Jumat, 24 Mei 2013

Untuk Greta



Untuk Greta, sahabatku.

Entah mengapa aku ingin menulis catatan ini untukmu, untuk kau yang selalu di dekatku, sangat dekat. Kau pernah bilang bahwa kau akan selalu ada untukku ketika ada cahaya. “Mina, pergilah mendekat cahaya maka aku ada untukmu,” katamu sambil tersenyum. Greta, teruslah tersenyum untukku walau dalam keadaan paling menyakitkan sekalipun.
Pernah suatu ketika kau datang padaku dengan muka yang sangat berseri dan senyum yang mengembang. Kau bilang bahwa kau sedang merasa bahagia sekali. Ya, perasaan yang tak kau rasakan sejak tahun 2009 silam saat kau memutuskan untuk tidak lagi mencintai seorang “lelaki beruntung”, wajah yang menghiasi hari-hari pada masa remajamu. Namun setelah itu, aku baru melihat matamu begitu berbinar dan pipimu begitu merona.
Katamu waktu itu, “Mina, baru kali ini aku bertemu dengan sebuah cermin, seseorang yang di matanya aku bisa melihat diriku sendiri.”
Aku tersenyum dan sangat bahagia mendengar cerita-ceritamu waktu itu, aku berharap kisah itu tak kembali kandas karena aku tahu, hatimu begitu rapuh Greta. “Hanya dengannya, moment memilih sabun colek pun jadi moment yang sangat menyenangkan. Aku bisa melihat Tuhan di matanya, dia platonik, lelaki yang aku cari!”
Sesaat setelah kau datang kau menunjukkan sebuah buku padaku, buku gambar yang tidak kau gunakan untuk menggambar. “Aku membelinya di toko alat tulis, sengaja memang, aku ingin mengabadikan segala sesuatu di sini, mulai dari karcis parkir, karcis bioskop, bahkan plastik pembungkus botol mineral ketika kali pertama kita bertemu. Kau tahu Mina, ternyata kami memiliki buku gambar yang sama, hanya saja buku gambar yang ia punya sangat kecil.”
“Lantas kau bilang kalau kalian berjodoh hanya karena memiliki banyak hal yang sama?”
Kau hanya meringis. “Bukankah ini amazing?”
Masih setia mendengar cerita-cerita Greta setiap malam, dalam hati aku hanya bisa berdoa, aku sangat menyayangimu dan aku sangat takut kau akan kembali mereguk kecewa. Aku sangat mengenalmu meski kau sering terlihat gila di mata teman-temanmu, tapi kau sebenarnya rapuh. “Kau cinta dia Greta?” Kau terdiam cukup lama, lalu kau menangis di pundakku, “Bahkan aku tak bisa lagi membedakan mana perasaan cinta atau bukan.”
“Setelah kau katakan itu, kau baru menyadari bahwa kau benar-benar mencintai lelaki itu setelah kau kehilangannya Greta!”
Greta dan lelaki misterius itu terus membayangiku. Tak pernah sekali pun kau menceritakan siapa jati diri lelaki itu. “Jangankan cerita kepadamu, bahkan kami pun sangat menjaga privacy, aku tak pernah mau tahu apa pun tentang masa lalunya. Tidak semua hal harus kita ketahui kok, yang penting bahagia,” ucap Greta waktu itu. Aku masih terdiam dan mengkhawatirkanmu.
Entahlah, karenamu aku sampai penasaran dengan definisi cinta, bahkan penyair sekaliber Jalaluddin Rumi pun tak sanggup menjawabnya. Begitulah kira-kira yang Greta rasakan saat itu. Sebuah perasaan aneh yang tak terdefinisi.
Aku tahu hampir setiap hari Greta menulis surat untuk lelaki itu, aku tahu hampir setiap hari kau tersenyum tanpa sebab di kamarmu. Aku tahu segalanya Ta, setiap malam aku mengintipmu di balik gorden, tapi masih dengan perasaan khawatir yang tak beralasan. “Kau gila, apa lagi yang sedang kau tulis? Bukankah kau sangat sibuk, bahkan waktu untuk bersenang-senang untuk dirimu sendiri pun kau tak punya?” hardikku.
Kau tersenyum dan tersipu, “Ya, aku tak punya maksud, hanya saja surat itu romantis, hehehe.”
“Dasar kau, orang yang sedang jatuh cinta tak akan mempan dengan perkataan apa pun!” kataku.
Ah Greta kau sudah begitu terlarut dalam perasaanmu. Apakah aku yang terlalu lajak mengkhawatirkanmu? Sebagai seorang sahabat yang mencintaimu karena Tuhan, sudah sepantasnya kau membatasi perasaanmu karena kau tak pernah tahu siapa sebenarnya jodohmu. Cintailah seseorang dengan sepenuh hati ketika dia sudah halal untukmu. Tuhan tak senang dengan orang yang terlalu berlebihan, Dia selalu menjaga hati umat-Nya. Mundur saja Greta.
Hingga suatu ketika aku mendapati Greta sedang terisak di kamar, mulanya tak berani mendekat, ah tapi aku harus bertanya. Waktu itu kau sempat tak mengaku tapi setelah aku paksa kau baru mengakui bahwa kau sudah semakin jauh dengan lelaki itu dan kau sangat bingung dengan perasaanmu lalu apa yang sebaiknya akan kamu lakukan. “Benar dugaanku Greta, lelaki yang tak pernah kau sebut namanya di depanku itu tak usah lagi kau pikirkan. Fokuslah pada Tuhanmu, fokus pada Tuhan, Dia yang tak akan menyakitimu,” ucapku dengan sedikit membentak. Greta memelukku dan berbisik, “Mina, tak ada yang salah, tak ada yang menyakiti, hanya saja kami terpisah, Tuhan yang memisahkan kita dengan cara-Nya yang sangat indah, hanya saja aku manusia biasa yang punya rasa kecewa, tapi bukan kecewa karena Tuhan, aku kecewa pada diriku sendiri.” Kau berhenti berbicara, menarik napas lalu melanjutkan kembali.
“Sebenarnya kami tak pernah ada kata bersama, begitu juga kata berpisah dan ini sangat absurd, juga menyakitkan tentunya dan mungkin karena aku yang terlalu asumtif.”
Aku terdiam, baru aku tahu bahwa tadi siang adalah kali terakhir pertemuan Greta dengan lelaki itu dan hal itu membuat pikiran Greta begitu kosong. Ingin rasanya aku ikut menangis bersamanya. “Selepas bertemu dengannya aku baru menyadari bahwa aku melewati jalan yang salah, aku tak mengambil jalan pulang ke Semarang malah aku mengambil arah Purwodadi, dan setelah begitu jauh sepeda motorku berjalan, aku baru sadar bahwa aku hampir berada di kota lain.”
“Greta, kau tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Kau bilang, kau mendapatkan informasi bahwa lelaki itu kembali dekat dengan mantan kekasihnya, atau jangan-jangan kau hanya sebagai pelarian semata?”
“Tidak Mina, tak pernah dan tak akan ada yang salah, hanya saja dia lebih memilih mantan kekasihnya dari pada aku, mungkin itulah yang terbaik.”
Greta tak perlu aku katakan padamu bahwa selama ini aku berdoa dan berhajat untukmu agar kau diberikan jalan terbaik oleh Tuhan. Inilah jawaban terbaik-Nya. Ikhlaskanlah suatu hal yang kecil, niscaya kau akan dapatkan sesuatu yang lebih besar, tentu dengan rida-Nya. “Terlalu lelah untuk mengharap sesuatu yang bukan karena-Nya,” bisikku.
“Aku ingat katamu Mina, kalau kau mencintai sesuatu lillahita’ala, niscaya kau tak akan merasa patah hati,” sambungmu padaku. Aku bangga bersahabat denganmu, Greta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar