Saya pernah berkata pada teman dekat saya, “Bagaimana ya fenomena
orang yang mahir membaca Quran tapi maksiat tetap jalan?”
“Bukankah keterampilan beragama bisa jadi berbeda dengan pemahaman
ketuhanan?”
Kadang saya suka merenung.
“Apa sih hakikat hidup beragama?”
“Kok bisa ya ada orang yang
sangat baik, suka bersedekah, rajin salat tapi pemahaman tentang teori tentang agama sangat rendah.”
“Bagaimana ya kok ada orang
yang memiliki pemahaman teori tentang agama yang sangat baik, tahu hukum
ini-itu tapi perbuatannya banyak merugikan orang lain
Dan kita tak pernah tahu mana yang lebih
baik.
Pernah suatu kali saya berdiskusi dengan senior saya di tempat kerja. Kata
beliau mempelajari ilmu selain agama adalah mubah, yang wajib adalah ilmu agama
karena itulah yang akan menyelamatkan kita. Waktu itu saya tak memiliki cukup argumen
untuk menanggapi. Namun, bukankah Allah berjanji dalam Al Mujadalah-11 bahwa
Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Ya, apa pun ilmu itu, saya
yakin akan mendatangkan keberkahan selama dimanfaatkan untuk kebaikan.
Ada juga orang yang dianggap alay
atau dianggap salah tapi entahlah, mungkin
itu memang menjadi jalan hidupnya. Saya punya teman, sebentar lagi menikah. Namun,
tiba-tiba dia membatalkan pernikahannya, mengembalikan barang lamaran, dan
memutuskan semuanya hanya karena seorang lelaki yang baru ia kenal satu bulan.
Semua orang mungkin menganggap ia jahat, tak berperasaan. Namun, siapa tahu
peristiwa itu justru yang membuat ia semakin berpikir dewasa.
Lain lagi cerita temanku yang lain. Ketika dia bingung memutuskan
untuk memilih pekerjaan. Banyak sekali orang yang menyayangkan dirinya resign dari pekerjaan yang dia anggap
mapan. Tapi, di sanalah sisi kebahagiaan yang sempat hilang dan ia temukan
kembali. Di sana ia banyak belajar kalau yang dianggap prestisius belum tentu
menawarkan kebahagiaan bagi dirinya.
Guys, saya pun semakin
memahami tentang kebenaran-kebenaran fatwa pada era postmodernisme ini. Pada kasus
tertentu kita tak bisa menghakimi dan mengklaim kebenaran begitu mudahnya. Kebenaran
pada hal-hal tertentu memang tak pernah mutlak. Sejatinya dalam kehidupan
manusia, mereka selalu belajar. Belajar dengan mengulang kesalahan kemudian
memahami rumusan kebenaran. Belajar bahwa yang baik menurut orang lain belum
tentu sesuai dengan porsi kebutuhan bagi dirinya. Yah, itulah yang dikatakan
perjalanan spiritual manusia. sebuah perjalanan untuk menemukan rumusan hidup dan
kehidupan yang terbaik bagi dirinya. Rumusan spiritual yang mendamaikan
dirinya.
Pada sebuah percakapan tadi siang, hati saya pun kembali berdesir. Sebuah
desiran yang mengingatkan saya pada perjalanan spiritual.
“Dik, terima kasih, sejak mengenalmu saya semakin ingin menyempurnakan
salat saya.”
“Maksudnya?”
“Saya malu, saya memiliki pemahaman teori tentang agama yang jauh
lebih baik dari kamu tapi kamu memiliki pemahaman ketuhanan yang lebih baik
dari saya. Berkat kamu, saya paham apa arti saling melengkapi. Semoga Tuhan
meridai kita dan memantapkan kita untuk selalu meluruskan niat.”
Aamiin.
Aaah pada lain kesempatan
pun saya teringat obrolan ibu-ibu rumpi.
“Eh ini kok gini ya harusnya gini gini gini, itu kan salah. Bal bla bla bla.”
“Sebagai orang lain, kita memang hanya memiliki kapasitas untuk
berkomentar. Biarlah apa yang dia lakukan (yang dianggap salah) kelak menjadi
sebuah perjalanan spiritualnya, untuk menemukan rumusan terbaik dalam hidupnya,”
tutup saya.
Semarang, 22 Februari 2015
Setelah usia 25, sebuah perjalanan spiritual yang menakjubkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar