Jumat, 14 Desember 2012

Mozaik “The Professor”


Sumber
Sebuah mozaik kehidupan beberapa guru besar yang aku rekam dari perbincangan bersama sosok-sosok luar biasa itu. Insyaallah pada bulan Maret sekaligus untuk memperingati Dies Natalis, akan diterbitkan buku dengan judul “The Professor” yang merupakan kumpulan kisah hidup guru besar-guru besar se-Universitas Negeri Semarang. Tujuan pembuatan buku itu adalah untuk menginspirasi para mahasiswa dan dosen agar bisa terus belajar melalui perjalanan hidup tokoh-tokoh tersebut.

Prof Fathur Rokhman
Mengapa hanya ada satu orang ahli rayap di Indonesia? padahal jumlah rayap sangat banyak. Mengapa hanya ada tiga orang ahli buaya di Indonesia? padahal sebagai Negara tropis, banyak sekali buaya yang hidup di Indonesia. Jika orang-orang berjualan soto, mengapa kita harus berjualan soto? Bukannya takut bersaing, hanya saja jadilah yang berbeda. Carilah resep membuat bakso, dan berjualanlah bakso. Ia tidak dilahirkan sebagai orang yang cerdas. Bahkan ketika ia mendaftarkan diri sebagai siswa di SMA 1 Purwokerto, sebuah sekolah favorit di Banyumas, ia tidak diterima karena nilai yang ia punya tidak memenuhi standar. Ia pun berjalan kaki dari Purwokerto menuju Sokaraja yang berjarak sepuluh kilometer. Ia ingin merasakan betapa susahnya menjadi orang bodoh. Saat ini berkat kerja keras dan ketekunannya ia berhasil menjadi guru besar bidang Sosiolinguistik. menurutnya dosen yang baik itu tidak hanya menghabiskan waktunya di kelas. Dosen yang baik itulah yang mengajar melebihi jam di kelas, artinya ia membuka waktu kapan saja untuk menerima konsultasi dari mahasiswa. Tidak hanya itu, dosen harus memiliki penelitian-penelitian yang mengagumkan dan mampu menginspirasi mahasiswa-mahasiswanya.

Prof Agus Nuryatin
Sembilan puluh persen usaha akan sia-sia jika tak diimbangi dengan porsi 10% doa. Begitu pula dengan 10% doa, akan sia-sia jika tak disempurnakan dengan 90% usaha. Menurutnya doa adalah puncak dari ikhtiar karena keberuntungan tidak serta merta datang pada seseorang tapi harus dijemput dengan doa dan ikhtiar. Jangankan bermimpi menjadi seorang guru besar, ia bahkan seolah berlari-lari untuk menghindar dari profesi guru. Mungkin karena trauma, ia pernah ditolak menjadi seorang guru ketika lulus dari SPG. Waktu itu ia memang mendaftar di IKIP dan Undip, sama-sama jurusan Bahasa Indonesia. perbedaannya, di Undip ia mengambil ilmu murni, sedangkan yang di IKIP ia mengambil ilmu pendidikan. Ia merasa bahwa ia memiliki bakat sastra. Alasannya cukup sederhana, ketika ia bersekolah di SPG ia pernah menulis surat cinta kepada gadis pujaannya. Suratnya cukup panjang sampai sepuluh halaman dan ditulis tangan. Tapi memang bukan jodoh dan bukan pula yang terbaik, surat itupun tak pernah terjawab dan terbalas. Ia lebih memilih untuk mengambil kuliah Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Diponegoro daripada kuliah di IKIP Semarang. Masih belum puas, ia pernah mencoba mendaftar sebagai wartawan di Solo. Rupanya Tuhan telah menggariskan jalan hidupnya sebagai seorang guru.

Prof. Dandan Supratman
“Dulu saya sering menukar keset  di depan toko, mengetuk pintu lalu setelah si penghuni keluar saya berlari kemudian tertawa di tempat persembunyian, naik angkutan tanpa bayar, bahkan tidak bayar SPP ketika kuliah, makanya sekarang kalau lihat orang urakan saya suka, seperti mengenang masa lalu,” ucap Prof. Dandan dengan dialek khas sundanya. Siapa sangka sosok tengil dan urakan itu kini sudah berdiri sebagai seorang profesor yang disegani. Profesor bidang retorika ini memang memiliki kehidupan yang berliku, ia sempat menjadi tukang beras, tukang jualan tas, guru STM, dan sampai ia sekarang menjadi seorang guru besar yang disegani karena integritasnya. Baginya pendidikan tidak hanya  tentang transfer of knowledge, lebih dari itu, ada transfer of value, transfer of thinking, dan transfer of method. Di emeritusnya, dia bahkan masih sering bolak-balik Semarang-Tegal untuk mengajar di pascasarjana, semangatnya untuk mengajar memang patut diacungi jempol.

Prof. B. Karno Eko Wardono
Ia adalah orang yang sangat setia, tidak hanya setia pada disiplin ilmunya, tapi juga pada instansi dan keluarganya. Berbagai macam tawaran dari universitas lain ia tolak demi dedikasinya pada Universitas Negeri Semarang yang telah membesarkannya. Ketika acara perpiasahan emeritusnya, dia mengatakan bahwa di balik lelaki yang sukses, ada perempuan yang hebat. Ia dan Wardani istrinya memang sudah dijodohkan oleh Tuhan, merekalah Wardono dan Wardani. Dorongan keluargalah yang membuat Eko mampu berbuat banyak. Sampai ia melanglangbuana ke negeri kincir angin dan berbagai negeri di benua biru untuk menggali pengetahuan dan pengalaman. Sampai ia menjadi seorang profesor. Purnatugasnya hanyalah berakhirnya sebuah jabatan fungsional bukan tugasnya untuk menularkan ilmu. Baginya ora et labora, belajar sambil berdoa.

Prof. Tri Joko Raharjo
Baginya kunci kesuksesan itu ada pada “6 S” yaitu salam, sapa, senyum, sehat, zikir, dan syukur. Tidaklah mungkin kita akan mendapatkan sesuatu jika kita saja tak pernah memberi. Dia tak pernah bermimpi bisa menjadi seorang profesor. Bukan pula karena ia pandai lantas berprestasi dan menjadi profesor. Jika dengan mengukur kemampuan diri, ia lebih dekat dengan kata tidak mungkin. Bisa jadi karena doa dari orang tualah yang membuat hidupnya bisa seperti saat ini. Doa dan teladan bapak serta perhatian ibu yang seorang ibu rumah tangga membuat ia open sekali terhadap anak-anaknya. Jalan hidup yang ia tempuh memang tak terbayangkan sama sekali di benaknya. Baginya, inspirasi dan teladan bapak bukan hanya soal banyak-banyak memberi dan pandai bersosialiasi. Lebih dari itu, beliau tak pernah melalaikan salat malam dan puasa sunah senin kamis. Ia memilih konsisten sebagai seorang pengajar. Jangan melakukan suatu pekerjaan semata-mata hanya karena uang. Lakukanlah karena Tuhan karena Tuhanlah yang memberi rezeki.

Prof. Rustono
“Lebih baik menjadi yang unggul di antara yang biasa saja daripada menjadi yang terburuk di antara yang terlihat menonjol,” begitulah kira-kira yang ada di batinnya ketika ia tidak diterima sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Gajah Mada. Tak patah arang, lalu ia memilih untuk berkuliah di Semarang, sebuah kota yang menjadi saksi perjalanan hidupnya hingga seperti saat ini. Ia pernah putus sekolah selama satu tahun karena kendala biaya. Namun itu tak mengurungkan semangatnya. Saat ini siapa bocah yang dulu berperawakan kecil dan berkepala gundul itu menjadi seorang guru besar bidang linguistik, bahkan pernah menjadi dekan selama dua periode.

Bersambung…

2 komentar: