
  2. mbak, saya adalah silent readear blognya mbak Meina. Alhamdulillah mbak kalau sudah sekarang sudah menemukan pujaan hati. semoga semuanya lancar.
    ngomong-ngomong mbak, orang yang mbak sebut sebagai pacar itu adalah ilustrator yang membuat ilustrasi di buku dongeng mbak?

    BalasHapus
  3. itulah, saya sudah berkali-kali bertemu dengan orang yang tulisanya sangat jauh berbeda dengan kenyataan dirinya. penuh pencitraan dan dikagumi, saya juga kagum, kagum sekali dengan kamuflase nya memelintir bahasa. tapi kamu sih Insya Alloh enggak min, I know u.
    Berarti, harus ada matakuliah kewirausahaan seni kayaknya. Banyak kok ilustrator kaya raya.

    BalasHapus