Sabtu, 27 Desember 2014 di Batu Malang.
Sore itu gerimis merintik membasahi Batu yang hampir selalu basah. Selama
tiga hari saya di sana, tak pernah ada hari tanpa hujan. Entah sebab musim
hujan atau memang Batu sudah ditakdirkan sebagai kota hujan. Meskipun selalu basah,
pesona Batu tak pudar. Batu menyimpan kenangan manis setiap saya melihat rintikan
gerimis di mana pun.
Gerimis akhir tahun ini juga menyimpan kisah singkat antara kami dan
sepasang penjual mangga. Kala itu, kami sedang berjalan dari Alun-Alun Batu
menuju pangkalan taksi. Sepanjang jalan banyak sekali penjual yang menawarkan
barang dagangannya.
“Mas, Mba mau mangga? Murah dan manis lo,” kata ibu penjual mangga.
Kami pun berhenti. Kami berdua sama-sama penggemar buah mangga.
“Boleh Bu, bisa kami cicipi dulu?” tanya saya.
“Oh boleh,” kata ibu penjual sambil memberikan kode pada partnernya yang sepertinya adalah
suaminya. Penjual laki-laki itu lantas memberikan potongan mangga pada kami.
“Hm.. manis, boleh lah kami ambil, satu kilo saja Bu,” kata pacar
saya.
“Satu kilo sepuluh ribu Mas, biasanya dapat dua mangga,” kata sang
penjual laki-laki.
“Mahal Mas.”
“Nggak apa-apa Dek, anggap saja ini rezeki mereka,” jawab pacar saya.
Aku mengangguk dan kami memilih dua buah mangga yang akan kami beli.
“Ini Bu,” kata saya sambil menyerahkan dua buah mangga.
Sesaat setelah menerima mangga dari saya, ibu penjual mangga
menimbangnya. “Ini pas satu kilo ya Mbak.”
Saya mengangguk dan mengobrol dengan pacar saya.
Aaaah, saya tidak tahu kenapa, entah ibu penjual menganggap kami
sedang lengah. Dia menukar satu buah mangga yang sudah kami pilih dengan mangga
yang lain dari keranjang yang berbeda. Ibu penjual seperti memberi kode khusus
pada suaminya.
“Monggo,” kata ibu penjual.
“Loh tadi kok mangganya diganti Bu?” tanya saya.
“Itu sama kok Mbak,” jawab ibu penjual kagok.
“Oh gitu ya,” pamit saya. Kala itu, saya sedang malas berdebat karena
terburu-buru masuk taksi.
Di taksi, kami membahas peristiwa tersebut. Saya membuka kresek
pembungkus mangga. Dua mangga di tangan saya, yang satu sudah masak, yang satu
masih sangat keras.
“Mas, yang ditukar yang ini,” kata saya sambil menyerahkan mangga yang
belum masak pada pacar saya.
“Iya biarkan saja Dik, anggap itu sebagai catatan kita.”
Sebuah catatan yang akan terus membekas di hati kami. Kejujuran adalah
harta yang tak ternilai. Kejujuran adalah kunci keberkahan rezeki. Sepasang penjual
yang mencoba untuk berbuat curang dengan alasan yang menurut kami sangat tidak
cerdas. Kami menduga, dua keranjang milik mereka memang berisi mangga yang
memiliki kadar kematangan yang berbeda. Kami tidak habis pikir mengapa mereka
dengan sengaja menukar mangga kami dengan mangga yang sudah jelas-jelas tidak
masak. Bukankah itu berarti mereka menyisakan banyak mangga yang masak? Lalu bagaimana
kalau busuk? Aaah, Rasulullah selalu mengajarkan kepada kita untuk jujur terhadap
barang dagangan.
Tidak usah jauh-jauh bicara tentang korupsi oleh menteri atau anggota
DPR. Hal kecil itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Duh, jadi penasaran sama pacar barunya Mbak Meina. :D
BalasHapus1. mangga 10 ribu itu nggak mahal, emang segitu kali buu.... *emakemaktaubangethargamangga
BalasHapus2. seringkali yang terjadi adalah sikap apatis membiarkan kemungkaran terjadi, gimana kalo si ibu itu mengira semua pembeli bersikap seperti kalian dan si ibu akan melakukan itu berulang kali..
3.sial, tulisan ini bikin aku emosi, mana sinih si tukang mangganya? jejelin pelok mangga nih!