Sumber |
Sebuah
mozaik kehidupan beberapa guru besar yang aku rekam dari perbincangan bersama
sosok-sosok luar biasa itu. Insyaallah pada bulan Maret sekaligus untuk
memperingati Dies Natalis, akan diterbitkan buku dengan judul “The Professor”
yang merupakan kumpulan kisah hidup guru besar-guru besar se-Universitas Negeri
Semarang. Tujuan pembuatan buku itu adalah untuk menginspirasi para mahasiswa
dan dosen agar bisa terus belajar melalui perjalanan hidup tokoh-tokoh
tersebut.
Prof Fathur Rokhman
Mengapa hanya ada satu orang ahli rayap di
Indonesia? padahal jumlah rayap sangat banyak. Mengapa hanya ada tiga orang ahli
buaya di Indonesia? padahal sebagai Negara tropis, banyak sekali buaya yang
hidup di Indonesia. Jika orang-orang berjualan soto, mengapa kita harus
berjualan soto? Bukannya takut bersaing, hanya saja jadilah yang berbeda. Carilah
resep membuat bakso, dan berjualanlah bakso. Ia tidak dilahirkan sebagai orang
yang cerdas. Bahkan ketika ia mendaftarkan diri sebagai siswa di SMA 1
Purwokerto, sebuah sekolah favorit di Banyumas, ia tidak diterima karena nilai
yang ia punya tidak memenuhi standar. Ia pun berjalan kaki dari Purwokerto
menuju Sokaraja yang berjarak sepuluh kilometer. Ia ingin merasakan betapa susahnya
menjadi orang bodoh. Saat ini berkat kerja keras dan ketekunannya ia berhasil
menjadi guru besar bidang Sosiolinguistik. menurutnya dosen yang baik itu tidak
hanya menghabiskan waktunya di kelas. Dosen yang baik itulah yang mengajar
melebihi jam di kelas, artinya ia membuka waktu kapan saja untuk menerima
konsultasi dari mahasiswa. Tidak hanya itu, dosen harus memiliki
penelitian-penelitian yang mengagumkan dan mampu menginspirasi
mahasiswa-mahasiswanya.
Prof Agus Nuryatin
Sembilan puluh persen usaha akan sia-sia jika tak diimbangi
dengan porsi 10% doa. Begitu pula dengan 10% doa, akan sia-sia jika tak
disempurnakan dengan 90% usaha. Menurutnya doa adalah puncak dari ikhtiar
karena keberuntungan tidak serta merta datang pada seseorang tapi harus dijemput
dengan doa dan ikhtiar. Jangankan bermimpi menjadi seorang guru besar, ia
bahkan seolah berlari-lari untuk menghindar dari profesi guru. Mungkin karena
trauma, ia pernah ditolak menjadi seorang guru ketika lulus dari SPG. Waktu itu
ia memang mendaftar di IKIP dan Undip, sama-sama jurusan Bahasa Indonesia.
perbedaannya, di Undip ia mengambil ilmu murni, sedangkan yang di IKIP ia
mengambil ilmu pendidikan. Ia merasa bahwa ia memiliki bakat sastra. Alasannya
cukup sederhana, ketika ia bersekolah di SPG ia pernah menulis surat cinta
kepada gadis pujaannya. Suratnya cukup panjang sampai sepuluh halaman dan
ditulis tangan. Tapi memang bukan jodoh dan bukan pula yang terbaik, surat
itupun tak pernah terjawab dan terbalas. Ia lebih memilih untuk mengambil
kuliah Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Diponegoro daripada kuliah di
IKIP Semarang. Masih belum puas, ia pernah mencoba mendaftar sebagai wartawan
di Solo. Rupanya Tuhan telah menggariskan jalan hidupnya sebagai seorang guru.
Prof. Dandan Supratman
“Dulu saya sering menukar keset di depan toko, mengetuk pintu lalu setelah si
penghuni keluar saya berlari kemudian tertawa di tempat persembunyian, naik
angkutan tanpa bayar, bahkan tidak bayar SPP ketika kuliah, makanya sekarang
kalau lihat orang urakan saya suka, seperti mengenang masa lalu,” ucap Prof.
Dandan dengan dialek khas sundanya. Siapa sangka sosok tengil dan urakan itu
kini sudah berdiri sebagai seorang profesor yang disegani. Profesor bidang
retorika ini memang memiliki kehidupan yang berliku, ia sempat menjadi tukang
beras, tukang jualan tas, guru STM, dan sampai ia sekarang menjadi seorang guru
besar yang disegani karena integritasnya. Baginya pendidikan tidak hanya tentang transfer
of knowledge, lebih dari itu, ada transfer
of value, transfer of thinking, dan
transfer of method. Di emeritusnya, dia bahkan masih sering bolak-balik
Semarang-Tegal untuk mengajar di pascasarjana, semangatnya untuk mengajar memang
patut diacungi jempol.
Prof. B. Karno Eko Wardono
Ia adalah orang yang sangat setia, tidak hanya
setia pada disiplin ilmunya, tapi juga pada instansi dan keluarganya. Berbagai
macam tawaran dari universitas lain ia tolak demi dedikasinya pada Universitas
Negeri Semarang yang telah membesarkannya. Ketika acara perpiasahan
emeritusnya, dia mengatakan bahwa di balik lelaki yang sukses, ada perempuan
yang hebat. Ia dan Wardani istrinya memang sudah dijodohkan oleh Tuhan,
merekalah Wardono dan Wardani. Dorongan keluargalah yang membuat Eko mampu
berbuat banyak. Sampai ia melanglangbuana ke negeri kincir angin dan berbagai
negeri di benua biru untuk menggali pengetahuan dan pengalaman. Sampai ia
menjadi seorang profesor. Purnatugasnya hanyalah berakhirnya sebuah jabatan
fungsional bukan tugasnya untuk menularkan ilmu. Baginya ora et labora, belajar sambil berdoa.
Prof. Tri Joko Raharjo
Baginya kunci kesuksesan itu ada pada “6 S”
yaitu salam, sapa, senyum, sehat, zikir, dan syukur. Tidaklah mungkin kita akan
mendapatkan sesuatu jika kita saja tak pernah memberi. Dia tak pernah bermimpi
bisa menjadi seorang profesor. Bukan pula karena ia pandai lantas berprestasi
dan menjadi profesor. Jika dengan mengukur kemampuan diri, ia lebih dekat
dengan kata tidak mungkin. Bisa jadi karena doa dari orang tualah yang membuat
hidupnya bisa seperti saat ini. Doa dan teladan bapak serta perhatian ibu yang
seorang ibu rumah tangga membuat ia open sekali
terhadap anak-anaknya. Jalan hidup yang ia tempuh memang tak terbayangkan sama
sekali di benaknya. Baginya, inspirasi dan teladan bapak bukan hanya soal
banyak-banyak memberi dan pandai bersosialiasi. Lebih dari itu, beliau tak
pernah melalaikan salat malam dan puasa sunah senin kamis. Ia memilih konsisten
sebagai seorang pengajar. Jangan melakukan suatu pekerjaan semata-mata hanya
karena uang. Lakukanlah karena Tuhan karena Tuhanlah yang memberi rezeki.
Prof. Rustono
“Lebih baik menjadi yang unggul di antara yang
biasa saja daripada menjadi yang terburuk di antara yang terlihat menonjol,” begitulah
kira-kira yang ada di batinnya ketika ia tidak diterima sebagai mahasiswa Jurusan
Akuntansi Universitas Gajah Mada. Tak patah arang, lalu ia memilih untuk
berkuliah di Semarang, sebuah kota yang menjadi saksi perjalanan hidupnya
hingga seperti saat ini. Ia pernah putus sekolah selama satu tahun karena
kendala biaya. Namun itu tak mengurungkan semangatnya. Saat ini siapa bocah
yang dulu berperawakan kecil dan berkepala gundul itu menjadi seorang guru
besar bidang linguistik, bahkan pernah menjadi dekan selama dua periode.
Bersambung…
Prof. Meina Febriani
BalasHapus:))
Aamiin, Prof. Andhika Lady Maharsi
Hapus