Sabtu, 05 Februari 2011

MENJADI PEREMPUAN YANG DIIMPIKAN

Menjadi perempuan yang berkarier, mapan, berpenghasilan, dan berprestasi tentu merupakan harapan bagi setiap perempuan di dunia. Kemandirian, jaminan hidup enak, dan tidak bergantung pada orang lain mungkin merupakan alasan kuat bagi perempuan untuk menjajal peruntungannya sebagai “perempuan yang bekerja”. Dewasa ini sering kita jumpai perempuan yang bekerja dengan tak kenal waktu, misalnya bekerja kantoran dari pukul 08.00 – 20.00, gaji besar mungkin didapatnya, apa pun yang ia inginkan dapat ia beli dengan mudah, tapi apakah ia memperoleh kebahagiaan?

Kebahagiaan yang hakiki sebenarnya tidak diperoleh dari bagaimana ia dapat membeli apartemen mewah, dapat membeli mobil mewah, atau pun hidup dengan glamor, kebahagiaan itu sebenarnya datang dari waktu dan kesehatan. Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Nabi Muhammad SAW bersabda : “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang.” (HR Bukhari, no: 5933).

Orang yang sudah meraih kesuksesan dengan segala yang ia peroleh, jabatan, kekauasaan, harta, pasti tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang ia peroleh, ia tidak akan mpernah melihat suatu puncak, yang dipikirkannya yaitu bagaimana caranya ia terus mendaki dan mendaki hingga ia berada di tempat yang paling tinggi di anatara semua orang. Hal ini tentu saja baik dilakukan asal masih dalam koridor kebaikan. Namun apa yang terjadi apabila orang yang melakukan hal itu adalah seorang perempuan yang juga menyandang status sebagai seorang istri dan ibu?

Kasus-kasus pornografi yang melanda anak-anak sekarang sedang marak diperbincangkan, kasus anak yang terjerat narkoba, melakukan perjudian, melakukan tindak kekerasan, bahkan melakukan tindak kriminal acap kali kita dengar pemberitaan itu. Di samping itu ada juga kasus yang tidak kalah hebohnya yakni perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami (na’udzubillahimindzalik). Hal-hal tersebut merupakan hal yang paling ditakuti oleh seorang perempuan. Sebenarnya jika kita telisik lebih dalam kasus yang dialami anak-anak memiliki latar belakang psikis sehingga mereka melakukan hal yang buruk. Bnayak diantara anak-anak tersebut yang berasal dari keluarga broken home, tapi tidak sedikit yang berasal dari keluarga yang utuh tetapi “kurang perhatian”. Sedangkan kasus suami yang selingkuh (selain karena alasan playboy) mungkin juga bisa disebabkan karena ia merasa lebih nyaman dengan perempuan lain karena istri kurang perhatian.

Seperti perumpamaan bahwa jika kita ingin membangun gedung bertingkat yang besar dan tinggi, maka pondasi yang kita buat seharusnya dapat menopang gedung tersebut. Apa jadinya jika kita tak mampu membuat pondasi yang utuh dan kuat, maka gedung itu bisa roboh dan hancur. Begitu juga dalam keluarga, perempuan memegang peranan yang sangat vital, ia berperan sebagai pengayom, pendidik bagi anak-anak, danpendamping suami. Maka perempuan harus mampu membangun pondasi keluarga yang mampu menjadi landasan kuat berdirinya sebuah keluarga yang bahagia dan sukses.

Membangun pondasi yang sempurna bukanlah persoalan yang mudah untuk dilakukan. Sebagai seorang perempuan yang berkualitas, kadang ia juga mempunyai keinginan untuk menjadi “mandiri”, menjadi perempuan yang bekerja menurutku bukan pilihan yang salah, bahkan mulia bila dilakukan karena ia dapat meringankan beban suami untuk mencari nafkah, dan menyiapkan dana masa depan untuk anak-anak. Tapi apa jadinya apabila perempuan lebih mementingkan kariernya daripada keluarganya? Masalah-masalah hebat pun bisa terjadi.

“Waktu” dan “kesehatan” merupakan kunci untuk membangun pondasi yang sempurna. Bekerja boleh saja asal ia mengenal waktu dan kesehatan bagi dirinya dan keluarga. Menjadi perempuan yang diimpikan yang dicintai keluarganya tentu jauh lebih baik daripada menjadi perempuan yang super sibuk dan menjadi direktur perusahaan tapi tidak mengenal anaknya sendiri. Perempuan yang dengan uangnya mampu “mengontrakkan” anaknya pada guru ngaji, guru privat, guru les piano, atau tempat penitipan anak hanya untuk mengalihkan perhatian anaknya agar tak kesepian. Perempuan yang tidak memberikan validasi kepada anak dan suaminya tentang betapa pentingnya kasih sayang dan pengakuan sebagai seorang ibu dan istri.

Semoga dengan menjadi perempuan yang diimpikan dapat menjadi jalan mulus kita untuk menjadi hamba yang selalu berada dalam kasih-Nya. Ingat kesuksesan seorang perempuan itu tidak hanya dilihat dari gemilang kariernya,tetapi dari kesuksesan ia menjalankan tugasnya menjadi seorang “PEREMPUAN”.

Ajibarang, 4 Februari 2011
23.51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar