Setelah berkutat dengan pikirian “diimpikan” dan “dikagumi”, akhirnya aku menemukan sosok perempuan yang pantas dinobatkan sebagai perempuan yang diimpikan dan dikagumi, dia adalah Hasri Ainun Habibie.
Petikan tulisan Ainun pada buku A. Makmur Makka hal.386.
“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan kepada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya ketambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya? Anak saya tidak akan mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu.”
Setelah dua anak Habibie-Ainun sudah mulai besar, Ainun kembali bekerja sebagai seorang dokter. Tiba-tiba Thareq, putra keduanya jatuh sakit. Ainun mengalami kebimbangan yang luar biasa, dia harus merawat orang lain yang sakit tapi ia tak dapat merawat buah hatinya sendiri.
Petikan tulisan Ainun pada buku A. Makmur Makka hal.387.
“Thareq lahir pada waktu kami di Hamburg. Anak-anak tumbuh dengan cepat. Musim pun berganti : pakaian anak harus diperbarui tiap musim. Mereka harus sekolah. Keluarga bertambah. Biaya asuransi meningkat, timbul kebutuhan baru: membeli rumah kami tidak tahu berapa lama kami harus terus merantau.
Setelah Thareq agak besar, sudah berumur 4 tahun saya memberanikan diri bekerja. Memang terasa suatu keputusan tersendiri. Saya profesional. Saya mandiri. Penghasilan pun lebih dari cukup : hampir mengimbangi penghasilan suami. Saya bisa membantu suami membeli tanah dan rumah di Kakerbeck. Juga di desa. Juga jauh dari kota. Waktu berumur 6 tahun, Thareq sakit keras. Dan terasa ada suatu yang mengganjal, sehari-hari mengurusi anak orang lain padahal anak sendiri tidak terawat. Maka kembalilah saya pada falsafah hidup sewaktu di Oberforstbach : falsafah hidup mengutamakan anak dan keluarga daripada mencari kepuasan profesional dan penghasilan tinggi. Menyesalkah saya mengambil keputusan itu?menyesalkah saya berketetapan menjadi pecinta, istri, dan ibu?”
Ainun akhirnya berhenti bekerja, kemudian ia mengabdikan diri menjadi seorang perempuan sejati. Dia adalah sosok perempuan yang selalu tersenyum dengan damai walau ia lelah. Ia adalah seorang perempuan yang diimpikan karena memiliki hakikat sebagai seorang perempuan sejati. Dia adalah seorang perempuan yang dikagumi, dikagumi oleh suami, anak-anak, keluarga, dan orang-orang yang terinspirasi olehnya. Perempuan yang sangat cerdas, tetapi tidak memberati hobi dan profesionalismenya sebagai seorang lulusan Fakultas Kedokteran UI, tetapi lebih mengutamakan perannya sebagai seorang perempuan yang dikagumi dan diimpikan karena falsafah hidupnya.
Hari itu aku pulang dari kantor dalam kondisi sangat lesu. Sudah berpuluh-puluh kaleng di trotoar yang kutendang. Dalam hati bergerumuh tentang kesadaran masyarakat Jakarta pada kebersihan dan membuang sampah. Padahal mereka seringkali mengeluh apabila banjir datang yang sebenarnya juga kesalahan mereka sendiri.
Berbicara soal kesadaran, aku baru saja kena PHK. Padahal sudah sepuluh tahun lebih aku bekerja di pabrik tekstil itu. Tapi apa daya, sekarang sering sekali terjadi pemadaman listrik tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mesin-mesin yang sedang dipakai sering terhenti karena tidak ada aliran listrik. Alhasil pabrik merugi dan Koh Ali pun harus melakukan PHK buruh untuk menyelamatkan kelangsungan pabrik tekstilnya. Apesnya dirikulah yang berhasil tertendang dari beberapa jajaran nama buruh yang ada.
Hal yang paling aku sesali adalah dimana kesadaran Koh Ali? Di luar tampak manis tapi dalamnya busuk. Kesadaran yang mungkin sudah dicabut oleh malaikan Izrail dari dalam pikiran Koh Ali. Kenapa mesti aku yang kena PHK? Jelas-jelas aku yang selalu lembur, bekerja dari pagi hingga ba’da Isya, walau tanpa uang lembur pun kadang masih aku jabanin juga. Jelas-jelas aku yang selalu datang paling awal dan pulang paling akhir. Jelas-jelas aku yang sering kali mengantar Cih Weni istri Koh Ali belanja ke pasar kliwon, membawakan keranjang belanjaannya, aku pun rela berdesak-desakan di pasar yang berbau anyir itu.
Kenapa Koh Ali tak berpikir panjang, dia malah lebih mengutamakan Joyo, karyawan baru yang katanya insinyur itu. Alasan Koh Ali katanya Joyo jauh lebih muda dari aku, apalagi dia insinyur pastilah lebih pandai dari aku yang hanya lulusan SMP. Padahal buat apa buruh potong kain di pabrik tekstil kudu mengantongi ijazah insinyur, yang dibutuhkan hanyalah ketrampilan dan pengalaman seperti yang aku punya, karena sudah lebih dari sepuluh tahun menggeluti bidang itu. Tapi kenapa Joyo tak melamar jadi tukang mesin saja. Jangan-jangan dia takut ketahuan kalau ijazahnya palsu. Usut punya usut ternyata Joyo adalah keponakan cih Weni, hm...ternyata nepotisme masih berlaku di negeri ini.
Rasa marah, kecewa, bingung campur aduk menjadi satu dalam otakku. Mungkin apabila rasa-rasa itu adalah larutan kimia, pastilah campurannya sudah meledak di otakku.
Sekarang aku masih berpikir tentang apa yang harus ku katakan pada istriku kalau aku ini sudah tidak punya pekerjaan lagi. Apa mungkin aku harus menggantungkan semua beban dan kebutuhan pada istriku yang hanya berjualan gado-gado. Apakah aku harus berpura-pura berangkat pagi dan pulang malam seperti biasa dan mengatakan pada istriku bahwa semua masih berjalan normal, atau aku harus berkata jujur walau itu pahit? Duh gusti, berikanlah kemudahan pada diriku untuk menghadapi semua ini.
Jarum jam sudah membentuk sudut 30 derajat. Rupanya sudah pukul 10 malam, tapi rasanya kaki ini masih sungkan untuk menapaki jalan pulang. Akhirnya kuputuskan untuk singgah di warung kopi milik kang Rohmadi di pojok kampung rumahku.
Aku pun duduk bertengger di bangku kayu depan warung kopi sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemejaku dan menikmati setiap hembusan asap rokok yang ku hisap. Nikotin yang mulai merasuk ke dinding paru-paru ku biarkan sebagai penawar rasa kacau dalam diriku.
“Kang, pesen kopi tubruk segelas!”
“Tumben bang main ke warung, biasanya pulang pabrik langsung nemuin bini di rumah, whehehe,” canda kang Rohadi sambil mengaduk kopi tubruk andalannya yang terkenal gurih dan wangi.
“Yah, namanya juga pikiran lagi kalut Bang, masa aye pulang cuma bawa masalah doang ke bini, jadi aye mau nenangin pikiran dulu, gitu Kang Rohmadi,” jawabku sambil menepuk bahu Kang Rohmadi yang sedang mengantar segelas kopi padaku.
“Ya udah yang penting sekarang abang nenangin pikiran dulu, sekarang aku tak nglayani yang lain dulu yo Bang,” kata kang Rohmadi dengan logat Jawanya yang masih medhok.
“Monggo Kang.”
Rasanya segelas kopi tubruk cukup menghibur suasana hatiku, ditambah dengan alunan suara dangdut dari tape polytron milik Kang Rohmadi yang katanya jauh-jauh dibawa dari Kartosuro.
Tak disangka suasana itu justru membuat aku teringat, anakku Ilham kemarin merengek minta dibelikan sepeda baru, katanya sepeda miliknya kini sudah kuno, apalagi anak-anak sepermainannya di kampung sering memamerkan sepeda yang baru dibelikan orang tua mereka. Rasanya aku ingin sekali membahagiakan anak dan istriku, tapi apa daya mungkin kesempatan saja yang belum ada.
Aaaargh….pikiranku tambah kacau, apalagi persediaan beras di rumah sudah menipis, sedangkan di saku celanaku hanya ada uang pesangon 700 ribu rupiah yang aku lipat dalam amplop berwarna coklat, dan di bawah kasur aku masih menyimpan uang 350 ribu. Ah, apakah uang satu juta limapuluh ribu itu masih cukup untuk bertahan hidup selama aku belum mendapat pekerjaan. Apalagi hidup di ibu kota apa-apa serba mahal. Semoga saja aku cepat mendapatkan pekerjaan yang layak.
Aku pun kembali menikmati cairan berwarna hitam pekat itu, merasakan setiap butiran zat kafein yang menari-nari di atas lidahku. Rasanya begitu nikmat. Namun tiba-tiba konsentrasiku buyar dan pandanganku tertuju pada sesosok pria berjaket hitam. Dia berlari ke arah warung kopi, napasnya terengah-engah dan dia pun mendekatiku.
“Bang, tolong saya bang, saya dikejar orang, istri saya mau melahirkan bang, tolong selamatkan saya,” kata pria itu dengan sangat gugup.
“Emangnya kamu kenapa, kok bisa dikejar?” tanyaku kebingungan.
“Ceritanya nanti saja Bang, tapi tolong selamatkan saya, tolong sekali Bang, saya tidak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.”
Aku lihat di ujung sana memang tampak segerombolan orang sedang berlari-lari, aku perhatikan gelagat mereka sepertinya sedang mencari orang. Sedangkan di warung kopi ini tinggal aku sendiri, dan Kang Rohmadi pun sedang pulang ke rumahnya untuk mengambil gula pasir. Aku melihat sesosok pria itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, wajahnya memang masih sangat lugu, tapi kenapa dia sampai dikejar-kejar orang?
Ah, tapi buat apa aku berpikiran buruk, toh katanya istrinya mau melahirkan berarti dia memang dalam kondisi yang mendesak. Mungkin saja orang-orang yang mengejarnya itu justru orang jahat. Aku pikir membantu orang apa salahnya. Aku memang baru saja disakiti orang, bahkan kehilangan mata pencaharian tapi apakah hal itu bisa menghalangiku untuk menolong orang lain? Aku rasa tidak.
“Ya sudah, kamu masuk saja ke warung, kamu sembunyi di balik pintu, cepat mereka mau kesini,” kataku pada pria itu.
“Baik bang, makasih bang.”
Beberapa menit kemudian segerombolan orang itu pun mendekatiku, nampaknya wajah mereka sudah familiar bagiku.
“Eh, Bang Iwan lihat garong pake jaket item lari kesini kagak?” tanya salah seorang di antara mereka. Ternyata segerombolan orang itu adalah pemuda-pemuda di kampungku.
“Wah jauh amat kejar garong nyampe ujung kampung. Aku nggak lihat tu garong. Kamu cari saja di tempat lain, barang kali sudah kabur ke kampung sebelah,” jawabku santai sambil menghisap butir-butir nikotin dalam jarum super di antara himpitan jari tengah dan telunjukku.
“Wah kurang ajar itu garong udah nyolong, nempiling babe aye lagi. Tu garong ya bang baru aja ketahuan nyolong duit sama babe yang lagi ronda, tapi aye kaga tau tu maling duitnya sape. Ya udah bang aye capcus dulu, yuk pren,” kata pemuda itu sambil mengajak teman-temannya meneruskan pencarian ke kampung sebelah.
“Ah, Bang Iwan masih bisa bercanda aja tau ada orang kemalingan,” kata salah seorang dari mereka sambil ngeloyor pergi.
Aku berdiri dan berjalan ke dalam warung.
“Heh, udah aman, ayo keluar,” ucapku pada pria itu.
Aku lihat pria itu masih jongkok di balik pintu, tangannya gemetaran dan napasnya belum teratur. Sepertinya dia sangat ketakutan. “Kenape elu nyampe dikejar-kejar ma orang?”
“Begini Bang, saya memang mencuri uang, tapi itu semua saya lakukan karena istri saya mau melahirkan, saya nggak punya uang Bang, saya terpaksa.”
“Innalillah, tapi perbuatan kamu itu salah, bagaimana kamu mau membiayai istri dan anakmu dengan uang yang haram?”
“Ya Bang, saya nyesel, ini pertama dan terakhir bang. Tadi saya juga terpaksa mukul orang yang sedang memergoki saya, saya takut diamuk massa, nanti istri dan anak saya makan apa?”
“Ya udah, lain kali jangan kamu ulangi lagi ya? Ini uang buat anakmu nanti,” kataku iba sambil memberikan selembar uang 50 ribu dari amplop coklat di saku celanaku.
“Makasih banyak Bang, saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Abang.”
“Biar Tuhan yang membalas. Sekarang cepat kamu pergi dan temui istrimu.”
“Makasih Bang..makasih…makasih,” kata pria itu sambil berlalu, tak henti-henti bibirnya mengucapakan terimakasih padaku.
Rasanya hari itu aku menjadi seorang pahlawan, walaupun pahlawan bagi seorang maling yang sedang dikejar-kejar massa. Tapi aku cukup bangga, setidaknya disitulah aku merasa jauh lebih beruntung dari pada dia. Setidaknya meskipun aku dalam kondisi yang sangat susah sekalipun aku tetap tak kuasa untuk berbuat jahat, apalagi mencuri.
Di situ aku juga merasa menjadi orang yang dermawan, walaupun sebenarnya aku juga sedang tak ada uang, tapi setidaknya masih ada simpanan uang di rumah 350ribu, aku rasa jika digabungkan dengan uang pesangonku masih cukup untuk makan sebulan, selagi aku mencari pekerjaan baru.
“Gimana Bang, pikirannya udah nggak kalut lagi to?” tanya Kang Romadi mengagetkanku.
“Iya Kang, karena kopi tubruk Kang Romadi ini, aye seger buger lagi Kang, hahaha. Oh ya berapa Kang?”
“Ndak usah Bang, kali ini aku traktir Bang Iwan, sebagai langganan aku bang.”
“Wah bener nih? kapan-kapan boleh lagi dong? hahaha.”
“Ah Bang Iwan bisa aja.”
“Ya udah aku pulang dulu Kang.”
“Ya, ati-ati Bang.” Tutup Kang Rohmadi
“Wah, baru beberapa detik yang lalu aku menolong orang, sekarang balasannya sudah ada, ya lumayanlah dapet kopi gratis, Kang Rohmadi itu tahu saja orang sedang susah.” Batinku sambil melangkahkan kaki menuju ke rumah tercinta sambil membawa harapan baru. Ya kenyataan bahwa aku di PHK dan harapan baru bahwa kita pasti bisa melewati semua cobaan ini.
Setibanya di depan rumah, aku melihat suasana ganjil. Rumahku nampak ramai, pintu depan terbuka dan beberapa tetangga nampak berkumpul di dalam rumahku.
“Ada apa ini bu?” tanyaku pada istriku.
“Kita kecurian Pak, uang kita di bawah kasur, kalung dan gelang emas mahar pernikahan kita dulu dicuri orang pak,” kata istriku yang masih menangis tersedu-sedu.
“Iya Bang Iwan, tadi pencurinya kepergok sama saya yang lagi ronda tapi saya malah dipukul, tapi tenang saja Bang, saya sudah suruh anak saya dan teman-temannya untuk kejar maling itu,” kata pak RT.
Menjadi perempuan yang berkarier, mapan, berpenghasilan, dan berprestasi tentu merupakan harapan bagi setiap perempuan di dunia. Kemandirian, jaminan hidup enak, dan tidak bergantung pada orang lain mungkin merupakan alasan kuat bagi perempuan untuk menjajal peruntungannya sebagai “perempuan yang bekerja”. Dewasa ini sering kita jumpai perempuan yang bekerja dengan tak kenal waktu, misalnya bekerja kantoran dari pukul 08.00 – 20.00, gaji besar mungkin didapatnya, apa pun yang ia inginkan dapat ia beli dengan mudah, tapi apakah ia memperoleh kebahagiaan?
Kebahagiaan yang hakiki sebenarnya tidak diperoleh dari bagaimana ia dapat membeli apartemen mewah, dapat membeli mobil mewah, atau pun hidup dengan glamor, kebahagiaan itu sebenarnya datang dari waktu dan kesehatan. Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda : “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR Bukhari, no: 5933).
Orang yang sudah meraih kesuksesan dengan segala yang ia peroleh, jabatan, kekauasaan, harta, pasti tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang ia peroleh, ia tidak akan mpernah melihat suatu puncak, yang dipikirkannya yaitu bagaimana caranya ia terus mendaki dan mendaki hingga ia berada di tempat yang paling tinggi di anatara semua orang. Hal ini tentu saja baik dilakukan asal masih dalam koridor kebaikan. Namun apa yang terjadi apabila orang yang melakukan hal itu adalah seorang perempuan yang juga menyandang status sebagai seorang istri dan ibu?
Kasus-kasus pornografi yang melanda anak-anak sekarang sedang marak diperbincangkan, kasus anak yang terjerat narkoba, melakukan perjudian, melakukan tindak kekerasan, bahkan melakukan tindak kriminal acap kali kita dengar pemberitaan itu. Di samping itu ada juga kasus yang tidak kalah hebohnya yakni perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami (na’udzubillahimindzalik). Hal-hal tersebut merupakan hal yang paling ditakuti oleh seorang perempuan. Sebenarnya jika kita telisik lebih dalam kasus yang dialami anak-anak memiliki latar belakang psikis sehingga mereka melakukan hal yang buruk. Bnayak diantara anak-anak tersebut yang berasal dari keluarga broken home, tapi tidak sedikit yang berasal dari keluarga yang utuh tetapi “kurang perhatian”. Sedangkan kasus suami yang selingkuh (selain karena alasan playboy) mungkin juga bisa disebabkan karena ia merasa lebih nyaman dengan perempuan lain karena istri kurang perhatian.
Seperti perumpamaan bahwa jika kita ingin membangun gedung bertingkat yang besar dan tinggi, maka pondasi yang kita buat seharusnya dapat menopang gedung tersebut. Apa jadinya jika kita tak mampu membuat pondasi yang utuh dan kuat, maka gedung itu bisa roboh dan hancur. Begitu juga dalam keluarga, perempuan memegang peranan yang sangat vital, ia berperan sebagai pengayom, pendidik bagi anak-anak, danpendamping suami. Maka perempuan harus mampu membangun pondasi keluarga yang mampu menjadi landasan kuat berdirinya sebuah keluarga yang bahagia dan sukses.
Membangun pondasi yang sempurna bukanlah persoalan yang mudah untuk dilakukan. Sebagai seorang perempuan yang berkualitas, kadang ia juga mempunyai keinginan untuk menjadi “mandiri”, menjadi perempuan yang bekerja menurutku bukan pilihan yang salah, bahkan mulia bila dilakukan karena ia dapat meringankan beban suami untuk mencari nafkah, dan menyiapkan dana masa depan untuk anak-anak. Tapi apa jadinya apabila perempuan lebih mementingkan kariernya daripada keluarganya? Masalah-masalah hebat pun bisa terjadi.
“Waktu” dan “kesehatan” merupakan kunci untuk membangun pondasi yang sempurna. Bekerja boleh saja asal ia mengenal waktu dan kesehatan bagi dirinya dan keluarga. Menjadi perempuan yang diimpikan yang dicintai keluarganya tentu jauh lebih baik daripada menjadi perempuan yang super sibuk dan menjadi direktur perusahaan tapi tidak mengenal anaknya sendiri. Perempuan yang dengan uangnya mampu “mengontrakkan” anaknya pada guru ngaji, guru privat, guru les piano, atau tempat penitipan anak hanya untuk mengalihkan perhatian anaknya agar tak kesepian. Perempuan yang tidak memberikan validasi kepada anak dan suaminya tentang betapa pentingnya kasih sayang dan pengakuan sebagai seorang ibu dan istri.
Semoga dengan menjadi perempuan yang diimpikan dapat menjadi jalan mulus kita untuk menjadi hamba yang selalu berada dalam kasih-Nya. Ingat kesuksesan seorang perempuan itu tidak hanya dilihat dari gemilang kariernya,tetapi dari kesuksesan ia menjalankan tugasnya menjadi seorang “PEREMPUAN”.