Kamis, 01 Mei 2014

Siapalah Saya Ini (?)


Tulisan ini bukan karena esok adalah Hari Pendidikan Nasional, juga bukan karena hari ini adalah Hari Buruh. Aku hanya ingin berbagi rasa. Yah, pada catatan ini aku tak akan “sok tahu” seperti gaya halnya gaya tulisanku yang lain.

“Meina, beberapa hari ini kamu sering sekali sibuk dengan pikiranmu sendiri,” mungkin itu adalah ucapan yang terlontar dari langit-langit kamar kosku. sebuah ruangan ukuran 3x3 meter yang aku penuhi dengan buku-buku. Memang betul, usia 24 ini sepertinya menjadi awal mula munculnya pemikiran-pemikiran yang acap kali mengganggu pikiranku. Tak hanya tentang kuliahku, pekerjaanku, urusan keluarga, urusan teman, percintaan, bahkan keyakinan atas agama yang aku peluk juga aku pertanyakan. Tidak yakin atas pilihanku? Tidak, aku tak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya ingin apa yang aku perbuat selalu beralasan dan aku tahu kenapa aku harus melakukan hal itu. Tentu saja dengan seperti itu hidupku akan lebih nyaman.

Tidak Memakai Celana Jeans
Bila suami Oyi berpuasa minum teh, sesungguhnya sudah lebih dari satu tahun aku berpuasa memakai celana jeans. Aku pernah berdiskusi dengan Oyi sahabatku tentang makna mencari Tuhan. Ya, kami memang sering mendiskusikan hal-hal yang jarang terpikirkan oleh orang lain. Kami biasa menggunakan gaya sarcastic untuk mengingatkan satu sama lain, apalagi kalau aku sedang patah hati, beuh jangan sampai dia tahu, nanti aku jadi bahan bully-an selama tujuh hari tujuh malam.

Kami pernah berdiskusi bahwa sesungguhnya, “Benarkah makna iman adalah pengorbanan?” aku pernah mendengarkan kajian ketika bulan Ramadan, entah tahun berapa, yang jelas saat itu aku ingat sang narasumber pernah mengatakan hal yang sama. Contohnya ketika orang berpuasa, berkurban, bersedekah, bahkan salat. Bukankah itu adalah pengorbanan? Tentang bagaimana kita bisa memahami betul penderitaan yang dirasakan orang lain. Tentang bagaimana kita bisa menahan diri, menahan diri dari hal-hal yang sebenarnya kita bisa melakukannya tapi kita tidak melakukannya. Tentang komitmen atas hal yang sudah kita ikrarkan. Lalu apa kaitannya dengan jeans dan teh?

Itulah, sesungguhnya aku sedang belajar untuk tidak melakukan suatu hal yang sebenarnya sangat aku sukai. Begitu juga hal yang dilakukan oleh suami Oyi, Mas Bakti. Dia sangat suka minum teh dan dia mencoba untuk puasa teh. Aku sangat suka celana jeans, aku merasa jeans mewakili jiwa travelling, keren, dan modis, tapi aku mencoba untuk meninggalkannya dan beralih pada celana kain yang lebih longgar. Begitukah rasanya menahan diri? Lalu apakah ada sesuatu yang terjadi pada diriku? Aku tak merasakan sepenuhnya tapi saat ini aku tak terlalu tertarik untuk membeli celana jeans dan terbukti saat ini aku bisa hidup tanpa celana jeans. Bukan, bukan anticelana jeans, aku hanya ingin mencoba. Mungkin suatu saat aku akan memakainya lagi, hanya saja aku sedang mencoba, “Bisakah aku hidup tanpanya?” #ciyeeee #kayang

Mungkin hal itu dinilai aneh oleh orang lain. Sejujurnya aku sangat mengagumi perempuan yang sangat anggun memakai jilbab yang lebar. Aku berharap suatu saat aku akan seperti itu. Namun, inilah yang mungkin kita sebut sebagai proses pencarian Tuhan, yang mana aku menginginkan bahwa Islamku dan syahadat yang aku lafadzkan bukanlah agama warisan yang diturunkan oleh orang tuaku yang juga muslim. Aku juga pernah membaca di buku Quraish Shihab bahwa agama pun dimengerti secara bertahap dan melalui proses.

Sebenarnya, jauh sebelum pemikiranku sampai sejauh ini, beberapa hal juga pasti pernah dialami oleh perempuan yang ingin menggunakan jilbab. Seperti yang terjadi pada 22 Oktober 2007 mana kala aku memutuskan untuk belajar menggunakan jilbab. Berat rasanya apalagi aku hobi bereksperimen dengan rambut, mencoba berbagai potongan rambut, bahkan mewarnainya. Ternyata setelah menggunakan jilbab, sesungguhnya keinginan-keinginan yang menjadi hambatan itu lama-lama sirna juga, rasanya sudah tidak ingin pamer pada orang lain. Begitu. Entahlah, apakah ini yang dinamakan meredam hal yang disukai, lalu kita dapat melampauinya? Bukankah itu adalah pengorbanan? –yang selanjutnya mungkin tidak disebut pengorbanan karena kita merasa hal itu adalah hal “biasa” –yang kemudian disebut dengan ikhlas.

Pertanyaan lain yang masih terbayang di otakku, tidak jauh-jauh dari perintah Allah yang sudah aku sebutkan tadi, yaitu salat, sedekah, puasa. Bisa jadi perintah itu bukanlah dikte dari-Nya, tapi justru itulah kebutuhan kita untuk mencapai taraf hidup yang seimbang. Kenapa kalau kita marah, kita disuruh sabar dan salat? Kenapa kalau pengin panjang umur kita disuruh sedekah? Kenapa untuk nahan hawa nafsu kita disuruh puasa? Bukankah itu adalah petunjuk? Nah, saking baiknya Allah kasih kemudahan pada manusia melalui petunjuk-petunjuk-Nya itu. Bener nggak? Jadi perintah-perintah itu sejatinya adalah kebutuhan kita.

Haiiis, sebenarnya di catatan ini aku ingin menulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan, pengalamanku menjadi guru, dan masa depan guru yang dipertanyakan (?), tapi ujung-ujungnya malah ngomong ngalor-ngidul but it’s ok. Rupanya aku butuh media buat share apa saja yang aku pikirkan, setidaknya sekarang aku merasa lebih lega.

Ketika Rendra hendak meninggal, ia masih saja penasaran, di manakah Tuhan berada?
Lalu, ia menemukan makna nyawiji. Tuhan begitu dekat meskipun Dia berada di atas ‘Arsy. Tuhan Maha Melihat, Dia tahu apa yang kita lakukan. Kau tak usah berteriak-teriak ketika berdoa karena Dia Maha Mendengar. Namun, apa gunanya seribu cahaya lilin bagi mata yang tertutup? Begitu juga dalam menyadari bahwa Dia begitu dekat.

Semoga suatu saat pertanyaan-pertanyaanku ini dapat aku ketahui jawabannya dan semoga besok aku bisa nulis tentang pendidikan hehe… *the power of gagal fokus*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar