Kamis, 08 Mei 2014

Rumah Kebohongan


Menyitir sedikit ungkapan Najwa Shihab, “Pendidikan memang memberikan peluang, tetapi pemimpin tak lahir karena ijazah.” Nyatanya anak-anak menjadi nakal ketika mereka mulai masuk sekolah, nyatanya pendidikan tinggi tak lantas menjamin hilangnya koruptor di negeri, nyatanya memang tak ada sekolah kejujuran. Darmaningtyas seorang pakar pendidikan bahkan menyatakan kalau pendidikan di Indonesia sudah abal-abal seperti gerobak butut. 

Seorang bijak pernah berkata, “Bila ada dua pilihan yang sama-sama baik maka pilihlah yang kebaikannya lebih banyak. Namun, bila ada dua pilihan yang sama-sama buruk maka pilihlah yang keburukannya lebih sedikit.” Mungkin nasihat itu cocok untuk menilai pendidikan saat ini, aku yakin di antara 10 orang yang pandai setidaknya masih ada orang yang baik. Artinya, pendidikan tak sepenuhnya gagal. 

Tatkala dosen seniorku mengatakan, “Boleh jadi para koruptor yang lahir memang tercetak dari kemudahan-kemudahan dan sikap permisif yang membudaya.” Terlepas dari carut-marutnya politik, muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik, “Mengapa saat ini lebih banyak ditemukan koruptor yang usianya relatif muda?” meskipun belum ada riset persentasi porsi koruptor usia lanjut dan usia muda –bisa juga yang tua juga korupsi, hanya saja mereka lebih lihai dalam berkelit, hehehe. 

Sesungguhnya guru yang baik itu tak akan memaksa anak-anaknya untuk berprestasi. Pun Tuhan juga tak pernah memaksa umat-Nya untuk sukses, Dia hanya minta umat-Nya untuk berusaha. Begitu juga guru, guru tidak punya hak untuk mencetak anak-anaknya untuk menjadi juara, tapi guru berkewajiban untuk membuat anak-anaknya terus berusaha dan menggali potensi dirinya. 

Sebuah negara yang notabene memiliki pendidikan yang sangat maju – Finlandia- tidak pernah khawatir kalau peringkat kualitas pendidikannya mengalami penurunan. Sebab, peringkat hanyalah sudut pandang. Pendidikan juga bukanlah kompetisi. Bila mana seseorang “tercetak” untuk berkompetisi, dia tak lebih dari ambisi yang bernyawa. Benarkah ukuran pendidikan hanya sebatas menang dan kalah?

Kecewa

Engkau pernah berkata padaku, “Saat engkau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi maka engkau memiliki tanggung jawab yang lebih besar pula. Nantinya engkau adalah seorang magister yang mengemban keilmuan yang sepantasnya lebih baik dari sarjana. Tidak hanya itu, engkau juga ditunggu oleh umat untuk berkontribusi.”

Tahukah kau, engkau sudah aku anggap sebagai kakakku, inspirasiku, bahkan guruku. Engkau mengajariku banyak hal. Namun, kini kepercayaan itu semakin hilang. Benarkah kepandaianmu itu hanyalah sebatas teori-teori yang indah di negeri dongeng, atau aku yang salah mengartikannya? Bahwa kepandaian itu bukanlah nilai 100 atau prestasi segunung, apalah artinya bila engkau pandai berdusta?

Yang aku tahu, puisi tak pernah bebohong. Puisi adalah karya suci yang lahir dari kontemplasi batin. Yang aku tahu puisi dan pendidikan bukanlah rumah kebohongan. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar