Jumat, 21 November 2014

Cinta Orang Dewasa


Jatuh cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Bagi anak SMP, cinta adalah pura-pura izin ke kamar kecil waktu pelajaran, padahal cuma ingin lewat di depan kelasnya. Bagi anak SMA, cinta mungkin sekadar antar-jemput kosan dan sekolah. Bagi anak kuliahan cinta mungkin sekadar menonton bioskop bersama. Atau, kata novel remaja, cinta adalah perasaan yang bisa membuat kamu deg-degan waktu melihatnya. Cinta orang dewasa adalah bagaimana cara menyatukan dua keluarga. Itulah bagian dari tujuan menikah.

Pendekatan psikologis dibutuhkan untuk mempelajari karakter dan kepribadian si calon. Sedangkan, pendekatan sosio-kultural yang seharusnya digunakan untuk mempelajari kebiasaan keluarga dan lingkungan sekitar si calon. Hal-hal itu harus dilaksanakan dengan metode yang benar. Jangan sampai kita menggeneralisasikan secara sepihak karakter sebuah keluarga berdasarkan konklusi yang prematur. Di situlah kita harus melakukan persuasif yang benar. Tentu usaha itu harus disesuaikan dengan keadaan sosio-kultural sang objek.

Idealisme yang dulu ingin mendapatkan pasangan yang sempurna entah mengapa begitu bergeser. Mungkin ini sebuah penyadaran diri bahwa: kadang kita merasa bahwa diri ini adalah sosok yang sempurna. Pergeseran itu mengarah pada tindakan untuk menemukan orang yang mampu menerima ketidaksempurnaan kita. Saya mungkin tidak pernah terlalu bersusah-susah mencari pekerjaan, juga tak perlu bersusah-susah mencari uang, tak perlu juga bersusah-susah untuk bertahan hidup. Namun, kenyamanan itulah yang yang tidak boleh membuat kita silau pada diri kita sendiri. 


Baru saja saya melihat FTV. Pada FTV itu diceritakan kisah lima orang anak yang sudah menikah. Empat orang di antaranya menjadi orang kaya, sedangkan si bungsu menjadi orang yang hidup kekurangan. Nemun, tabiat empat orang kakak tersebut begitu buruk, perbuatan mereka ketika bertemu dengan si bungsu hanyalah meledek kemiskinannya. Mereka lebih setuju bila si bungsu menikah dengan seorang pengusaha minyak, bukan supir taksi. Entah apa pertimbangan si bungsu, ia memilih hidup sederhana dan tidak neko-neko. Ketika mudik, keempat kakak tidak ada yang datang dengan personel lengkap keluarganya masing-masing. Namun, si bungsu selalu hadir dengan keluarganya yang lengkap. Suaminya yang seorang supir taksi selalu ada untuk menemani. Resolusi FTV tersebut yang membuat saya sangat terharu. Di situlah sang orang tua menunjukkan kemenangan si bungsu. Keluarga mereka memiliki adat membuka bingkisan dari anak-anak mereka setelah salat ied. Rupanya, pakaian yang dipilih ayah-ibu adalah bingkisan yang diberikan oleh si bungsu. Pakaian sederhana yang dibeli secara kredit. “Nak, engkaulah pemenangnya, penerimaan dan kesabaranmu itulah yang sesungguhnya kebahagiaan yang hakiki,” ucap sang ibu pada si bungsu.

Ada keluarga yang punya orientasi pada kesuksesan duniawi semata. “Tak apalah kalaupun tak kumpul yang penting dapat uang untuk kita nikmati bersama.” Namun, ada juga yang berprinsip, “Meskipun hanya makan nasi sambal tapi yang penting bisa kumpul.”

Itulah bahan  renungan saya hari ini. Bisa jadi kita suka dengan seseorang hanya karena “silau” pada wajahnya, pekerjaannya, uangnya, atau hal-hal keduniawian lainnya. Padahal, itu hanyalah sesuatu yang fana. Belum tentu, ketika hal itu pudar dan kita masih mau menerimanya. Mungkin saya belum pernah mejalani fase kehidupan yang begitu berat, inilah yang harus saya waspadai. Sebab, menemukan orang yang mau menerima kita dalam keadaan yang paling tidak sempurna itulah yang pantas dikatakan sebagai penemuan sejati. Benarkah cinta itu akan membawa kita pada kemenangan hakiki?

2 komentar:

  1. Yak tul, aku seorang penganut makan dan makan ngumpul!

    BalasHapus
  2. setuju banget untuk berkeluarga yang langeng juga di butuhkan kesabaran yang tinggi dari semua pihak.
    numpang promo ya
    http://agen-bola-sbobet-jagad303.blogspot.com/

    BalasHapus