Ibarat seorang petani yang
menyebarkan benih, kelak benih itu akan menjadi pohon, lalu pohon itu juga
menghasilkan benih, lalu benih itu tumbuh lagi menjadi pohon yang juga
menghasilkan benih. Begitu pula halnya dengan menyebarkan ilmu.
Alhamdulillahirabbil’alamin Ya
Rabb yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk mewujudkan cita-citaku
menjadi seorang guru. Terima kasih tak terhingga untuk gurunda yang telah
memberikan inspirasi luar biasa, gurunda yang pernah mengajariku dari aku duduk
di bangku kanak-kanak hingga berada di bangku kuliah pascasarjana. Sesungguhnya
suara kalian yang telah membisik lembut di telingaku, keihklasan kalian yang
telah membuatku semakin mantap melangkahkan kaki dan mengabdi di dunia
pendidikan.
Semenjak aku duduk di bangku
taman kanak-kanak, aku sering diajak ibuku ke sekolah. Ya, ibuku adalah guru
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP. Semenjak 1981 beliau mengajar sampai saat
ini, beliau tak pernah membawa kendaraan
ke sekolah. Ibu selalu berjalan kaki ke sekolah karena jarak sekolah dan rumah
memang cukup dekat. Memang dekat, tapi
apakah ibu tak punya keinginan untuk mengendarai mobil atau sekadar sepeda
motor matic ketika berangkat ke
sekolah? Apakah ibu tak iri dengan para pengendara? Atau tak bosan berjalan
kaki? Apakah ibu tak punya keinginan untuk sesekali mencicipi kendaraan pribadi
ketika berangkat bekerja? Ah sudahlah, 32 tahun yang lamanya sama dengan
kekuasaan Presiden Soeharto itu mungkin perjalanan yang tak cukup panjang untuk
menikmati dinamika menjadi seorang guru. Bahwa soal tunggangan atau sekadar
gengsi bukanlah menjadi hal yang didewakan ibu. Yang aku tahu, ibu hanya punya
sebuah tas yang sering beliau bawa kemana-mana, ya untuk mengajar atau untuk
kegiatan apa saja. “Ibu, sudah seharusnya Ibu menikmati hari tua dan
bersenang-senanglah untuk dirimu.”
Sungguh tak ada gambaran lain
selain menjadi guru, apalagi semenjak kecil aku sangat akrab dengan lingkungan
sekolah tempat ibuku mengajar. Apakah ibu menyadari bahwa engkaulah inspirasi
terhebat bagiku untuk menjadi seorang guru, inspirasi bagiku untuk mendalami
bahasa dan sastra Indonesia. Sampai kapan pun, engkaulah guru terbaik bagiku.
Ibu, aku ingin bercerita bahwa
aku sangat menikmati hari-hariku menjadi seorang guru. Katamu, jadilah guru
yang tidak hanya mengajar tapi juga mendidik. Oleh karena itu, kau bilang bahwa
guru adalah pendidik. Pendidikan adalah sebuah pembiasaan, perubahan perilaku
yang tadinya buruk menjadi baik, perubahan dari yang tadinya tidak tahu menjadi
tahu. Dari situlah aku menyadari bahwa menjadi guru bukanlah tugas yang ringan.
Aku malu Bu, malu bila “sok-sokan” mengajari yang baik padahal dirinya belum
menjadi orang yang baik. aku malu Bu, kalau “sok-sokan” mengajar tapi ternyata
yang diajarkan adalah hal yang salah.
Entahlah, tapi aku sangat yakin
bahwa menjadi guru adalah sebuah pekerjaan yang memberikan aset dunia dan
akhirat. Aku pernah membaca sebuah artikel bahwa ketika kita hanya mengejar
urusan duniawi maka kita akan selalu disibukkan oleh urusan duniawi yang tiada
habisnya, hanya lelah yang didapat. Aku juga pernah membaca hadits yang kurang lebih berisi; kalau
kita ingin mendapatkan dunia pelajari ilmunya, kalau kita ingin mendapatkan
akhirat pelajari ilmunya, kalau ingin mendapatkan keduanya pelajari pula
ilmunya. Alangkah indah bila benih ilmu yang kita tanam bisa menjadi bekal bagi
diri dan juga orang lain, subhanallah.
Pernah juga kudengar bisik mereka
tentang guru, mereka bilang, “Mau-maunya jadi guru, gajinya kan sedikit.” Bagaimana
Bu? tapi paradigmaku saat ini “yang penting berkecukupan”, pekerjaan dan tugas
yang begitu banyak dan penghasilan yang lebih sedikit dari timbangan beban
kerja, mungkin bisa saja disebut sebagai “kerja berkah”, wallahua’lam. Nyatanya ibu bertahan menjadi guru selama 32 tahun,
dan kita tak mati kelaparan.