*Sebuah refleksi studium generale
dengan Prof. Mahsun, M.S Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nasional.
Sumber |
“Kadang kita tak bisa menjelaskan diri sendiri. Namun,
berkat orang lainlah kita bisa terjelaskan. Kita bisa menamai jari tengah kita
dengan sebutan si tengah karena ada masing-masing dua jari di sebelah kanan dan
kirinya.” (Prof. Mahsun, M.S.)
Belajar bahasa adalah belajar budaya. Bagaimana tidak?
Sebuah etnis bisa dikenali lantaran bahasanya. Dalam perjalanan sebuah bangsa, bahasa
adalah hal penting yang harus mendapat perhatian. Tatkala Israel sudah memiliki
wilayah, mereka menggali dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani dari naskah-naskah
kuno dan menggunakannya sebagai bahasa mereka. Artinya, kedudukan bahasa sangat
penting untuk menunjukkan identitas.
Indonesia yang terdiri atas berbagai kebudayaan
memang membutuhkan sebuah unsur pengikat
kebangsaan. Bahasa merupakan salah satu unsur
pengikat kebangsaan selain agama dan ras. Pilihan Indonesia untuk menggunakan
bahasa sebagai pengikat merupakan pilihan yang sangat strategis. Ras dapat
teridentifikasi karena bahasa, suku Jawa menamai dirinya Jawa karena ia
memiliki bahasa Jawa. Namun, Indonesia tak menggunakan agama sebagai unsur pengikat.
Ingatlah pada kegagalan piagam Jakarta
yang menyebutkan bahwa “….yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, …”
dianggap merupakan hal yang sensitif karena menyebut urusan agama. Padahal pada
kenyataannya di Indonesia agama tidak hanya Islam.
Pada sumpah pemuda disebutkan bahwa, “….menjunjung
bahasa persatuan bahasa Indonesia.” dalam teks tidak disebutkan “berbahasa satu”
karena di Indonesia terdiri atas berbagai bahasa daerah. Namun, bahasa yang
dijunjung tinggi adalah bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa
persatuan. Pemuda-pemuda itulah yang merelakan
bahasa daerahnya dengan harga murah demi menjunjung bahasa persatuan.
Bukan hanya itu, bahasa juga berperan penting
dalam peradaban. Pada masa kejayaan Islam saat abad 9-12, mereka melakukan
ikhtiar dengan menerjemahkan pengetahuan yang tertuang dalam kitab-kitab
berbahasa latin ke bahasa arab. Bangsa Arab menganggap bahwa dengan
menerjemahkan naskah-naskah itu maka dengan mudah mereka akan mendapatkan
pengetahuan dari barat. Tidak jauh berbeda dengan Jepang, ketika Jepang dibom
atom pun, hal pertama yang mereka lakukan selain menyelamatkan para guru adalah
dengan menerjemahkan semua buku pengetahuan ke dalam bahasa Jepang. Buktinya saat
ini Jepang menjadi negara dengan peradaban yang maju.
Lalu refleksi bagi diri sendiri?
Bagaimana kita bisa dikanal oleh orang lain jika
kita tidak mengenali diri sendiri? Bagaimana kita bisa dikenal jika tak
memiliki identitas? Sejatinya identitas tertinggi adalah buah pemikiran, dan
bahasalah sarana dalam menuangkannya. Buah pemikiran tak mungkin terlepas dari
proses pembelajaran.
Belajar harus dimulai dari rasa rendah hati dan
kesabaran. Ia dapat tumbuh karena sebuah rasa ingin tahu. Sesungguhnya tak ada
sebuah puncak dalam pembelajaran. Sejatinya manusia menghabiskan hidupnya untuk
belajar, maka celakalah makhluk yang selalu tinggi hati. (Meina Febriani –
2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar