Minggu, 22 Februari 2015

Perjalanan Spiritual

Saya pernah berkata pada teman dekat saya, “Bagaimana ya fenomena orang yang mahir membaca Quran tapi maksiat tetap jalan?”
“Bukankah keterampilan beragama bisa jadi berbeda dengan pemahaman ketuhanan?”

Kadang saya suka merenung.
“Apa sih hakikat hidup beragama?”
Kok bisa ya ada orang yang sangat baik, suka bersedekah, rajin salat tapi pemahaman  tentang teori tentang agama sangat rendah.”
“Bagaimana ya kok ada orang yang memiliki pemahaman teori tentang agama yang sangat baik, tahu hukum ini-itu tapi perbuatannya banyak merugikan orang lain
Dan kita tak pernah tahu mana yang lebih baik.

Pernah suatu kali saya berdiskusi dengan senior saya di tempat kerja. Kata beliau mempelajari ilmu selain agama adalah mubah, yang wajib adalah ilmu agama karena itulah yang akan menyelamatkan kita. Waktu itu saya tak memiliki cukup argumen untuk menanggapi. Namun, bukankah Allah berjanji dalam Al Mujadalah-11 bahwa Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Ya, apa pun ilmu itu, saya yakin akan mendatangkan keberkahan selama dimanfaatkan untuk kebaikan.

Ada juga orang yang dianggap alay atau dianggap salah tapi entahlah, mungkin itu memang menjadi jalan hidupnya. Saya punya teman, sebentar lagi menikah. Namun, tiba-tiba dia membatalkan pernikahannya, mengembalikan barang lamaran, dan memutuskan semuanya hanya karena seorang lelaki yang baru ia kenal satu bulan. Semua orang mungkin menganggap ia jahat, tak berperasaan. Namun, siapa tahu peristiwa itu justru yang membuat ia semakin berpikir dewasa.

Lain lagi cerita temanku yang lain. Ketika dia bingung memutuskan untuk memilih pekerjaan. Banyak sekali orang yang menyayangkan dirinya resign dari pekerjaan yang dia anggap mapan. Tapi, di sanalah sisi kebahagiaan yang sempat hilang dan ia temukan kembali. Di sana ia banyak belajar kalau yang dianggap prestisius belum tentu menawarkan kebahagiaan bagi dirinya.

Guys, saya pun semakin memahami tentang kebenaran-kebenaran fatwa pada era postmodernisme ini. Pada kasus tertentu kita tak bisa menghakimi dan mengklaim kebenaran begitu mudahnya. Kebenaran pada hal-hal tertentu memang tak pernah mutlak. Sejatinya dalam kehidupan manusia, mereka selalu belajar. Belajar dengan mengulang kesalahan kemudian memahami rumusan kebenaran. Belajar bahwa yang baik menurut orang lain belum tentu sesuai dengan porsi kebutuhan bagi dirinya. Yah, itulah yang dikatakan perjalanan spiritual manusia. sebuah perjalanan untuk menemukan rumusan hidup dan kehidupan yang terbaik bagi dirinya. Rumusan spiritual yang mendamaikan dirinya.

Pada sebuah percakapan tadi siang, hati saya pun kembali berdesir. Sebuah desiran yang mengingatkan saya pada perjalanan spiritual.
“Dik, terima kasih, sejak mengenalmu saya semakin ingin menyempurnakan salat saya.”
“Maksudnya?”
“Saya malu, saya memiliki pemahaman teori tentang agama yang jauh lebih baik dari kamu tapi kamu memiliki pemahaman ketuhanan yang lebih baik dari saya. Berkat kamu, saya paham apa arti saling melengkapi. Semoga Tuhan meridai kita dan memantapkan kita untuk selalu meluruskan niat.”
Aamiin.

Aaah pada lain kesempatan pun saya teringat obrolan ibu-ibu rumpi.
“Eh ini kok gini ya harusnya gini gini gini, itu kan salah. Bal bla bla bla.”
“Sebagai orang lain, kita memang hanya memiliki kapasitas untuk berkomentar. Biarlah apa yang dia lakukan (yang dianggap salah) kelak menjadi sebuah perjalanan spiritualnya, untuk menemukan rumusan terbaik dalam hidupnya,” tutup saya.

Semarang, 22 Februari 2015
Setelah usia 25, sebuah perjalanan spiritual yang menakjubkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar